Disebutkan dalam Nahj al-Balâghah bahwa kecemburuan seorang wanita (terhadap madunya) adalah alamat kekufuran, sedang kecemburuan lelaki adalah bagian dari iman. Harus diperhatikan bahwa dengan mengkaji beberapa riwayat lainya, apabila kecemburuan wanita kita maknai sebagai kecintaan kepada suami dan hasratnya untuk melanjutkan kehidupan rumah tangga dan tidak merasa terancam dengan adanya wanita lain, sebagaimana pada kebanyakan wanita demikian adanya, tentu saja kecintaan (baca: kecemburuan) seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alamat kekufuran.
Namun apabila dengan kecumburuannya ia ingin mempertanyakan dan menolak kebolehan suami memiliki beberapa istri dengan beberapa ketentuan yang ditetapkan dan diterima Islam, dan memandangnya sebagai ketidakadilan; karena menentang aturan pasti Islam yang telah disinggung dalam al-Quran, maka ia terdiagnosa terjangkiti tanda-tanda kekufuran.
Di samping itu, terdapat beberapa riwayat yang mencela kecemburuan pria yang tidak pada tempatnya dan sebagai hasilnya kecemburuan positif dan benar terhadap sikap yang sebaliknya, baik dari kalangan pria atau wanita, tentu akan diterima. Kecemburuan yang tidak pada tempatnya dari keduanya yang tidak dapat dibenarkan.
Sabda yang disandarkan kepada Amirul Mukminin Ali As dalam Nahj al-Balâghah bukanlah penegasan atas ketidakrelaan wanita terhadap poligami kaum pria, melainkan sabda tersebut dinyatakan dengan redaksi seperti ini, “Ghairat al-mar’a kufrun wa ghairat al-rajul imânun.” (Kecemburuan seorang wanita [terhadap madunya] adalah alamat kekufuran, sedang kecemburuan lelaki adalah bagian dari iman).”[1]
Barangkali pada pandangan pertama tidak dapat diterima apa maksud Imam Ali dalam menyampaikan sabda ini dan juga tidak dapat digambarkan bahwa ucapan seperti ini adalah pertanda sikap diskriminatif Islam dan pemimpin agama terhadap kaum wanita. Namun dengan sedikit cermat, gambaran dan ilustrasi diskriminatif seperti ini segera akan sirna.
Dengan mengkaji ucapan orang-orang yang berbahasa Arab, kita akan memahami poin ii bahwa redaksi kata “ghairat” digunakan dalam beberapa hal yang muncul akibat dari reaksi dan sensitifitas yang tinggi terhadap sebuah persoalan.
Dalam lingkup kecil dan skop terbatas keluarga, “ghairat” dapat bermakna reaksi dan sensitivitas masing-masing pasangan suami dan istri dalam menghadapi hubungan-hubungan masing-masing pasangannya. Nah harap dicemati bahwa apakah setiap reaksi yang mengandung kecemburuan dari pihak pria dan wanita dapat diterima dalam Islam atau tidak?
Dalam hal ini, kami akan mengkaji ragam hal terkait dengan penggunaan redaksi kata ghairat dengan memperhatikan prinsip-prinsip Islam sebagaimana berikut:
Jelas bahwa kaum wanita beriman juga mengetahui tugas-tugas syar’inya dan menghindar untuk tidak berperilaku melanggar rambu-rambu syariat. Namun apabila kepala rumah tangga merasa bahwa was-was setan, nampak dan tersembunyi, berusaha menyimpangkan istri dan anak-anaknya namun ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, dari sudut pandang Islam sikap seperti ini dinilai sebagai unsur yang tidak ideal dan tercela.[4] Wajar kalau pria menunjukkan reaksinya atas perbuatan-perbuatan tercela. Reaksi ini merupakan pertanda iman dalam dirinya dan harus dipuji dan dijelaskan bahwa “ghairat al-rajul imânun.”
Berdasarkan ajaran-ajaran para pemimpin agama, kaum pria tidak boleh menunjukkan ghairat-nya dalam masalah yang dibolehkan (mubah) dan legal (halal). Dan ghairat seperti ini tercela dan pada akhirnya juga tidak akan sesuai.
Pemimpin orang-orang bertakwa Ali As dalam wasiatnya kepada putranya, Imam Hasan Mujtaba As berkata, “Awasilah dengan cermat dalam hal yang tidak menuntut ghairat janganlah engkau melakukannya! Tentu perbuatan seperti ini akan membuat orang sehat menjadi sakit dan orang-orang suci akan ternodai perbuatan dosa.[5]
Imam Ali As dalam sabdanya ini tengah mengkiritisi dan menyinggung poin psikologis yang paling penting dan sikap sensitif tanpa dasar sebagian orang dengan dalih cemburu dan menunjukkan sikap sensitif, sehingga mencegah istrinya untuk terjun dalam pelbagai aktivitas sosial.
Jawaban kami adalah bahwa berdasarkan ajaran-ajaran Islam, kaum wanita juga memiliki tanggung jawab sosial di tengah masyarakat dan sepanjang ia mampu ia harus mencegah penyimpangan dan kejelekan dalam rumah tangganya. Kita membaca sebuah ayat dalam al-Quran yang menyatakan, “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Taubah [9]:71)
Berdasarkan hal ini, apabila seorang wanita Muslimah, mencegah suaminya dari hubungan-hubungan gelap dan ilegal, maka sesungguhnya ia telah menjalankan tugas keagamaannya dan sebagai bandingannya, apabila ia tidak peduli dengan masalah ini, ia juga telah melakukan dosa dan bertanggung jawab kelak di hadapan Allah Swt.
Dari satu sisi, setiap orang yang memiliki informasi paling minim pun dalam masalah hukum-hukum Islam tahu bahwa kaum pria, tentu saja dengan syarat-syaratnya, dapat menikahi beberapa orang wanita. Hal ini juga ditegaskan dalam al-Quran.[6] Meski fakta-fakta statistika dan ekualnya jumlah pria dan wanita demikian juga anjuran Islam kepada seluruh pria terkait dengan pernikahan, kurang lebih dari satu persen pria dapat melakukan poligami. Bagaimanapun, kami beranggapan Anda mengetahui dalil-dalil bolehnya poligami dari sudut pandang Islam dan tidak terdapat keburaman bagi Anda dalam hal ini.[7]
Dengan mencermati apa yang telah dijelaskan di atas, sikap cemburu kaum wanita terkait dengan hubungan-hubungan legal para suami mereka dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
Sebuah riwayat dari Ishak bin Ammar adalah jawaban atas pertanyaan seperti ini. Ia meriwayatkan bahwa saya berkata kepada Imam Shadiq As bahwa wanita yang cemburu kepada suaminya dan karena dasar cemburu ia mengganggu dan mengusik suaminya! Imam Shadiq As – dengan tanpa mengindahkan dan tanpa memandang wanita sebagai sosok yang harus disalahkan – menjelaskan bahwa dalil kecemburuan seperti ini adalah cinta wanita tersebut kepada suaminya.[8]
Coba Anda perhatikan dalam hal ini, Imam Maksum As tidak memandang sikap cemburu wanita sebagai perbuatan kufur bahkan memandangnya bersumber dari cinta dan kesukaan yang tidak boleh disikapi sebagai sebuah negatif thinking dan memandang kecintaannya kepada suaminya sebagai bentuk kekufuran kepada Allah Swt.
Hadis yang disebutkan dalam Nahj al-Balâghah yang menyatakan “ghairat al-mar’a kufrun (kecemburuan wanita adalah alamat kekufuran) juga bermakna demikian dan pada hadis tersebut, sikap dan tindakan yang tidak pada tempatnya yang dilakukan oleh kaum wanita sehingga dinilai sebagai kekufuran. Sebagaimana yang telah dijelaskan sikap cemburu yang tidak pada tempatnya merupakan sebuah perbuatan tercela. Atas dasar itu dan dengan mengkaji riwayat ini dan menyelaraskannya dengan ayat-ayat dan riwayat-riwayat lainnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa Imam Ali As tidak mengiritik sikap cemburu yang benar para wanita dan juga tidak mendukung sikap cemburu yang tidak pada tempatnya kaum pria.
Akhir kata, harus diketahui bahwa setiap kekufuran yang disinggung dalam teks-teks Islam tidak bermakna kufur secara teknis teologis dan membuat orang yang melakukannya menjadi najis melainkan sebagian sikap tidak tahu bersyukur dalam teks-teks ini juga disebut sebagai kufur. [iQuest]
[1]. Nahj al-Balâghah, Hikmah 124, Intisyarat Dar al-Hijrah, Qum, Tanpa Tahun.
[2]. “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:34)
[3]. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. Al-Tahrim [66]:6)
[4]. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 536, Hadis 2-5, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[5]. Nahj al-Balâghah, hal. 405, Kitab 31.
[6]. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (gunakanlah) budak-budak wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu dapat mencegahmu dengan lebih baik untuk tidak berbuat aniaya.” (Qs. Al-Nisa [4]:3)
[7]. Selainnya Anda dapat menelaah indeks: Syarat-syarat Poligami, Pertanyaan 3103 (Site: 3368).
[8]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 506, Hadis 6.
[9]. “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]:129)
[10]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 505, Hadis 2.