Please Wait
8848
Umar sekali-kali tidak pernah mendapatkan penghinaan seperti ini tidak dari Rasulullah Saw juga tidak dari seorang pun dari Ahlulbait As bahwa ia telah ragu dalam masalah kenabian. Apabila benar-benar demikian adanya lantas mengapa Ali Ra rela menerima lamarannya untuk putri kinasihnya Ummu Kultsum? Ada baiknya Anda menjawab pertanyaan ini ketimbang harus melayangkan anak panah tuduhan yang kosong karena perbuatan ini adalah perbuatan sia-sia dan tidak ada manfaatnya serta membuang-buang waktu sebagaimana hingga kini Anda telah membuang-buang waktu. Anda perhatikan orang-orang Syiah, dengan segala upaya yang dilakukannya, adalah sebuah firkah kecil yang jumlah komunitasnya tidak lebih dari sembilan persen dari populasi seluruh kaum Muslimin! Umar melontarkan kalimat ini lantaran keinginannya membela Rasulullah Saw. Apabila kita ingin menerima analisa Anda, maka kita harus berkata bahwa Ali Ra juga telah membangkang Rasulullah Saw lantaran pada peristiwa yang sama, perjanjian Hudaibiyyah, tatkala Rasulullah Saw menitahkan kepadanya untuk menghapus kalimat Muhammad Rasulullah Saw pada surat perjanjaian, beliau berkata, “Demi Allah! Saya tidak akan menghapusnya.” Kemudian Rasulullah Saw mengambil surat perdamaian itu dan mengapus kalimat itu dan bersabda, “Demi Allah! Aku adalah Rasulullah meski kalian (orang-orang Kafir) tidak beriman kepadanya.”
Sebagian literatur Ahlusunnah melaporkan hal ini terkait dengan persitiwa perdamaian Hudaibiyyah dimana Umar merasa bahwa sabda-sabda Rasulullah Saw tidak terpenuhi, katanya, “Wallahi! Ma syakaktu mundzu aslamtu illa yaumaidzin.” (Demi Allah! Aku tidak pernah ragu tentang kenabian kecuali hari itu.” Namun pada sebagian literatur lainnya seperti Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim redaksi kalimat tersebut tidak disebutkan, hanya saja laporan teks-teks sedemikian sehingga terlontar kritikan atas tindakan Umar dan mengklaim bahwa terdapat bukti-bukti yang menyokong literatur-literatur yang menukil redaksi kalimat tersebut, sebagai contoh:
1. Umar belum puas dengan sabda Rasulullah Saw dan merasa tentang dengan ucapan Abu Bakar padahal al-Qur’an bertutur kata ihwal Rasulullah Saw, “Wama yanthiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyun yuha.” Dan Rasulullah Saw sendiri menjawab, “Aku adalah utusan Allah Swt. Aku tidak akan bermaksiat kepadanya atau “Aku adalah Rasulullah dan Tuhan sekali-kali tidak akan membiarkanku.” Apabila Umar tidak merasa puas dengan jawaban Rasulullah Saw lantas mengapa ia berperantara kepada Abu Bakar?
2. Meski riwayat yang dinukil Muslim tidak menyebutkan, “Alasta NabiyaLlah haqqan?” (Apakah Anda ini adalah Nabi Allah yang sesungguhnya) Namun apa makna redaksi kalimat ini yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut? Bukankah kalimat ini bermakna keraguan pada kenabian Rasulullah Saw?
3. Apakah Umar yang berkata setelah Rasulullah Saw bersabda, “Inni Rasulallah wa lastu a’shihi wa huwa nashiri,” (Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah Saw dan Aku tidak akan melanggar perintahnya dan Dia adalah penolongku), “aw laisa kunta tahaddatsna inna san’ati al-bait fanathufu bihi.” (Bukankah Anda berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya?) Bukankah ucapan ini bermakna bahwa Umar tengah memprotes Rasulullah Saw?
4. Ucapan ini disampaikan pada sebuah kondisi dimana Rasulullah Saw sangat memerlukan dukungan kaum Muslimin. Apakah penyikapan ini bukan sejenis penguatan dalil dan hujjat Suhail bin Amru dan terbukanya pintu-pintu keraguan dalam masalah kenabian Rasulullah Saw?
