Terjemahan ayat “Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in” adalah “(Tuhan kami) Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”[1]
Ibadah kepada Allah Swt adalah menunjukkan bahwa Anda dimiliki oleh Allah Swt.[2] Isti’ânah (memohon pertolongan), meminta hal-hal yang bersifat spiritual dan maknawiyat dan ‘aun.[3] Sementara ‘aun bermakna mutlak pertolongan dan bantuan.[4]
Ayat-ayat yang disebutkan pada permulaan surah al-Fatiha berbicara tentang tauhid zat dan sifat. Adapun pada ayat, “Iyyaka Na’budu wa Iyyakan Nasta’in” berkata-kata tentang tauhid ibadah (ibadi) dan tauhid perbuatan (af’ali). Tauhid ibadah bermakna kita meyakini bahwa tiada satu pun yang layak disembah kecuali zat Allah dan berserah diri hanya pada-Nya serta menjauh dari penyembahan dan penyerahan diri kepada selain zat-Nya. Tauhid perbuatan (af’âli) adalah kita memandang bahwa satu-satunya yang memberikan pengaruh secara hakiki di alam ini adalah Allah Swt. Hal ini tidak bermakna bahwa kita tidak mencari media-media sebab, melainkan meyakini bahwa segala sesuatu dapat berlaku dan berpengaruh sesuai dengan titah Allah Swt.[5] Pemikiran dan keyakinan ini akan memutuskan diri dari segala sesuatu dan merapatkan dirinya hanya kepada Allah Swt.[6]
Imam Ridha As bersabda, “Iyyaka na’budu” adalah ekspresi keinginan kuat dan pencarian kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt dan mengungkapkan ketulusan dalam perbuatan untuknya dan bukan selain-Nya. Sementara iyyaka nasta’in adalah memohon taufik dan ibadah yang banyak dari Allah Swt dan memohon keberlangsungan segala karunia serta memohon pertolongan kepada Allah Swt.[7]
Berikut ini adalah beberapa poin tafsiran atas redaksi ayat di atas:[8]
Pertanyaan ini Tidak Memiliki Jawaban Detil
[1]. (Qs. Al-Fatiha [1]:5)
[2]. Silahkan lihat beberapa indeks terkait, Model-model Ibadah, Pertanyaan 8931 (Site: 9418); Ibadah untuk Manusia atau untuk Tuhan?” Pertanyaan 7118 (Site: id7212); “Derajat-derajat Ibadah dan Kehadiran Hati,” Pertanyaan 14743 (Site: 14486).
[3]. Bastani, Fuad Afram, Mihyar, Ridha, Farhang Abjadi, hal. 60, klausul is-ti-‘â-nah, Intisyarat-e Islami, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[4]. Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitâb al-‘Ain, jil. 2, hal. 253, Intisyarat-e Hijrat, Qum, Cetakan Kedua, 1410 H; Abdullah Jawadi Amuli, Tasnim, jil. 1, hal. 425, Nasyr Isra, Qum.
[5]. Silahkah lihat, “Tingkatan-tingkatan Tauhid, Pertanyaan 6949 (Site: id7050); “Tuhan dan Sifat-sifat Tsubuti dan Salbi,” Pertanyaan 2330 (Site: 2859).
[6]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 42 dan 43, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[7]. Muhammad bin Ali Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, Riset dan Koreksi oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 1, hal. 310, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kedua, 1413 H.
[8]. Ali Akbar Hasyimi, Tafsir Rahnema, jil. 1, sehubungan dengan ayat 5, Surah al-Fatiha, Markaz Farhanggi wa Maarif Qur’an, Qum, Dengan sedikit perubahan.
[9]. Didahulukannya kata obyek “iyyaka” atas kata kerja “na’budu” dan “nasta’in” menunjukkan adanya pembatasan.
[10]. Dengan memperhatikan ayat-ayat pendahuluan surah al-Fatiha hingga ayat yang menjadi obyek bahasan, “Rabb al-‘Alamin, al-Rahman al-Rahim. Malik Yaum al-Din. Iyyaka na’budu.”
[11]. Dengan memperhatikan makna ayat iyyaka na’budu wa iyyakan nasta’in.