Advanced Search
Hits
13881
Tanggal Dimuat: 2009/03/02
Ringkasan Pertanyaan
Dengan ini kami mohon dijelaskan pengertian ayat mulia yang berbunyi: “Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas petunjuk daripada kesesatan….” dengan beberapa penafsiran yang berbeda!
Pertanyaan
Dengan ini kami mohon dijelaskan pengertian ayat mulia yang berbunyi: “Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah jelas petunjuk daripada kesesatan….” dengan beberapa penafsiran yang berbeda!
Jawaban Global

Memperhatikan berbagai penafsiran yang berbeda-beda, paling tidak terdapat lima pandangan dalam menafsirkan dan menjelaskan ayat mulia di atas. Penafsiran yang benar adalah bahwa ayat tersebut merupakan pesan universal untuk seluruh umat manusia, yaitu bahwa sesungguhnya agama itu merupakan masalah keyakinan hati setiap orang. Karena itu, tidak boleh ada paksaan dan tekanan, dan hal itu mustahil (tidak mungkin). Karena setiap insan telah diberikan kebebasan untuk memilih dan menentukan agamanya masing-masing. Argumen ini sangat jelas untuk menepis pandangan kaum Jabariyun (determinisme). Mereka berpandangan bahwa “Manusia itu dipaksa untuk menerima agama Islam atau kekufuran atau melakukan ibadat ataupun bermaksiat”. Di samping itu dan dari sisi lain, ayat itu pun dan ayat setelahnya merupakan argumen yang sangat jelas untuk menolak pandangan dan pemikiran kaum Mufawwidah (merdeka penuh) yang mengatakan bahwa “Setelah Allah Swt usai menciptakan manusia, maka Dia menyerahkan sepenuhnya seluruh urusan, kehendak dan ikhtiar kepada mereka. Sementara itu, Dia menyingkir dan menunggu mereka sampai tiba hari Kiamat”. Ayat berikutnya menjelaskan tentang wilayah dan sunnah (undang-undang) Ilahi, yaitu bahwa tidak sesuatu pun yang keluar dari kepemilikan dan penguasaan Ilahi. Hal ini pun memperkokoh argumen di atas untuk menolak paham tafwidh. Dengan ungkapan lain bahwa sebagaimana tidak mungkin ada paksaan dan tekanan dalam masalah keimanan, di samping itu pula manusia tidak mungkin keluar dari kepemilikan dan penguasaan Allah Swt. Melainkan -berdasarkan sunnah dan tatanan Ilahi- barangsiapa yang memalingkan diri dari thagut (penguasa zalim) dan kekufuran, dan pergi meraih keimanan kepada Allah Swt, maka berdasarkan hukum kausalitas (illat dan ma’lul), ia telah berpegang teguh kepada tambang yang kokoh. Dan hal ini merupakan lahan dan persiapan untuk dapat menerima siraman hidayah berikutnya dan keselamatan dari kegelapan menuju kepada sinar terang yang abadi. Sebaliknya, barangsiapa yang kufur dan membelot dari kebenaran, padahal sudah begitu terang dan jelas baginya, maka berdasarkan sunnah Ilahi (hukum kausalitas), ia berada dalam kegelapan hati dan kesesatan. Dengan demikian bahwa manusia yang memiliki kemampuan memilih dan berkehendak, tidak mempunyai kekuasaan sama sekali dalam menentukan hasil dan nilai usahanya itu. Melainkan semua itu berdasarkan sunnah Ilahi. Dari uaraian di atas tentang dua buah ayat tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sesungguhnya ucapan dan sabda para Imam maksum As pun sesuai dengan maksud ayat al-Qur’an tersbeut, yaitu: “La jabra wala tafwidha, bal amrun baynal amrain” (tidak ada paksaan/determinis, dan juga tidak ada kebebasan mutlak/tafwidh, tetapi yang ada hanyalah pertengahan di antara keduanya).

Jawaban Detil

Terjemahan selengkapnya ayat tersebut adalah: “Dalam masalah agama dan keyakinan sama sekali tidak ada paksaan. Dan petunjuk pun sangat jelas dibandingkan kesesatan. Karena itu, barangsiapa yang mengingkari thagut-thagut dan beriman kepada Allah Swt, pasti ia telah berpegang kepada tali Allah yang teguh yang tidak akan terpisah darinya. Dan Allah Mahamendengar dan Mengetahui." (Qs. Al-Baqarah [2]:256)

 

Sebelum kami menjelaskan dan menafsirkan ayat di atas lebih dalam lagi, sebagai mukaddimah, perlu kiranya diperhatikan beberapa poin berikut ini:

1.       Makna leksikal ayat:

“Ikrah” bermakna: seseorang yang dipaksa untuk melakukan suatu pekerjaan. “Rusyd” bermakna: hidayah (petunjuk), keselamatan, kebaikan dan kesempurnaan.[1] Lawannya adalah “Ghay” yang bermakna: pergi menuju kepada kehancuran.[2] Allamah Thaba-thaba’i berkata: “’Rusyd’ bermakna: mencapai hakikat masalah dan realita perkara dan jalan tengah. Lawannya adalah ‘ghay’ yang bermakna kebalikannya. Karena itu, ‘rusyd’ dan ‘ghay’ bermakna lebih umum dan lebih luas daripada hidayah dan kesesatan”.[3]

