Advanced Search
Hits
13312
Tanggal Dimuat: 2009/05/04
Ringkasan Pertanyaan
Apabila Tuhan merupakan Pencipta segala sesuatu, apakah dosa-dosa dan segala perbuatan buruk yang dilakukan manusia apakah juga merupakan makhluk Tuhan?
Pertanyaan
Apabila Tuhan merupakan Pencipta segala sesuatu, apakah dosa-dosa dan segala perbuatan buruk yang dilakukan manusia apakah juga merupakan makhluk Tuhan?
Jawaban Global

Dengan memperhatikan definisi kehendak (irâdah) dan bagian-bagiannya jawaban pertanyaan ini akan menjadi jelas. Kehendak terbagi menjadi dua, pertama kehendak takwini dan kedua kehendak tasyri’i.

Kehendak takwini adalah pengetahuan terhadap penciptaan secara sempurna dan keseluruhan. Artinya bahwa sebagaimana Tuhan mahamengetahui alam semesta secara keseluruhan dan sempurna, kemahapengetahuan terhadap semesta ini yang menjadi sebab penciptaan semesta dimana pengetahuan tersebut disebut sebagai kehendak.

Adapun kehendak tasyri’i adalah pengetahuan Allah Swt terhadap kemaslahatan pada perbuatan mukallaf dan ilmu terhadap kemaslahatan ini yang menjadi sumber diadakannya taklif dan kita menyebut hal ini sebagai kehendak tasyri’i.

Ketaatan dan maksiat, ibadah dan dosa merupakan titel-titel yang diabstraksikan dan diperoleh dalam benak tatkala dilakukan komparasi antara perbuatan-perbuatan mandiri manusia dan perintah-larangan Tuhan yang merupakan kehendak tasyri’i-Nya. Bukan komparasi dengan kehendak takwini Tuhan. Kehendak takwini Tuhan bertautan dengan seluruh perbuatan mandiri (ikhtiari) manusia.

Dari sudut pandang kecintaan dan kemurkaan – yang merupakan kriteria kehendak tasyri’i Tuhan – perbuatan-perbuatan manusia terbagi menjadi dua bagian:

1.       Perbuatan-perbuatan terpuji

2.       Perbuatan-perbuatan tercela yang bagian pertamanya berhubungan dengan kehendak tasyri’i Tuhan dan bagian keduanya tidak berkaitan dengan kehendak tasyri’i-Nya. Namun keduanya dengan memperhatikan adanya perbuatan bebas dan kehendak dalam perbuatan ini maka hal tersebut terkait dengan kehendak takwini Tuhan. Karena itu, perbuatan-perbuatan tercela, pertama dan secara langsung merupakan kehendak manusia dan secara tidak langsung merupakan kehendak takwini Tuhan dan pada saat yang sama juga bersebrangan dengan kehendak tasyri’i-Nya (yang seharusnya dikerjakan manusia).

Jawaban Detil

Sesuai kaidah universal yang berlaku dalam sistem penciptaan semesta adalah bahwa tiada seorang pun yang memiliki kepelakuan mutlak dan mandiri selain Tuhan. Apabila sebagian fenomena memiliki pengaruh dan perbuatan maka hal itu sesuai dengan kehendak dan izin Tuhan. “Wa maa tasya’una illa an yasyaa’ Alllah, dan tidak hanya sumber perbuatan yang mengikut pada kehendak Tuhan, perbuatan itu sendiri berada dalam domain kehendak Tuhan.

Akan tetapi terkait pertanyaan yang mengemuka ihwal keniscayaan keumuman dan keluasan kehendak Tuhan yang menegaskan bahwa segala perbuatan tercela dan tidak layak juga bergantung kepada kehendak-Nya, sementara kehendak perbuatan-perbuatan tercela seperti mengerjakan perbuatan tak terpuji adalah tercela dan tidak layak, sementara dzat kudus Tuhan suci dan terjauhkan dari segala sifat tercela dan buruk.

Jawaban pertanyaan ini memerlukan satu pendahuluan dan pendahuluan itu adalah pembagian kehendak menjadi kehendak tasyri’i dan takwini.

Secara umum pada domain pengetahuan praktis kehendak (iradah) hanya memiliki satu bagian. Dan kehendak tersebut adalah kehendak takwini dan bagian kedua kehendak tasyri’i pada ranah pembahasan-pembahasan yang bertalian dengan pengaturan hukum dan penetapan syariat.[1]

Kehendak takwini adalah pengetahuan terhadap semesta secara sempurna dan lengkap. Artinya sebagaimana Tuhan mahamengetahui semesta dengan sempurna dan lengkap, maka ilmu terhadap semesta ini merupakan sebab penciptaan semesta dimana ilmu tersebut dinamakan kehendak. Dengan kata lain, ilmu dan kehendak pada kita sebagai wujud kontingen memiliki dua makna dan dua hakikat, namun pada dzat Wajib Tuhan keduanya adalah satu yaitu kehendak untuk menciptakan semesta.