5. Dalam nukilan Shahih Muslim disebutkan redaksi kalimat ini, “Fanthalaqa ‘Umaru falam yashbir mutaghayyizhan.” Redaksi “ghaizh” bermakna marah (murka) dan taghyizh bermakna mengungkapkan kemarahan yang terkadang disertai suara. Apakah redaksi kalimat-kalimat ini yang menunjukkan ketidakpuasan Umar terhadap sabda Rasulullah Saw dan ketidaksabarannya dan dalam kondisi marah pergi ke hadapan Abu Bakar tidak dapat disimpulkan dengan maksud tersebut yang disimpulkan oleh penanya dan orang-orang yang mengajukan kritikan?
Sekarang beberapa poin ini telah dijelaskan apakah hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan Baginda Ali As dan dikatakan bahwa apabila kita ingin menyandarkan hal ini kepada Umar maka kita juga harus menyebut perbuatan Ali sebagai bentuk ketidaktaatan di hadapan perintah Rasulullah Saw sementara tidak dijumpai adanya indikasi dan bukti terkait dengan ketidaktaatan Ali As dalam laporan-laporan sejarah. Apakah Baginda Ali As yang berkata bahwa saya tidak memiliki keraguan terkait dengan risalah Anda dan saya tidak akan memberikan izin kepada diri saya untuk menghapus nama Rasulullah, dapat dianggap sebagai ketidaktaatan dan ketidakhormatan kepada Rasulullah Saw? Namun hal ini apabila kita menerima inti kejadian peristiwa ini. Apakah sekiranya Baginda Ali As yang melakukan hal ini, anggaplah, Rasulullah Saw bersabda kepadanya berlaku tidak hormatlah kepadaku? Namun apakah hal ini merupakan izin bagi Ali melakukan hal tersebut? Apakah beliau tidak tahu bahwa ia tidak boleh berlaku tidak hormat?
Pada hakikatnya Ali menolak menghapus nama Rasulullah Saw adalah penolakannya terhadap permintaan utusan kaum Musyrikin yang menghendaki demikian. Dan orang yang sedikit teliti terhadap masalah ini akan memahami bahwa Baginda Ali memandang tinggi kedudukan Rasulullah Saw dan meyakini kesucian bagi namanya. Tindakan Baginda Ali sama sekali tidak memprotes dan bukti kami bahwa Baginda Ali tidak memprotes inti perbuatan tersebut.
Adapun terkait dengan pernikahan Umar dan Ummu Kultsum harus dikatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat terkait dengan inti kejadian ini. Sebagian orang mengingkarinya dan apabila peristiwa pernikahan benar-benar terjadi maka hal itu tidak didasari oleh keridhaan dan kerelaan.
Sebagian literatur Ahlusunnah melaporkan hal ini terkait dengan persitiwa perdamaian Hudaibiyyah dimana Umar merasa bahwa sabda-sabda Rasulullah Saw tidak terpenuhi, katanya, “Wallahi! Ma syakaktu mundzu aslamtu illa yaumaidzin.” (Demi Allah! Aku tidak pernah ragu tentang kenabian kecuali hari itu).”
Sebagai contoh kami akan mencukupkan dengan laporan yang dibeberkan Suyuthi terkait peristiwa ini:
“ .. فقال عمر بن الخطاب : والله ما شککت منذ أسلمت إلا یومئذ فأتیت النبی صلى الله علیه وسلم فقلت : ألست نبی الله ؟ قال : بلى فقلت : ألسنا على الحق وعدونا على الباطل ؟ قال : بلى قلت : فلم نعطى الدنیة فی دیننا إذن ؟ قال : إنی رسول الله ولست أعصیه وهو ناصری قلت : أو لیس کنت تحدثنا أنا سنأتی البیت ونطوف به ؟ قال: بلى أفأخبرتک أنک تأتیه العام؟ قلت: لا قال: فإنک آتیه ومطوف به فأتیت أبا بکر فقلت یا أبا بکر: ألیس هذا نبی الله حقا؟ قال: بلى قلت: ألسنا على الحق وعدونا على الباطل؟ قال: بلى قلت: فلم نعطی الدنیة فی دیننا إذن ؟ قال: أیها الرجل إنه رسول الله ولیس یعصی ربه وهو ناصره فاستمسک بغرزه تفز حتى تموت فو الله إنه لعلى الحق. قلت: أو لیس کان یحدثنا إنا سنأتی البیت ونطوف به؟ قال: بلى أفأخبرک أنک تأتیه العام؟ قلت: لا قال: فإنک آتیه ومطوف به قال عمر: فعملت لذلک أعمالا فلما فرغ من قضیة الکتاب قال رسول الله صلى الله علیه وسلم لأصحابه: قوموا فانحروا ثم احلقوا...
