Untuk menjelaskan jawapan terhadap pertanyaan yang diajukan, beberapa perkara berikut perlu kami terangkan:
Dari apa yang telah dijelaskan di atas menjadi terang bahawa kata maaf dan keampunan Ilahi dan berubahnya kondisi pendosa hanya berlaku pada dosa-dosa yang Allah janjikan keampunan dan maaf baginya dimana hal ini dapat terwujud dengan mencari sebab-sebab pengampunan.
Adapun orang yang menghabiskan hidupnya dalam perbuatan dosa dan penyimpangan, bagaimana ia akan mendapatkan keampunan dan syafaat, atau nasibnya akan berubah di akhirat melalui perantaraan kebaikan dan doa orang lain? Ini disebabkan seluruh orang-orang yang tenggelam dalam perbuatan dosa dan penyimpangan tidaklah dikatakan demikian. Mustahil nasib mereka akan berubah dengan perantara perbuatan baik dan doa orang lain. Sementara yang berkaitan dengan para pendosa yang mana dosanya dijanjikan keampunan dan kemaafan oleh Allah (s.w.t) maka ia tetap memiliki harapan, bahkan dengan doa dan perbuatan baik orang lain ia akan mendapatkan keampunan; Ini disebabkan al-Qur'an menyatakan,
"Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." (Surah Al-Hud [11]:114)
Sebagaimana pendosa, apabila semasa hidupnya melakukan kebaikan-kebaikan dan melalui perbuatan baiknya itu, Allah (s.w.t) akan menghapus dosa-dosa dan kesan-kesan dosanya. Apabila orang lain melakukan pelbagai kebaikan dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang berbuat dosa, kebaikan-kebaikan ini akan menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa dan kesa-kesan yang ditimbulkan dari dosa yang ia lakukan.
Kita memiliki banyak riwayat yang menegaskan bahawa, "Tatkala seseorang meninggal dunia apabila orang lain (anak-anak atau orang lain) mengerjakan kebaikan seperti menunaikan solat, puasa, haji, bersedekah dan membebaskan hamba dan sebagainya, setelah itu menghadiahkan pahala dan ganjaran amal soleh yang telah mereka kerjakan ini (kepada orang itu) maka pahala dan ganjaran kebaikan tersebut akan sampai kepadanya.’
[9]
Sudah tentu apabila ganjaran kebaikan-kebaikan yang dikerjakan orang lain tersebut diperuntukkan kepada seorang pendosa, maka itu akan sampai kepadanya selama ia ingin menebus kesan-kesan buruk dosa-dosa seorang pendosa, maka dosa-dosanya juga akan tertebus.
Pada hakikatnya, hal ini merupakan cermin keadilan Ilahi di mana dengan perbuatan-perbuatan baik orang lain dosa-dosa yang setimpal dengan perbuatan baik tersebut akan diampuni. Allah (s.w.t) membuka jalan ini melalui lisan Nabi-Nya.
[10] Sebagaimana di dunia ini apabila seseorang mengerjakan sebuah kesalahan dan meninggalkan kerugian bagi orang lain, apabila orang ketiga menebus kesalahan ini untuknya maka sudah tentu orang yang menderita kerugian tersebut akan meredainya namun sekiranya tidak rela, maka ia akan mendapatkan cemuhan. Kerana itu, tidaklah menghairankan dan menjadi pertanyaan bagaimana dosa seorang pendosa yang telah meninggal dunia dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik orang lain.
Lain pula halnya dengan seseorang yang gemar berbuat maksiat dan dosa, meskipun semua orang-orang soleh menghadiahkan segala kebaikan mereka kepadanya itu tetap tidak mampu menebus dosa-dosa besar yang tak-terbilang yang ia lakukan. Dalam hal ini, ia tidak akan dimaafkan dengan perantara kebaikan-kebaikan orang lain, melainkan Allah (s.w.t) akan mengurangkan beban dosa-dosanya dan menurunkan berat azab untuknya.
[11]
Perlulah disebutkan di sini bahawa Allah (s.w.t) Maha Adil Maha Bijaksana, dan sekali-kali tidak akan melakukan penganiayaan kepada para hamba-Nya. Setiap perbuatan hamba tidak ada yang sia-sia, setiap amal kebaikan akan mendapat ganjaran. Boleh jadi menurut pandangan kita seseorang itu adalah pendosa dan layak mendapatkan azab kerana kita tidak mengetahui seluruh perbuatan dan amal-amal mereka. Namun Allah (s.w.t) Maha Mengetahui segala sesuatu, maka keampunan-Nya harus kita hitung sebagai ganjaran dari perbuatan-perbuatan baik yang ia lakukan di mana Allah (s.w.t) mengetahuinya dan kita tidak mengetahuinya.