Adapun kehendak tasyri’i adalah ilmu Tuhan terhadap kemasalahatan pada perbuatan mukallaf (manusia) dan ilmu terhadap kemaslahatan inilah yang menjadi sumber taklif dan inilah yang disebut sebagai kehendak tasyri’i.

Karena itu apa yang tidak boleh dikosongkan dari taklif ilahi adalah pengetahuan terhadap kemaslahatan. Artinya kehendak tasyri’i yang harus terdapat pada tugas-tugas syariat (taklif). Dan apa yang mustahil dan berseberangan dengan maksud kehendak takwini. Bukan kehendak tasyri’i yang bertentangan dengan maksud kehendak tasyri’i yang merupakan perkara yang mungkin. Artinya boleh jadi Allah Swt memiliki pengetahuan terhadap kemaslahatan pelaksanaan shalat seorang hamba, namun hamba tersebut tidak melaksanakan shalat. Karena itu, apa yang diperlukan pada tugas-tugas syariat adalah kehendak tasyri’i.[2]

Jawaban dari pertanyaan di atas dapat dijelaskan dengan memperhatikan pada pendahuluan yang telah diuraikan di atas, sesuai dengan kaidah-kaidah filsafat dan keselarasannya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Wujud kontingen senantiasa merupakan makhluk dan ciptaan Tuhan. “Allâh khâliq kulla syai”.[3] Dan apa yang menjadi ciptaan dan makhluk Tuhan adalah indah dan terpuji. “Alladzi ahsana kulla syai khalqah.”[4] Dan perbuatan-perbuatan terpuji dan tercela pada orisinilitas wujudnya tidak memiliki perbedaan. Menguasai harta benda orang lain dengan izinnya dan menguasai dengan merampas dari sudut pandang realitas dan keberadaannya adalah satu. Hubungan legal dan sah antara pria dan wanita dengan hubungan haram dan ilegal antara keduanya tidak terdapat perbedaan pada realitas luarannya. Lantaran keduanya merupakan pilihan pelakunya masing-masing dan sejatinya satu pada dunia luaran dan orisinilitas keberadaannya. Dan pada realitas dan keberadaannya merupakan makhluk dan ciptaan Tuhan dan bergantung kepada kehendak takwini Ilahi. Dikotomi terpuji dan tercela tidak memiliki makna.

Terpuji atau tercelanya pelbagai perbuatan ikhtiari (pilihan) manusia karena sesuainya atau tidak sesuainya dengan perintah dan titah syariat dimana perintah-perintah dan larangan-larangan syariat ini juga merupakan penjelas kerelaan dan keridaan atau ketidakrelaan dan kemarahan Tuhan dan sekali-kali tidak menjadi fokus keridhaan dan kebencian kehendak takwini Tuhan.[5]

Ketaatan dan maksiat, ibadah dan perbuatan dosa merupakan titel-titel yang diabstraksikan tatkala dibandingkan dengan perbuatan-perbuatan berkehendak manusia dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan yang merupakan kehendak tasyri’i, bukan pada perbandingan dengan kehendak takwini Tuhan. Kehendak takwini Tuhan seperti ilmu dan kudrat-Nya meliputi seluruh perbuatan manusia namun dari sisi kecintaan dan kebencian Tuhan merupakan ukuran kehendak tasyri’i Tuhan.

Dalam hadis disebutkan Allah Swt berfirman: “Ya abna Adam! Ana awwali bihasanatika minka wa anta awwali bisayyiatika minni.” Dalam redaksi firman Ilahi apabila kita perhatikan secara seksama kita akan saksikan bahwa Tuhan menisbatkan kebaikan kepada diri-Nya dan juga kepada manusia. Namun firman-Nya, Aku lebih dahulu (utama) darimu terkait kebaikanmu, namun terkait dengan keburukan, Allah Swt berfirman, “Engkau lebih dahulu (utama) terkait dengan keburukanmu.”

