Hits
14953
Tanggal Dimuat: 2010/11/28
Kode Site fa10798 Kode Pernyataan Privasi 10413
Ringkasan Pertanyaan
Apa hikmah di balik penggantian domba menggantikan Hadhrat Ismail yang tadinya ingin disembelih ayahnya?
Pertanyaan
Apa hikmah di balik penggantian domba menggantikan Hadhrat Ismail yang tadinya ingin disembelih ayahnya?
Jawaban Global

Dari pertanyaan ini dua hal yang dapat disimpulkan:

1.     Mengapa makhluk yang lain tidak dipilih untuk hewan kurban sebagai ganti domba?

2.     Sejatinya mengapa penggantian ini terjadi? Artinya apa dalilnya Hadhrat Ismail tidak dikurbankan?

Jawaban atas pertanyaan awal disebutkan sebagai berkut dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Ridha As: “Sekiranya Tuhan mengetahui yang lebih baik dari domba di antara seluruh makhluk maka pastilah Dia akan menjadikannya sebagai tebusan untuk Ismail.”

Adapun jawaban kedua harus disebutkan bahwa tujuan adanya titah Tuhan ini adalah untuk menguji Nabi Ibrahim. Tuhan tidak benar-benar ingin Ismail menjadi kurban dan terbunuh. Jelas bahwa Nabi Ibrahim telah lulus menjalani ujian yang dimaksud karena itu tidak perlu lagi membunuh Nabi Ismail.

Jawaban Detil

Untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan maka seyogyanya dua poin berikut ini harus dibahas bahwa pertama apa yang menjadi dimaksud pertanyaan (apa hikmah di balik penggantian domba sebagai ganti Nabi Ismail)? Dari redaksi pertanyaan yang diajukan terdapat dua kesimpulan yang dapat diambil:

1.     Mengapa makhluk yang lain tidak dipilih untuk hewan kurban sebagai ganti domba?

2.     Sejatinya mengapa penggantian ini terjadi? Artinya apa dalilnya Hadhrat Ismail tidak dikurbankan?

 

Jawaban atas pertanyaan pertama disebutkan seperti ini dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ridha As: “Sekiranya Tuhan mengetahui yang lebih baik dari domba di antara seluruh makhluk maka pastilah Dia akan menjadikannya sebagai tebusan Ismail.[1]

Adapun jawaban kedua harus disebutkan bahwa tujuan adanya titah Tuhan ini adalah untuk menguji Nabi Ibrahim. Tuhan tidak benar-benar ingin Ismail menjadi kurban dan terbunuh. Jelas bahwa Nabi Ibrahim telah lulus menjalani ujian yang dimaksud karena itu tidak perlu lagi membunuh Nabi Ismail.

Kedua, pertanyaan yang diajukan terkait dengan hikmah perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim. Karena itu, kita perlu ketahui bahwa apabila yang dimaksud dengan hikmah adalah dalil maka dalil perintah Tuhan ini harus jelas yang tentu saja untuk hal ini hanyaTuhan yang mampu menerangkan masalah ini. Karena hanya Tuhanlah yang mengetahui dalil-dalil ril (wâqi’i) hukum-hukum. Oleh itu, satu-satunya yang dapat dilakukan dalam menyimpulkan dalil hukum atau sebuah peristiwa adalah apa yang diterangkan oleh Allah Swt dan akal sehat kita.

Dengan pendahuluan ini kami akan menyampaikan sebagian hikmah dari perintah Tuhan kepada Nabi Ibrahim As untuk menyembelih putranya.

1.     Domba ini adalah semacam hadiah untuk Nabi Ibrahim As.

2.     Kenang-kenangan dari dua hamba saleh: Lebih dari satu jutaan haji menyembelih kerbau, kambing, unta pada hari Idul Kurban di Mina dan lamat-lamat melodi spiritual bergema, “Bismillah wajjahtu wajhi lilladzi fathara al-sawamat wa al-ardh” (Dengan nama Allah, aku hadapkan wajahku kepada Yang menciptakan langit-langit dan bumi) di arena penyembelihan yang mengingatkan kembali kenangan menakjubkan dan inspirasional dua hamba saleh dan dua hamba mukhlis (Ibrahim dan Ismail) dalam diri setiap orang. Orang-orang diajak untuk bernapak tilas kembali pada ribuan tahun yang lalu dan melihat arena yang menakjubkan dan menggetarkan tentang makrifatuLlah dan penyerahan diri secara totalitas di hadapan Tuhan yang ditunjukkan keduanya kepada dunia. Ketika itu seorang ayah tua dan renta dengan wajah yang berkilauan cahaya Rabbani, yang merupakan refleksi keagungan dan kebesaran jiwanya dari kepribadian yang tenang, berdiri di lembah ini, meyingsingkan lengan baju serta memegang pisau yang sangat tajam, sembari menidurkan anaknya, yang memiliki bentuk tubuh yang indah, di hadapannya dan dengan hati yang penuh tekad membaja, meletakkan pisau yang tajam itu di tenggorokan putranya, “Ya bunayya inni ara fi al-manâm anni adzbahuka.” (Duhai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu).[2]