Satu hal yang tidak boleh kita lalai iaitu doa dan keampunan yang dipohon oleh seseorang bagi orang lain lantaran perbuatan baik yang dilakukan semasa hidupnya. Namun apabila seseorang yang tidak pernah melakukan kebaikan dalam kehidupannya, malah seluruh hayatnya bergelumang dengan dosa, maka tidak ada seorang pun yang akan memohonkan keampunan baginya dengan tulus-ikhlas, begitu juga permohonan daripada anak-anak dan kerabatnya.
Mengenai hubungan dengan kerabatnya, apabila kerabat ini bukan termasuk orang baik, sudah tentu do’anya tidak akan dimakbulkan. Namun sekiranya kaum kerabatnya itu termasuk orang baik dan soleh, pasti mereka tidak senang kepadanya kerana ia adalah pendosa, sehingga tidak merasa perlu untuk berdo’a baginya.
Dalam menjawab pertanyaan ini Tafsir Nemune menyatakan bahawa ayat-ayat tentang syafaat atau sepertinya dalam surah Thur, ayat 1
"Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam syurga)" menegaskan bahawa anak-anak para penghuni syurga juga akan digabungkan dengan mereka padahal sedikit pun tidak ada usaha dari mereka. Atau apa yang disebutkan dalam riwayat bahawa seseorang yang melakukan perbuatan baik maka hasilnya akan sampai pada anak-anaknya. Fakta ini selaras dengan ayat al-Qur’an mengenai mereka yang berusaha dan akan memperolehi ganjaran. Al-Qur'an menyatakan,
"Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang telah dikerjakannya." Namun hal ini tidak akan menjadi penghalang bagi Allah yang mana melalui kemurahan-Nya, berbagai nikmat diberikan kepadanya. Di sini kemurahan adalah sebuah persoalan dan kelayakan (
istihqaq) adalah persoalan yang lain. Sebagaimana ḥasanah (berbagai kebaikan) akan diberi ganjaran sepuluh kali ganda, dan kadang-kadang sampai seratus atau seribu ganjaran.
Selain itu, syafaat adalah persoalan yang bukan tidak diperhitungkan. Ia memerlukan usaha serta jalinan hubungan maknawi dengan individu yang memberikan syafaat.
[12] Demikian juga berkenaan dengan masalah pertemuan anak-anak penghuni syurga dengan mereka yang ada di syurga. Al-Qur'an menyebutkan pada ayat yang sama, "
Dan anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan." Maka hal ini hanya dapat terjadi ketika anak-anak mereka adalah orang-orang beriman yang mengikuti jejak langkah mereka.
[13]
Allamah Thabathabai (r.a) dalam kitab
al-Mizān berkenaan dengan pembahasan
syafaat berkata, "Apabila seseorang ingin mendapatkan ganjaran yang ia tidak mempersiapkan sebab-sebab ganjaran, dan juga sebab-sebab penghindaran dari hukuman kerana tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, maka ia akan mendapatkan ganjaran dengan perantara syafaat. Namun syafaat yang dimaksud di sini bukanlah dalam bentuk mutlak, sebab sebahagian manusia tidak memiliki kelayakan untuk sampai kepada kesempurnaan yang diidam-idamkan sedikitpun. Contohnya orang awam yang menjadi ulama dengan syafaat seseorang. Jika ia tidak memiliki ilmu dan tidak pula berupaya mengembangkan potensinya, serta tidak memiliki hubungan erat dengan seseorang yang dapat memberikannya syafaat, maka ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Ataupun seperti hamba yang tidak memiliki ketaatan kepada tuannya sedikitpun. Pada saat ia membantah dan menentang tuannya, ia juga ingin memperolehi syafaat dari tuannya, sudah tentu ia tidak akan mendapatkan apa-apa dan syafaat tidak akan memberikan manfaat sedikitpun. Syafaat bukan sebab itu sendiri melainkan medium untuk melengkapkan dan menyempurnakan sebab Seperti mana dalam contoh pertama menyatakan dirinya sebagai ulama dan contoh kedua pada saat ia membantah ketika mendekatkan diri kepada tuannya sehingga tidak akan memberi hasil apa-apa.
[14] []
[1].
Tafsir Nemune, jil. 6, hal. 415.
[2].
Al-Kāfī, jil. 2, hal. 428 dan
Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 406.
[3].
Al-Kāfī, jil. 2,hal. 433.
[4]. "
Al-Kabāir allati awjabaLlāh Azza wa Jalla ʻalaihi al-Nār." Dosa-dosa besar yang diwajibkan Allah (s.w.t) baginya neraka jahanam."
Al-Kāfi, jil. 2, hal. 276.