Umar bin Khattab berkata, “Saya datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan bertanya wahai Rasulullah! Apakah Anda ini adalah Rasul Allah yang sesungguhnya? Katanya, “Benar.” Aku bertanya, “Bukankah kita di jalan yang benar dan musuh kita di jalan batil?” Katanya, “Benar.” Saya bertanya, “Lantas mengapa kita merendahkan agama kita?” Katanya, “Sesungguhnya aku ini Rasulullah. Dan saya tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongku.” Saya berkata, “Bukankah Anda berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya? Jawabnya, “Benar. Katanya, “Namun apakah saya berkata bahwa tahun ini (juga) kita akan berangkat?” Saya berkata, “Tidak.” Katanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf di sekelilingnya.” Katanya (Umar), “Kemudian aku mendatangi Abu Bakar Ra dan berkata kepadanya, “Abu Bakar! “Bukankah orang ini adalah Nabi Allah yang sesungguhnya? Katanya, “Benar.” Aku berkata, “Bukankah kita di jalan yang benar dan musuh kita di jalan batil?” Katanya, “Benar.” “Lantas mengapa kita merendahkan agama kita?” Katanya, “Wahai Saudara! Sesungguhnya orang ini adalah Rasulullah Saw.” Dan ia tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongnya. Maka bersandarlah kepadanya karena demi Allah ia berada di jalan yang benar.”Aku berkata, “Bukankah ia berkata kepada kita bahwa kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya? Jawabnya, “Benar. Katanya, “Namun apakah ia mengatakan bahwa tahun ini (juga) engkau akan berangkat?” Aku berkata, “Tidak.” Katanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf di sekelilingnya...” Dan Umar berkata, “Aku mengerjakan hal itu dan setelah Rasulullah selesai menulis piagam perdamaian, beliau berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Pergilah kalian sembelih binatang-binatang korban itu dan cukurlah rambut (kalian)!” [1]
Meski pada sebagian kitab lainnya kalimat ini tidak disebutkan namun laporan teks-teks tersebut juga sedemikian sehingga melontarkan kritikan terhadap tindakan Umar dan mengklaim bahwa terdapat bukti-bukti dari laporan ini yang menyokong literatur-literatur yang menukil kalimat ini.
Berdasarkan hal tersebut, kami memilih laporan Shahih Bukhâri dan Shahih Muslim dan kami persilahkan para pembaca budiman untuk memberikan analisa sendiri-sendiri.
Pada Shahih Bukhâri, jil. 9, hal. 256 disebutkan:
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَیْتُ نَبِیَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ أَلَسْتَ نَبِیَّ اللَّهِ حَقًّا قَالَ بَلَى قُلْتُ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَعَدُوُّنَا عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ بَلَى قُلْتُ فَلِمَ نُعْطِی الدَّنِیَّةَ فِی دِینِنَا إِذًا قَالَ إِنِّی رَسُولُ اللَّهِ وَلَسْتُ أَعْصِیهِ وَهُوَ نَاصِرِی قُلْتُ أَوَلَیْسَ کُنْتَ تُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِی الْبَیْتَ فَنَطُوفُ بِهِ قَالَ بَلَى فَأَخْبَرْتُکَ أَنَّا نَأْتِیهِ الْعَامَ قَالَ قُلْتُ لَا قَالَ فَإِنَّکَ آتِیهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ قَالَ فَأَتَیْتُ أَبَا بَکْرٍ فَقُلْتُ یَا أَبَا بَکْرٍ أَلَیْسَ هَذَا نَبِیَّ اللَّهِ حَقًّا قَالَ بَلَى قُلْتُ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَعَدُوُّنَا عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ بَلَى قُلْتُ فَلِمَ نُعْطِی الدَّنِیَّةَ فِی دِینِنَا إِذًا قَالَ أَیُّهَا الرَّجُلُ إِنَّهُ لَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ وَلَیْسَ یَعْصِی رَبَّهُ وَهُوَ نَاصِرُهُ فَاسْتَمْسِکْ بِغَرْزِهِ فَوَاللَّهِ إِنَّهُ عَلَى الْحَقِّ قُلْتُ أَلَیْسَ کَانَ یُحَدِّثُنَا أَنَّا سَنَأْتِی الْبَیْتَ وَنَطُوفُ بِهِ قَالَ بَلَى أَفَأَخْبَرَکَ أَنَّکَ تَأْتِیهِ الْعَامَ قُلْتُ لَا قَالَ فَإِنَّکَ آتِیهِ وَمُطَّوِّفٌ بِهِ...؛