3.     Hewan kurban adalah simbol perlawanan terhadap pelbagai keterikatan hawa nafsu. Berkurban bagi para haji pada hari Idul Kurban merupakan sebuah simbol pengurbanan hawa nafsu dan penyembelihan nafsu ammarah. Sebagaimana titah Tuhan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Ismail. Maksud dari titah Tuhan ini adalah supaya Nabi Ibrahim melakukan perlawanan dengan faktor keterikatan hawa nafsu yang paling pelik yaitu kecintaan kepada anak. Nyatanya, Nabi Ibrahim mematuhi titah Tuhan tersebut untuk mencerabut akar-akar keterikatan hawa nafsu. Karena itu, ketaatan Nabi Ibrahim dan penyerahan diri secara totalitas Ismail terhadap perintah ini memiliki peran edukatif yang sangat besar untuk dapat terlepas dari penjara hawa nafsu dan pelbagai keterikatan lainnya. Seiring dengan itu kedudukan dan derajat mereka juga semakin tinggi menjulang di hadapan Tuhan. Atas dasar itu, berkurban bagi para haji sejatinya semacam jihad melawan hawa nafsu dalam rangka mencerabut pelbagai jenis keterikatan dan ketergantungan duniawi dan materi serta terlepas dari penjara perbudakan harta dan dunia. Sesuai dengan penjelasan penuh hikmah Imam Sajjad As, orang-orang yang menunaikan ibadah haji dan menyembelih hewan kurban dengan bersandar pada hakikat wara’ sejatinya menyembelih segala ketamakan dalam dirinya. Karena itu, semata-mata melakukan penyembelihan kerbau, kambing atau unta dan melepaskannya begitu saja tanpa mengindahkan hakikat berkurban tidak akan memberikan pengaruh sedikit pun bagi orang yang melakukan haji. Oleh itu, mengikut penyerupaan sesuatu yang ma’qul (rasional) kepada mahsus (indrawi), maksud dari perbuatan tersebut adalah menyembelih segala ketamakan dan keserakahan yang terdapat pada manusia.

4.     Memperoleh ketakwaan dan kedekatan Ilahi: Al-Qur’an dalam hal ini menegaskan, “Daging dan darah unta itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya.[3] Karena pada dasarnya Tuhan tidak memerlukan daging hewan kurban; karena Dia bukan benda juga tidak membutuhkan. Dia adalah Entitas Sempurna dan Nir-Batas dari segala dimensi. Dengan kata lain, tujuan Allah Swt mewajibkan kurban ini adalah supaya kalian dengan melintasi pelbagai tingkatan takwa masuk dalam lintasan perjalanan manusia sempurna dan hari demi hari semakin dekat (qurb) kepada Tuhan. Seluruh ibadah merupakan kelas-kelas penggemblengan dan tarbiyah bagi manusia. Berkurban merupakan pelajaran itsar (altruis), dedikasi, pengorbanan, dan kesiapan untuk mereguk cawan syahadah di jalan Allah yang diajarkan kepada manusia. Dan juga pelajaran untuk mengulurkan tangan membantu orang-orang yang tidak mampu dan membutuhkan.[4] Sekiranya kita memperhatikan hanya pada hikmah-hikmah yang disebutkan di atas, bahkan apabila daging-daging hewan kurban itu sama sekali tidak dimanfaatkan maka hikmah-hikmahnya tetap dapat diperoleh.

5.     Bantuan terhadap orang-orang miskin. Mengulurkan bantuan kepada orang-orang miskin (memberi makan kepada mereka) dapat disimpulkan dengan baik dari ayat-ayat al-Qur’an bahwa salah satu tujuan berkurban adalah supaya daging-dagingnya dikonsumsi oleh mereka yang berkurban juga sebagian lainnya dibagikan kepada orang-orang fakir dan membutuhkan.[5]

 

Berdasarkan tujuan yang sarat nilai ini, kaum Muslimin tidak diperbolehkan membuang daging-daging hewan kurban yang disembelih di Mina supaya membusuk atau dikuburkan, melainkan daging-daging yang disembelih di Mina pertama-tama harus dikonsumsi oleh orang-orang fakir di daerah tersebut dan apabila tidak terdapat orang yang membutuhkan (fakir) pada hari tersebut dan tempat tersebut maka daging-daging tersebut harus dikirim ke daerah-daerah lainnya dan diserahkan kepada orang-orang yang membutuhkan. Bahkan berdasarkan hikmah ini, apabila daging-daging hewan kurban ini tidak sampai ke tangan orang-orang fakir pada waktunya kemudian menjadi rusak (membusuk), tidak boleh disimpulkan bahwa kita tidak lagi perlu berkurban! Melainkan kaum Muslimin harus berupaya, dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas canggih, menjaga kekayaan besar ini (misalnya menyimpannya di storage) dan secepatnya diserahkan kepada orang-orang fakir dan membutuhkan. Dengan kata lain, kita tidak boleh berkata bahwa mengingat daging-daging kurban tersebut tidak sampai di tangan orang-orang fakir maka kita tidak perlu lagi berkurban. Sebaliknya, kita harus berkata bahwa karena berkurban itu wajib dan salah satu hikmah berkurban itu adalah supaya orang-orang fakir dapat mengkonsumsi daging kurban tersebut maka seharusnya pelbagai fasilitas (misalnya storage) yang diperlukan (dalam menyimpan daging tersebut supaya tidak segera rusak) harus disediakan.[6] [IQuest]

 

Indeks Terkait:

Falsafah Berkurban Bagi Orang Yang Menunaikan Ibadah Haji, 6487 (Site: 8073)

Menyembelih Hewan Pada Perayaan-perayaan dan Peringatan Keagamaan, 754 (Site: 792)



[1]. Qishash al-Anbiyâ (Qisash Qur’ân), hal. 209.

[2]. Qs. Shaffat [37]:102.

[3]. “Lan yanalaLlâh luhûmuhâ wa la dimâuhâ walakin yanâluhu al-Taqwa minkum.” (Qs. Al. Hajj [22]:37)

[4]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 107.

[5]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 83.

[6]. Diadaptasi dari 6478 (Site: 6776)

Terjemahan dalam Bahasa Lain