[5]. Beberapa keadaan yang menjadikan dosa-dosa kecil berubah menjadi dosa besar ialah:
-
Apabila dosa kecil itu dilakukan berulang-ulang. Imam Shadiq (a.s) berkata, "Lā Shaghira maa' al-Ishrār." (Tiada dosa kecil yang dilakukan berulang-ulang [dan berubah menjadi dosa besar]). Al-Kāfi, jil. 2, hal. 88.
-
Apabila orang yang melakukan dosa memandang dosa kecil itu sebagai hal yang remeh dan rendah dosa kecil yang ia lakukan. Dalam keadaan seperti ini dosa kecil itu akan berubah menjadi dosa besar. Imam Ali (a.s) berkata: "Ashaddu al-dhunūb mā isthana bih ṣāhibuh." (Seburuk-buruk dosa adalah apa yang dipandang rendah dan remeh oleh pelakunya). Wasāil al-shiʻah, jil. 15, hal. 312, bab 43.
-
Apabila pendosa melakukan dosa dengan sikap angkuh dan melampaui batas. Al-Qur'an menyatakan, "Maka orang yang melampaui batas. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)." (Surah Al-Naziat [79]:37-39)
-
Apabila dosa kecil dilakukan oleh orang-orang besar dan tokoh-tokoh sosial. Al-Qur'an menegaskan kepada para isteri nabi, "Hai isteri-isteri nabi, barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, nescaya akan digandakan seksaan kepadanya dua kali ganda." (Surah Al-Ahzab [33]:30)
-
Apabila pendosa melakukan dosa-dosa kecil itu dengan gembira. Nabi (s.a.w) bersabda: "Barangsiapa yang melakukan dosa dalam keadaan tertawa maka ia akan memasuki neraka dalam keadaan menangis." Wasāil al-shiʻah, jil, 15, hal. 305, bab 40.
-
Apabila orang yang melakukan dosa menganggap tidak ada hukuman segera daripada Tuhan adalah dalil atas keredaan-Nya. "Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tiada menyeksa kita (segera) lantaran apa yang kita katakan itu." (Surah Al-Mujadalah [58]:8) Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 359 dan seterusnya.
[6]. Akan tetapi persoalan ini tidak bertentangan dengan penggolongan syafaat bagi orang yang melakukan dosa besar. Berkenaan dengan masalah bahawa siapa saja yang boleh mendapatkan syafaat, Allamah Thabathabai berkata, "Syafaat terbahagi menjadi dua bahagian. Pertama syafat
takwini yang bermakna pengaruh setiap sebab-sebab takwini pada alam sebab-akibat, dan kedua syafat
tasyri'i yang berkaitan dengan ganjaran dan hukuman. Ketika kita berkata bahawa bahagian kedua berpengaruh termasuk sebahagian dosa-dosa syirik hingga yang dosa peringkat yang lebih rendah. Misalnya syafaat, perantara taubat dan iman. Tetapi taubat dan iman yang dilakukan di dunia dan sebelum kiamat. Sebahagian yang lain memberi kesan pada azab terhadap dosa-dosa. Misalnya amal soleh yang menjadi perantara dalam penghapusan dosa-dosa. Akan tetapi syafaat yang menjadi hakikat perdebatan dan perbezaan adalah syafaat para nabi dan selain para nabi pada hari Kiamat demi menghapuskan azab dari orang yang menurut perhitungan kiamat adalah orang yang layak mendapatkan azab dan pada waktu yang lalu (dalam perbahasan yang lalu bertajuk siapa yang layak mendapatkan syafaat, kami berkata bahawa syafaat ini berkaitan dengan orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar, daripada orang-orang yang beragama pada agama yang benar, dan Allah (s.w.t) menerima agama mereka. Terjemahan Parsi
al-Mīzān, jil. 1, hal. 264.
[7].
