Pertama, sungai-sungai besar air tawar yang ketika bermuara ke lautan dan samudra umumnya akan membentuk laut dari air tawar di tepi pantai dan mendorong air asin ke belakang, yang mengherankan adalah sampai pada waktu yang lama kedua air tersebut –tawar dan asin– tidak saling bercampur oleh karena perbedaan tingkat dan derajat konsentrasi,
[6] dan ini jelas adalah sungguh keagungan-keagungan Ilahi sebagai bahan pelajaran manusia.
Kedua, sebagian dari para mufassir memaknai kedua laut tersebut pada sebagian dari beberapa laut zaman sekarang,
[7] namun tentunya terdapat juga beberapa kritik atas penafsiran-penafsiran ini.
Ketiga, sebagian dari para mufassir juga menyepakati demikian bahwa maksud dari dua laut adalah laut bumi dan langit, dalam artian ketika air menjadi uap, uap akan naik keatas dan membentuk awan. Air tersebut adalah air tawar yang terpisah dari air laut yang asin.
[8] Namun penafsiran ini pun juga tidak terlepas dari masalah yaitu lafaz “laut” tidak dapat digunakan pada awan dan yang semisalnya.
Pertama, banyak penafsiran-penafsiran yang mengatakan dengan ungkapan
hajiz min qudratillah (pembatas adalah dari kekuasaan Allah).
[9] Nampaknya ungkapan ini memiliki semacam ambiguitas pada dirinya dan satu-satunya yang memperjelas adalah poin ini bahwa kekuasaan Ilahi merealisasi pada hal tersebut dan penghalang hal tersebut menjadi aneh dan tidak lazim. Jadi, apakah kekuasaan Tuhan yang merealisasi pada suatu hal dan untuk peran tersebut Dia memainkan perantara atau tidak, mengenai pertanyaan ini tidak ada jawaban yang tersedia. Pada akhirnya, pandangan ini beserta unversalitasnya dapat disatukan dengan pendapat-pendapat lain.
Kedua, sebagian lain menjelaskan hanya kekuasaan Tuhan dan kehendak Ilahi yang menjadi penghalang dari perkara tesebut yakni kedua laut tersebut saling bertabrakan dan yang satu terdominasi oleh yang lain.
[10]
Ketiga, sebagian dari para mufassir menganggap maksud dari dua laut adalah sebagian dari beberapa laut zaman sekarang, mereka menjelaskan penghalang antara keduanya yaitu pulau-pulau yang terdapat diantara keduanya, mereka mengatakan bahwa penghalang-penghalang tersebut ada dimana Tuhanlah yang mengadakannya.
[11]
Keempat, dan beberapa pandangan lain yang terdapat pada bahasan ini.
[12]
[1]. (Qs. al-Rahman [55]: 19-20)
[2]. (Qs. al-Rahman [55]: 22)
[3]. (Qs. al-Furqan [25]: 53)
[4]. Fadhl bin Hasan Thabarsi,
Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Pendahuluan Muhammad Jawad : Balaghi, jil. 9, Cetakan Ketiga, Teheran, Nasir Khusruw, 1372 S, hal. 304-305.
[5]. (Qs al-Rahman [55]: 21)
[6]. Nasir Makarim Syirazi,
Tafsir Nemuneh, jil. 23, hal. 125, Cetakan Pertama, Teheran: Dar al-Kutub al- Islamiyah, 1374 S.
[7]. Muhammad bin Ali Syarif Lahiji,
Tafsir Syarif Lahiji, Riset oleh Hosaini Armawi (Muhaddits), Mir Jalaluddin, jil. 4, hal. 332, Cetakan Pertama, Teheran: Dad, 1373 S. Husain bin Ali Abu al-Futuh Razi,
Rawdh al-Jinan wa Ruh al-Janan fi Tafsir Al-Qur’an, Riset oleh Dr. Muhammad Jafar Yahqi dan Dr. Muhammad Mahdi Nasher, jil. 18, Masyhad: Bunyad Pazyuhesyhaye Islami Astan Quds Radhawi, 1408 H, hal. 253. Muhammad bin Abul Hasan Naisyaburi,
I’jâz al-Bayân ‘an Ma‘âni al-Qur’ân, Riset oleh Dr. Hanif bin Hasan al-Qasemi, jil. 2, hal. 782. Cetakan Pertama, Beirut, Darul Gharb al-Islam, 1415 H.