 

2. Pandangan para mufassir:

Secara umum, setidaknya terdapat lima pandangan dari para mufassir dalam memaknai ayat La ikraha fiddin (tidak ada paksaan dalam agama). Secara runut kami sampaikan berikut ini:

  1. Maksudnya adalah: tentang seseorang, setelah usai perang tidak menyatakan dirinya memeluk Islam. Tetapi secara terpaksa ia menerima Islam.[4]

  2. Ayat tersebut sekaitan dengan Ahli Kitab (orang-orang yang memeluk agama samawi; Kristen, Yahudi dan Zoroaster). Setelah mereka bersedia membayar jizyah (upeti) kepada daulah Islam, tidak boleh dipaksa untuk memeluk Islam.[5]

  3. Maksud ayat tersebut adalah seluruh kaum kafir yang kemudian di-nasakh (dianulir) oleh ayat-ayat qitâl [6](peperangan), dan jihâd[7] (perjuangan).[8]

  4. Maksud ayat di atas ialah: Sekelompok tertentu dari kaum Anshar.[9] Sebagaimana pula bahwa sya’ni nuzul (sebab turun) ayat tersebut berkaitan dengan mereka. Dan dalam hal ini disebutkan terdapat beberapa kisah, antara lain: terdapat seorang muslim dari kaum Anshar yang memiliki kulit berwarna hitam, ia mendapat tekanan untuk menerima agama Islam. Kemudan turunlah ayat tentangnya.

  5. Sekelompok mufassir menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut tidak ditujukan untuk siapa pun, baik individu maupun kelompok tertentu. Melainkan mencakup untuk seluruh umat manusia di muka bumi ini. Mereka berkata: “Agama merupakan masalah keyakinan dan urusan hati, karenanya mustahil dan tidak boleh ada paksaan sama sekali. Setiap insan diberikan kebebasan dan kehendak untuk memilih agama dan keyakinannya masing-masing. Dan pandangan ini mereka jelaskan dengan berbagai ungkapan dan redaksi, terutama penjelasan para mufassir kontemporer”.[10]

 

Setelah memperhatikan beberapa pandangan dari berbagai penafsiran tentang ayat di atas, maka kami berpandangan bahwa penafsiran yang benar dan kokoh adalah penafsiran dan pandangan yang terakhir. Dengan itu dapat disimpulkan bahwa logika al-Qur’an adalah: masalah agama tidak boleh ada tekanan dan paksaan. Karena kebenaran dan hakikat telah jelas, jalan-jalan hidayah dan petunjuk telah gambelang, begitu pula dengan jalan-jalan kesesatan. Setiap orang bebas dalam memilih keimanan atau kekufuran, bebas memilih jalan yang ini atau jalan yang itu.

Berdasarkan siyâq (susunan) ayat dan ayat-ayat yang terletak sebelum dan sesudahnya, barangkali dapat pula diambil sebuah kesimpulan bahwa walaupun ayat tersebut berkaitan erat dengan dasar-dasar ilmu kalami (akidah dan keyakinan), tetapi bisa juga dijadikan sebagai dasar dan akar cabang-cabang ilmu lainnya, seperti ilmu politik, ekonomi dan lain-lain. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh lisan suci para Imam maksum As: “La jabra wala tafwidha, bal amrun baynal amrain”.[11] Karena pada ayat sebelumnya telah memberikan gambaran tentang tauhid dengan jelas, yaitu bahwa setiap insan -dengan fitrahnya yang sehat- hanya dengan sedikit merenung dan berpikir, dengan mudah akan menemukan hakikat dan kebenaran. Akan tetapi orang-orang yang berpikiran picik senantiasa memberikan gambaran yang menyimpang tentang tauhid. Karenanya, ayat ini dan ayat setelahnya -sebenarnya- telah menutup jalan dan peluang bagi mereka dengan memberikan kaidah universal. Dengan ungkapan lain bahwa ayat tersebut merupakan dalil yang terang untuk menolak pandangan Jabbariyun (determinisme) yang mengatakan bahwa: “Manusia itu dipaksa untuk menerima agama Islam atau kekafiran atau berbuat ibadat atau pun maksiat dan perbuatan-perbuatan lainnya”. Padahal sebenarnya tidaklah demikian[12] (sehingga tidak ada peluang lagi bagi mereka untuk menolak pandangan dan jalan tengah yang rasional). Sesungguhnya Allah Swt tidak pernah memaksa seorang hamba-Nya pun. Dari sisi lain, dengan memperhatikan ucapan kaum mufawwidhah: “Setelah penciptaan manusia, seluruh urusan diserahkan kepada kehendak dan ikhtiar manusia. Sementara Dia pergi menyingkir dan menunggu sampai hari Kiamat tiba”. Hal itu sebagaimana ungkapan Abu Muslim dan Qaffal yang berpandangan muktazilah dalam memaknai ayat bahwa “Allah Swt telah menyerahkan urusan iman sepenuhnya di tangan manusia dan bukan dengan paksaan dan tekanan. Karena Allah Swt telah menjelaskan masalah tauhid secukupnya sehingga hal itu merupakan dalil dan hujjah yang paten bagi orang-orang yang membangkang. Dengan demikian tidak ada alasan lagi bagi orang kafir dan pengingkar untuk tetap mempertahankan kekufurannya. Apabila ia masih tetap mempertahankan kekafirannya, maka tidak ada jalan lain kecuali dia harus ditekan dan dipaksa. Akan tetapi ayat tersebut (La ikraha fiddin…) menegaskan bahwa sama sekali tidak boleh ada tekanan dan paksaan dalam masalah agama dan keyakinan. Karena dunia ini adalah tempat ujian, sementara tekanan dan paksaan akan menafikan makna ujian tersebut”.[13]

