Hits
51143
Tanggal Dimuat: 2007/01/04
Kode Site fa627 Kode Pernyataan Privasi 28449
Ringkasan Pertanyaan
Bagaimanakah lafaz akad mu’tah itu? Apa saja yang menjadi syarat-syarat dan hukumnya?
Pertanyaan
Apakah seorang selain ustadz dapat membacakan akad nikah mut’ah? Apa saja yang menjadi syarat-syarat yang harus dipenuhi?
Jawaban Global

Untuk melangsungkan akad nikah mut’ah (temporer) terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi:

  1. Membaca formula akad; artinya bahwa semata-mata rela dan ridha di antara kedua belah pihak, pria dan wanita belum memadai melainkan harus disertai dengan ekspresi lafaz khusus).
  2. Sesuai dengan ihtiyath wajib, formula akad harus disampaikan dalam bahasa Arab yang baik dan benar. Dan apabila pria dan wanita tidak dapat membaca akad dalam bahasa Arab dengan baik dan benar maka keduanya dapat (dibolehkan) membaca akad dengan bahasa mana pun dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengambil wakil akan tetapi sedemikian ia berkata-kata sehingga makna “zawwajtu” (aku nikahkan) dan “qabiltu” (aku terima) dapat dipahami dengan benar.
  3. Apabila wanita dan pria ingin menyebutkan formula akad temporer, setelah keduanya menentukan masa akad dan maskawin, misalnya wanita berkata, “Zawwajtuka nafsi fi al-muddat al-ma’lumah ‘ala al-mahr al-ma’lum” (Saya nikahkan diriku denganmu dalam tempo yang telah ditentukan dan dengan maskawin yang telah ditentukan).  Kemudian setelah itu (tanpa jeda) sang pria berkata, “qabiltu” (Saya terima) maka akad nikah yang mereka baca sah. Atau wakil wanita dengan berkata kepada wakil pria, “Matta’tu muwakkilati muwakkilaka fi al-muddat al-ma’lumah ‘ala al-mahr al-ma’lum” (Saya nikahkan wakilku [dengan] wakilmu dalam tempo yang telah ditentukan dan dengan maskawin yang telah ditentukan” maka akad nikah yang mereka baca sah.
  4. Menentukan dan menyebutkan mahar tatkala membaca akad.
  5. Pria dan wanita, atau wakil keduanya membaca formula akad harus dengan niat insyâ (imperatif), artinya apabila pria dan wanita sendiri yang membaca formula akad, wanita dengan membaca “zawwajtuka nafsi” (Saya nikahkan diriku) maka niatnya adalah ia menjadikan dirinya sebagai istri dan pihak pria dengan membaca “qabiltu al-tazwij” (Saya terima nikahnya) ia menerima wanita tersebut sebagai istrinya.
  6. Orang yang melangsungkan akad (yang menikah) itu harus berakal dan berusia baligh.
  7. Apabila wakil pihak istri dan suami, atau wali keduanya membaca formula akad maka mereka harus menentukan istri dan suami dalam akad yang mereka bacakan.
  8. Anak putri yang telah mencapai usia baligh dan rasyidah yaitu telah mampu mengidentifikasi dengan baik kemaslahatannya dan ia ingin bersuami, jika ia seorang perawan maka ia harus meminta izin dari orang tuanya atau dari kakeknya (dari pihak ayah). Namun apabila ia tidak lagi perawan dan keperawanannya hilang lantaran pernikahan (sebelumnya) maka ia tidak lagi memerlukan izin dari ayah atau kakeknya (dari pihak ayah).
  9. Wanita dalam proses berlangsungnya akad temporer (mut’ah) tidak terikat akad permanen (daim) atau temporer (mut’ah) dengan orang lain (bukan istri orang lain) dan juga tidak berada dalam masa iddah akad permanen atau temporer orang lain.
  10. Pria dan wanita harus ridha dan rela atas pernikahan dan bukan karena terpaksa (atau dipaksa) sehingga keduanya menikah.[1]

 

Tentu saja masih terdapat syarat-syarat dan masalah-masalah lainnya yang harus Anda baca dan rujuk pada buku-buku fikih dan Taudhih al-Masâil.[2] Apa yang telah dikutip di atas adalah berdasarkan fatwa dan pendapat Imam Khomeini Ra dan boleh jadi terdapat perbedaan kecil di antara fatwa para marja lainnya. Karena itu apabila Anda bertaklid pada Marja Taklid lainnya, kami persilahkan Anda untuk kembali melayangkan pertanyaan kepada kami dengan menyebutkan marja taklid Anda. [iQuest]

 


[1]. Taudhih al-Masâil Marâji’, jil. 2, hal. 449 hingga 460; Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 701-707 demikian juga hal. 734-736.  

[2]. Ibid.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain