Please Wait
Hits
8132
Tanggal Dimuat: 2012/04/10
Kode Site fa14217 Kode Pernyataan Privasi 23400
Tema Hukum dan Yurisprudensi
Tags pernikahan|akad|mahar|formula|perbedaan
Ringkasan Pertanyaan
Beberapa waktu lalu saya melangsungkan akad temporer (mut’ah) dengan seorang gadis. Ia menjadikan saya sebagai wakilnya untuk membacakan akad (baginya) tanpa kehadirannya di hadapan saya. Namun terdapat kesalahan dalam menggambarkan ukuran mahar dan saya sama sekali tidak tahu. Apakah akad ini sah dan apakah mahar yang telah dibacakan itu harus diserahkan?
Pertanyaan
Beberapa waktu lalu saya melangsungkan akad temporer (mut’ah) dengan seorang gadis. Ia menjadikan saya sebagai wakilnya untuk membacakan akad (baginya) tanpa kehadirannya di hadapan saya. Namun terdapat kesalahan dalam menggambarkan ukuran mahar dan saya sama sekali tidak tahu. Hingga setelah beberapa lama setelah membaca akad dan melakukan hubungan suami-istri, kemudian muncul masalah dan ia menuntut maharnya. Setelah kejadian itu menjadi jelas bahwa mahar yang dimaksudkan masing-masing berbeda dalam benak kami berdua. Apakah akad ini sah dan apakah mahar yang telah dibacakan dalam akad itu harus diserahkan?
Jawaban Global

Kantor Ayatullah Agung Khamenei (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):

Apabila pria memiliki kewenangan total dalam menentukan mahar, dalam asumsi pertanyaan apabila syarat-syarat dalam membacakan akad telah terpenuhi dan misalnya gadisnya adalah seorang perawan maka mengikut prinsip ihtiyath wajib harus berdasarkan izin dari wali (ayah atau kakek dari pihak ayah), akadnya sah dan seukuran itu maharnya akan dihitung.

 

Kantor Ayatullah Agung Siistani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):

Akad sah dan sehubungan dengan penentuan mahar apabila tidak tercapai kata sepakat atau damai (mushalahah) maka (mereka) harus merujuk kepada hakim syar’i (marja taklid).

 

Kantor Ayatullah Agung Shafi Gulpaigani (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):

Apabila dalam penentuan mahar diwakilkan kepada pihak pria maka akadnya sah dan mahar tersebut telah tetap kalau tidak demikian maka akad yang dibaca itu adalah akad fudhuli (akad yang dibacakan oleh orang lain) yang akan sah apabila pihak wanita mengizinkan dan kalau tidak akadnya batal. Apabila akad tersebut batal amalan yang dilakukan bukanlah zina melainkan wathi bih syubha.[1] Untuk diketahui bahwa akad putri perawan, mengikut prinsip ihtiyath wajib, harus sesuai dengan izin ayah atau kakek dari pihak ayah.

 

Kantor Ayatullah Agung Makarim Syirazi (Mudda Zhilluhu al-‘Ali):

Akad yang disebutkan di atas adalah akad batil dan Anda harus membayar mahar al-mitsl[2] terkait dengan akad seperti ini.

 

Jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani (Semoga Allah Melanggengkan Keberkahannya) adalah sebagai berikut:

  1. Apabila kedua belah pihak akad nikah tidak sepakat terkait dengan syarat-syarat akad maka akad tersebut batal, artinya akan tersebut tidak memiliki efek syar’i; namun apabila setelah akad kandungannya disepakati oleh kedua belah pihak maka akad tersebut sah dan tidak perlu mengulang akad (yang baru).
  2. Apabila tanpa informasi terkait dengan batalnya akad melakukan hubungan suami-istri dan menganggap akad tersebut sah, bukanlah zina dan termasuk wathi bi syubha.

 

 


[1]. Hubungan seks yang dilakukan karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi pasangan (Sexual intercourse under mistaken indentity).  

[2]. Mahar al-mitsl adalah mahar yang harus dibayar oleh pihak pria dibayar karena belum lagi ditentukan.  Mahar wanita yang dibayar harus berdasarkan urf dan kebiasaan wanita (tersebut) dengan memperhatikan kondisi wanita dari sudut pandang usia, kecantikan, strata sosial dan keluarga, tingkat pendidikan serta berdasarkan tuntutan ruang dan waktu.