[8] Dengan menukil dari Isma‘il bin ‘Amru Ibnu Katsir Dimasyqi,
Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, Riset oleh Muhammad Husain Syamsuddin, jil. 7, hal. 400, Cetakan Pertama, Beirut, Darul Kitab al-Alamiah, 1419 H. Abdur Rahman bin Muhammad Ibnu Abi Hatim,
Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, Riset oleh As‘ad Muhammad Ath-Thib, jil. 8, hal. 2708, Cetakan Ketiga, Saudi Arabia, Maktabah Nezar Moshtafa al-Baz, 1419 H.
[9]. Sayyed Abdullah Syubbar,
Tafsir al-Qur’an al-Karim, hal.497, Cetakan Pertama, Beirut, Dar ul Balaghah Liththaba‘ah wa al-Nasyr, 1412 H. Maqatil bin Sulaiman Balkhi,
Tafsir Maqâtil bin Sulaiman, Riset oleh Abdullah Mahmud Syahhatah, jil. 4, hal. 197, Cetakan Pertama, Beirut, Dar Ihya’ al-Turats, 1423 H; Husain bin Mas‘ud Baghawi,
Ma‘âlim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’ân, Riset oleh , Abdur Razaq al-Mahdi, jil. 4, hal. 333, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H. Muhammad Zamakhsyari,
al-Kassyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh al-Tanzil, jil. 4, hal. 445, Cetakan Ketiga, Beirut, Dar al-Kitab ‘Arabi, 1407 H.
[10]. Abu Abdullah Muhammad bin ‘Amr Fakhruddin Razi,
Mafâtih al-Ghaib, jil. 7, hal. 208, Cetakan Ketiga Beirut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H. Muhammad Jawad Mughniyah,
Tafsir al-Kâsyif, jil. 7, hal. 208, Cetakan Pertama, Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1424 H.
[11]. Dengan menukil dari Abdur Rahman bin Ali Ibnu Jauzi,
Zâd al-Masir fi ‘Ilmu al-Tafsir, Riset oleh Abdur Razaq Al-Mahdi, jil. 4, hal. 209, Cetakan Pertama, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1422 H; Abu Ishaq Ahmad bin Ibrahim Tsa‘laba Naisyaburi,
al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsir al-Qur’an, jil. 9, hal. 181, Cetakan Pertama, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, 1422 H.
[12]. Lihat Ni‘matullah bin Mahmud Nakhjawani,
al-Fawâtih al-Ilahiyah wa al-Mafatih al-Ghaibiyah, jil. 2, hal. 375. Cetakan Pertama, Mesir, Dar Rikabi Linnasyr, 1999 M.
[13]. Syaikh Shaduq,
al-Khishâl, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 60, Cetakan Pertama, Qum, Daftar Intisyarat Islami, 1362 S; Muhammad bin Ahmad Fatal Naisyaburi,
Raudhah al Wâ‘idzhin wa Bashirat al-Mut‘adzhin, jil. 1, hal.148. Cetakan Pertama. Qum, Intisyarat Ridha, 1370 S; ‘Ali bin Ibrahim Qumi,,
Tafsir al-Qummi, Riset dan edit oleh Musawi jil. 2, hal. 433, Cetakan, Ketiga, Qum, Darul Ketab, 1404 H.
[14]. Ahmad bin Muhammad Ibnu ‘Uqdah Kufi,
Fadhail Amirul Mu’minin As, hal. 216, Riset dan edit oleh, Abdur Razaq Muhammad Hosain Harazuddin, Cetakan Pertama, Qum, Dalail Ma, 1423 H.
[15] ‘Ubaidillah bin Ahmad Huskani,
Syawâhid al-Tanzil li Qawâ‘id al-Tafdhil, Riset oleh Muhammad Baghir Mahmoudi, jil. 2, hal. 284, Cetakan Pertama, Teheran, Wizarate Irsyad Islami, 1411 H; Jalaluddin Suyuthi,
al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 6, hal. 142-143, Qom., Kitabkhaneh Ayatullah Mar‘asyi Najafi, 1404 H.