Dalam hal ini kami akan menukil sebuah contoh yang kami jumpai pada sebagian karya para periset guna menambah pengetahuan: “Seperti matahari yang menyinari dinding dan dinding karena pendaran cahaya matahari menjadi terang dan dengan perantara sinar matahari, dinding memberikan bayangan. Orang yang menyaksikan dinding dan tidak mengetahui matahari beranggapan bahwa cahaya pada dinding adalah bersumber dari dinding. Dan orang yang memandang matahari mengetahui bahwa cahaya pada dinding berasal dari matahari. Meski cahaya yang disandarkan kepada dinding adalah cahaya matahari sehingga dinding menjadi terang dan bercahaya. Pada penyandaran ini tidak terdapat keraguan dan sifatnya gamblang. Akan tetapi terangnya dinding berasal dari matahari. Sebagiamana kita berkata, duduk dan berdiri disandarkan kepada kita. Akan tetapi segala kekuatan bersumber dari Tuhan. Sebagaimana yang membuat tertawa dan menumpahkan tangis hanyalah Allah Swt “Innahu adhaka wa abki.” Namun yang tertawa dan menangis adalah Zaid dan Umar. Kembali kita melihat bahwa dinding memiliki bayangan, dan setiap orang tahu bahwa bayangan ini mengikut pada dinding, bayangan tidak memiliki eksitensi secara esensial dari dirinya dan bayangan dinding tidak bersumber dari matahari, sebagaimana cahaya dinding bersumber dari matahari, namun apabila matahari tidak menyinari dinding maka bayangan yang melekat pada dinding sekali-kali tidak akan pernah ada. Karena itu, matahari kendati secara esensial tidak memiliki bayangan pada dinding, namun secara esensial mataharilah memberikan cahaya kepada dinding, dimana keberadaan bayangan (secara tidak langsung) berkat matahari.

Dengan demikian, dinding secara esensial tidak memiliki penerangan dan secara aksidentil terang dimana terangnya bersumber dari matahari. Demikian juga dengan dinding, secara esensial tidak memiliki bayangan kendati bayangan berasal darinya. Karena itu, keberadaan cahaya pada dinding dan pada bayangan dinding sejatinya adalah matahari yang berkuasa dan pengaruh matahari tidak dapat dipisahkan dari bayangan dinding, kendati bayangan bersumber dari dinding. Maka ketahuilah bahwa cahaya matahari contoh bagi kebaikan dan bayangan dinding adalah perumpamaan bagi keburukan dan perbuatan dosa.

Matahari berkata kepada dinding: “Meski engkau bercahya, namun “Akulah lebih dahulu cahayanya darimu.” Dan juga berkata kepada dinding: “Meski nampaknya bayanganmu berasal dariku, namun engkau lebih dahulu pada bayanganmu dariku.” (Anta awla bizhillika minni). Dan Anda berkata kepada dinding, “Apa saja yang menyebabkan cahaya pada dirimu maka cahaya itu dari matahari. Dan apa yang menyebabkan bayangan pada dirimu maka itu berasal darimu.” []

 

Daftar pustaka untuk telaah lebih jauh:

1.       Hasan Hasan Zadeh Amuli, Khair al-Âtsar dar Rad Jabr wa Qadr.

2.       Ja’far Subhani, Ilahiyyat ‘ala Hudâ al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-‘Aql, jil. 2.

3.       Muhammad Taqi Ja’fari, Tafsir wa Naqd Tahlil Matsnawi Jalaluddin Muhammad Balkhi, jil. 1.

4.       Ahmad Wai’zhi, Insân az Didgâh-e Islâm, daftar-e Hamkari Hauzah wa Daneshgah.

5.       Ruhullah Musawi Khomeini, Thalâb wa Irâdah, terjemahan dan komentar, Sayid Ahmad Fahri

6.       Shadruddin Mulla Shadra Syirazi, Risâlah Jabr wa Ikhtiyâr, Khalq al-‘Amal.



[1]. Ali Rabbani Gulpaigani, Jabr wa Ikhtiar, Muassasah Tahqiqati Sayid al-Syuhada Qum, cetakan pertama, 1368, 84.  

[2]. Imam Khomeini, Thalâb wa Irâdah, terjemahan dan ulasan, Sayid Ahmad Qahri, Intisyarat-e ‘Ilmi wa Farhanggi, hal. 52.  

[3]. Allah pencipta segala sesuatu.” (Qs. Al-Zumar [39]:62)  

[4]. “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (Qs. Al-Sajdah [32]:7)  

[5]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, Muassasah al-‘Alami al-Mathbu’at, Beirut Libanon, 1393, cetakan ketiga, jil. 1, hal. 101.  

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259816 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245591 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229495 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214281 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175594 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170968 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167387 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157452 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140300 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133531 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...