Ayat di atas juga merupakan dalil yang jelas untuk menolak pandangan mereka. Karena ayat tersebut, setelah mematahkan pandangan jabbariyah, selanjutnya -secara langsung- mengatakan: “Dan barangsiapa yang mengingkari thagut dan beriman kepada Allah, pasti ia telah berpegang teguh kepada tambang yang kokoh yang tidak akan terpisah darinya. Dan Allah Mahamendengar dan Mahatahu”. Dengan memperhatikan ayat yang terletak setelahnya yang menjelaskan masalah wilayah dan sunnah Ilahi, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang keluar dari pemilikan dan kekuasaan Allah Swt. Dengan kata lain bukan berarti apabila tidak ada paksaan dan tekanan dalam agama dan keyakinan, maka seseorang bisa saja keluar dari pemilikan dan penguasaan Ilahi. Tidak, tidak demikian. Akan tetapi berdasarkan sunnah Ilahi; barangsiapa yang mengingkari thagut dan kekufuran, kemudian ia beriman kepada Allah Swt, maka berdasarkan hukum kausalitas (illat dan maklul), ia telah memegang erat-erat tambang Allah yang kokoh. Dan hal ini merupakan lahan dan persiapan bagi anugerah dan hidayah selanjutnya serta akan meraih keselamatan dari kegelapan menuju jalan terang benderang. Dan sebaliknya, barangsiapa yang mengingkari keimanan kepada Allah, padahal jalan-jalannya sudah sangat jelas, maka berdasarkan hukum kausalitas itu pula, berarti ia telah menuju dan memilih jalan-jalan kegelapan. Dengan demikian bahwa walaupun manusia itu memiliki kehendak, ikhtiar dan kemampuan memilih secara bebas, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hasil pilihannya tersebut. Melainkan ia harus mengikuti sunnatullah.

 

Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian panjang di atas ialah: “la jabra” (tidak ada tekanan dan paksaan), sebagaimana yang ditunjukkan oleh penggalan ayat bagian awal “la ikraha fiddin”. Dan “la tafwidha” (tidak ada kebebasan mutlak), sebagaimana yang ditunjukkan ayat berikutnya yang bernunyi “faman yakfur biththaguti…..”. Dan hal itu merupakan solusi yang sangat jelas dan gamblang bagi setiap insan yang berakal.[]



[1] . Qâmusu al-Qur’ân, Sayyid Ali Akbar Qurasyi, juz 3 hal.100.

[2] . Ibid, juz 5, hal. 131.

[3] . Tafsir al-Mizân, juz 2, hal. 342.

[4]. Tafsir Majma’ul Bayân, Allamah Thabarsi, juz 2, hal. 126, Tafsir ar-Razi, Syaikh Abul Fatah ar-Razi, juz 2 hal. 330.

[5] . Tafsir Amili, Ibrahim Amili, juz 1, hal. 515 dan 516, Majma'ul Bayân, ibid, al-Kasysyaf, Jamakhsyari, juz 1, hal. 487.

[6] . QS. At-Taubah: 5.

[7] . Ibid, 73.

[8] . Majma'ul Bayân, ibid, al-Kasysyaf, ibid, Tafsir Amili, ibid.

[9] . Majma'ul Bayân, ibid, Al-Kasysyaf, ibid, tafsir Amili, ibid, Tafsir Nemuneh, juz 2, hal. 279 dan 280.

[10]. Majma'ul Bayân, ibid, al-Mizân, ibid, Tafsir Nemuneh, ibid.

[11] . Al-Kafi, jilid1, hal. 160, bab jabr dan qadr.

[12] . Athyabul Bayan dar Tafsiril Qur’an, Sayyid Abdul husein Thayyib, juz 3 hal. 18.

[13] . Tafsir Kabir, fakhru ar-Razi, jilid 3, hal. 15.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259828 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245597 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229502 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214290 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175597 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170978 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167395 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157458 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140309 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133537 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...