Hits
10931
Tanggal Dimuat: 2010/01/09
Kode Site fa357 Kode Pernyataan Privasi 7074
Ringkasan Pertanyaan
Kapankah awal waktu shalat Ashar?
Pertanyaan
Apakah awal waktu shalat Ashar itu langsung setelah shalat Zuhur, ataukah beberapa jam setelahnya?
Jawaban Global

Awal waktu shalat Ashar adalah awal waktu fadhilah (utama) itu sendiri yang jatuh setelah waktu khusus shalat Zuhur.

Jawaban Detil

Shalat Yaumiyyah (harian) mempunyai tiga waktu:  

1.     Waktu khusus dimana shalat selainnya tidak boleh dilakukan pada waktu itu.  

2.     Waktu musytarak (bersama, gabungan) yaitu waktu gabungan antara dua shalat; shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya'. Kedua shalat tersebut boleh dilakukan bersamaan tetapi harus menjaga urutannya.

3.     Waktu fadhilah (utama) yaitu jika shalat dilakukan pada waktu itu, pahalanya lebih banyak.

 

Dengan memahami mukaddimah di atas, kami akan menjelaskan tentang shalat Ashar dan waktu pelaksanaannya.

Secara global bahwa waktu untuk melakukan shalat Zuhur dan Ashar itu dimulai sejak azan Zuhur sampai Maghrib dimana mulai dari awalnya -seukuran lamanya mengerjakan shalat Zuhur- merupakan waktu khusus shalat Zuhur. Apabila shalat Ashar dikerjakan pada waktu khusus shalat Zuhur ini, maka hukumnya batil (tidak sah)[1]. Dan akhir waktunya yaitu seukuran melakukan shalat Ashar sebelum masuk Maghrib, merupakan waktu khusus shalat Ashar[2]. Dan masa yang terletak di antara dua waktu khusus shalat tersebut adalah merupakan waktu musytarak (bersama, gabungan) antara shalat Zuhur dan Ashar dimana kedua shalat tersebut dapat dilakukan pada waktu itu. Tetapi shalat Zuhur harus dilakukan sebelum shalat Ashar[3].

Adapun waktu utama (fadhilah) shalat Ashar , terletak setelah waktu khusus shalat Zuhur[4] hingga panjang bayangan sebuah tonggak itu[5] mencapai dua kali lipatnya. Dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan awal waktua shalat Ashar dalah waktu fadhilah (utama) itu sendiri.[]

 


[1] . Tetapi apabila si mushalli (pelaku shalat) ketika sedang shalat menyadari bahwa ia keliru, maka ia harus merubah niatnya kepada shalat Zuhur, kemudian ia sempurnakan shalatnya dan setelah itu ia lakukan shalat Asar.  Tetapi secara ihtiyath ia harus melakukan shalat Asar lagi. Dan ihtiyath ini sangat bagus; Taudhih al-Masâil (al-Mahsyi Imam Khomeini Ra) J.1, hal. 405.

[2] . Oleh karena itu apabila seseorang belum melakukan shalat Zuhur hingga tiba waktu khusus shalat Asar, maka shalat Zuhurnya harus di-qadha (diulang). Karena pada waktu khusus shalat Asar itu ia harus mengerjakan shalat Asar saja. Dan setelah itu ia melakukan qadha shalat Zuhur. (Taudhihu al-Masail, Imam Khomeini, masalah 731).

[3] . Tahrir al-Wasilah, J.1, kitab al-Shalat, muqaddimatu al-Shalat, al-muqaddimatu al-ula, masail 6, 7 dan 8, hal. 112, Taudhih al-Masâil, Imam Khomeini, masalah 731.

[4] . Imam Khomeini di dalam kitabnya "Tahrir al-Wasilah", walaupun pada awalnya beliau mengatakan bahwa: "Menurut pandangan yang lebih jelas (azhhar) adalah bahwa awal waktu fadhilah shalat Ashar adalah ketika bayangan sebuah tonggak itu mencapai 4/7 nya", tetapi akhirnya beliau berkata bahwa: "Tidak jauh pula bahwa awal waktunya adalah setelah seukuran melakukan shalat Zuhur. (Tahrir al-Wasilah, J 1, hal. 112, masalah 6).

[5] . Makna syakhish adalah seperti sebuah benda semacam kayu yang ditancapkan secara tegak di atas tanah. Dan tonggak itulah yang digunakan untuk menentukan dan mengetahui awal zawal (tergelincirnya) matahari yang merupakan awal waktu shalat Zuhur. Apabila kita menancapkan sebuah kayu berbentuk panjang ke tanah, maka ketika bayangannya sudah tidak ada lagi dan bayangannya itu muncul di arah yang lain, ketika itulah dinamakan zawal (tergelincirnya matahari) yang merupakan awal waktu shalat Zuhur. Demikian juga untuk menentukan waktu fadhilah shalat Zuhur dikatakan bahwa: Waktu fadhilah shalat Zuhur itu dimulai dari awal Zuhur hingga bayangan itu sama dengan panjangnya tonggak yang berdiri tegak. (Tahrir al-Wasilah, J. 1 , Kitabu al-Shalat, muqaddimatu al-Shalat, al-muqaddimatu al-ula, masalah 6, Urwat al-Wusyqa ma'a ta'aliq Imam Khomeini, hal. 272-273, Amuzesye Fiqh, Muhammad Huein Falah Zadeh, hal. 125 – 126).

Terjemahan dalam Bahasa Lain