"Sesungguhnya (penerimaan) taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Surah Al-Nisa [4]:17)
[8]. Para penafsir yang merujuk pada ayat dan riwayat telah mengira sebab-sebab pengampunan dosa-dosa sebagai berikut:
-
Taubat dan kembali kepada Tuhan yang sentiasa disertai dengan rasa kesal atas dosa-dosa lalu dan memutuskan untuk menjauhi dosa-dosa tersebut pada masa akan datang. Al-Qur'an dalam hal ini menegaskan, " (Surah Syura [42]:25)
-
Mengerjakan amalan-amalan baik menjadi sebab pengampunan perbuatan-perbuatan buruk. ""Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk." "(Surah Al-Hud [11]:114)
-
Syafaat: Hakikat syafaat adalah doa Nabi (s.a.w) atau salah seorang Imam Maksum (a.s) untuk pendosa supaya ia dimaafkan dan diampuni oleh Allah (s.w.t). Ja'far Subhani, Buhuts Qur'aniyah, hal. 117-118. Meskipun syafaat merupakan salah satu kaedah yang diterima secara umum dalam Islam di mana hal ini disebut pada ayat-ayat al-Qur'an dan hadis-hadis iaitu syafaat menjadi penyebab keampunan bagi hamba-hamba yang berdosa, namun syafaat ini memiliki banyak syarat dan tidak bersifat umum sehingga siapa sahaja boleh memperolehi syafaat. Hal ini khusus bagi orang-orang yang menunaikan segala kewajipan yang diperintahkan dalam agama terutama sekali apabila ia tidak memandang remeh pada ibadah solat, maka Tuhan memberikan izin syafaat kepada orang tersebut. Demikian juga tidak termasuk seluruh dosa. (Syarat-syarat syafaat dan hal-hal yang berkenaan dengannya telah dibahas tersendiri pada tempatnya)
-
Menghindari dari dosa-dosa besar menjadi penyebab keampunan dosa-dosa kecil. "Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang pengerjaannya, nescaya Kami hapuskan kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu) yang kecil dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (syurga)." (Surah Al-Nisa [4]:31)
-
Keampunan Ilahi yang dianugerahkan kepada orang-orang yang layak mendapatkannya.
Keampunan Ilahi bergantung kepada kehendak Ilahi dan memiliki sekumpulan syarat dan peraturannya tersendiri. Ianya dapat diperoleh oleh orang-orang yang membuktikan bahawa dirinya layak mendapatkan keampunan pada tahap perbuatan. Dari sini, jelaslah bahawa mengapa Allah (s.w.t) berfirman: "Perbuatan syirik sekali-kali tidak akan diampuni”, kerana musyrik telah memutuskan hubungannya dengan Tuhan secara keseluruhan dan terlekat pada sebuah perbuatan yang bertentangan dengan asas seluruh agama dan norma-norma penciptaan. Di antara sebab-sebab pengampunan yang telah kita jelaskan di atas boleh jadi sebab yang paling kuat adalah taubat yang banyak disebutkan pada ayat-ayat al-Qur'an. "Allah (s.w.t) mengajak kepada para hamba-Nya untuk melakukan taubat." (Surah Tahrim [66]:8); "Kerana itu mohonlah keampunan-Nya, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” Surah Hud (11):61; "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Surah Nur [24]:31); begitu juga firman Allah bahawa, "Dia mencintai orang-orang yang bertaubat." (Surah Al-Baqarah [2]:222) dan "Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal soleh; maka Allah akan mengganti kejahatan mereka dengan kebaikan, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surah Al-Furqan [25]:70)
Walau bagaimanapun taubat ini harus dilakukan dengan syarat-syarat khususnya pada waktu yang tepat sehingga taubat itu dapat memberikan kesan dan berguna. Di antara syarat-syarat yang harus dikerjakan oleh para pendosa adalah: 1. Penyesalan bersungguh-sungguh atas perbuatannya. 2. Menebus segala perbuatan yang tidak layak ia kerjakan (apabila ia telah merampas hak seseorang maka ia harus mengembalikan hak tersebut atau meminta keredaan daripadanya). 3. Memutuskan untuk tidak lagi mengerjakan perbuatan dosa tersebut. 4. Bertaubat pada waktu masih lapang bukan tatkala malaikat maut datang menjemput.
[9].
Wasāil al-shiʻah, jil. 2, hal. 445, hadis ke-2603, 2605, dan 2606; jil. 3, hal. 200; jil. 6, hal. 219; jil. 11, hal. 204.
[10]. Sila lihat,
Mizān al-Hikmah, huruf
Ta, tema taubat.
[11].
"Akan tetapi dosa syirik memiliki perhitungan tersendiri. Al-Qur'an menandaskan, "Dan permintaan keampunan daripada Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya (baca: bapa saudaranya, Azar), tidak lain hanyalah kerana suatu janji yang telah ia janjikan kepadanya. Maka apabila jelas bagi Ibrahim bahawa ia adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun." (Surah Al-Taubah [9]:114) Istighfar yang dilakukan Ibrahim bagi ayahnya (Azar) hanya kerana janji yang diberikan kepadanya.
Tafsir Nemune, jil. 5, hal. 304.
[12]. Untuk telaah lebih jauh tentang makna dan syarat-syarat syafaat, sila lihat,
Tafsir Nemune, jil. 13, hal. 304; jil. 9, hal. 90; jil. 1, hal. 228; jil. 1, hal. 229; jil. 1, hal. 235 dan Terjemahan Persia
Tafsir al-Mīzān, jil. 1, hal. 238-265.
[13].
Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 555-556.
[14]. Terjemahan Parsi,
Tafsir al-Mīzān, jil. 1, hal. 240.