Umar bin Khattab berkata, “Saya datang menghadap kepada Rasulullah Saw dan bertanya wahai Rasulullah! Apakah Anda ini adalah Rasul Allah yang sesungguhnya? Katanya, “Benar.” Aku bertanya, “Bukankah kita di jalan yang benar dan musuh kita di jalan batil?” Katanya, “Benar.” Saya bertanya, “Lantas mengapa kita merendahkan agama kita?” Katanya, “Sesungguhnya aku ini Rasulullah. Dan saya tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongku.” Saya berkata, “Bukankah Anda berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya? Jawabnya, “Benar. Katanya, “Namun apakah saya berkata bahwa tahun ini (juga) kita akan berangkat?” Saya berkata, “Tidak.” Katanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf di sekelilingnya.” Katanya (Umar), “Kemudian aku mendatangi Abu Bakar Ra dan berkata kepadanya, “Abu Bakar! “Bukankah orang ini adalah Nabi Allah yang sesungguhnya? Katanya, “Benar.” Aku berkata, “Bukankah kita di jalan yang benar dan musuh kita di jalan batil?” Katanya, “Benar.” “Lantas mengapa kita menghinakan agama kita?” Katanya, “Wahai Saudara! Sesungguhnya orang ini adalah Rasulullah Saw.” Dan ia tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongnya. Maka bersandarlah kepadanya karena demi Allah ia berada di jalan yang benar.”Aku berkata, “Bukankah ia berkata kepada kita bahwa kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya? Jawabnya, “Benar. Katanya, “Namun apakah ia mengatakan bahwa tahun ini (juga) engkau akan berangkat?” Aku berkata, “Tidak.” Katanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan melakukan thawaf di sekelilingnya...”
Pada Shahih Muslim, jil. 9, hal. 259 dijelaskan demikian:
فجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ یَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ قَالَ بَلَى قَالَ أَلَیْسَ قَتْلَانَا فِی الْجَنَّةِ وَقَتْلَاهُمْ فِی النَّارِ قَالَ بَلَى قَالَ فَفِیمَ نُعْطِی الدَّنِیَّةَ فِی دِینِنَا وَنَرْجِعُ وَلَمَّا یَحْکُمِ اللَّهُ بَیْنَنَا وَبَیْنَهُمْ فَقَالَ یَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّی رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ یُضَیِّعَنِی اللَّهُ أَبَدًا قَالَ فَانْطَلَقَ عُمَرُ فَلَمْ یَصْبِرْ مُتَغَیِّظًا فَأَتَى أَبَا بَکْرٍ فَقَالَ یَا أَبَا بَکْرٍ أَلَسْنَا عَلَى حَقٍّ وَهُمْ عَلَى بَاطِلٍ قَالَ بَلَى قَالَ أَلَیْسَ قَتْلَانَا فِی الْجَنَّةِ وَقَتْلَاهُمْ فِی النَّارِ قَالَ بَلَى قَالَ فَعَلَامَ نُعْطِی الدَّنِیَّةَ فِی دِینِنَا وَنَرْجِعُ وَلَمَّا یَحْکُمِ اللَّهُ بَیْنَنَا وَبَیْنَهُمْ فَقَالَ یَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ یُضَیِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا قَالَ فَنَزَلَ الْقُرْآنُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ بِالْفَتْحِ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ فَأَقْرَأَهُ إِیَّاهُ فَقَالَ یَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْ فَتْحٌ هُوَ قَالَ نَعَمْ فَطَابَتْ نَفْسُهُ وَرَجَعَ....
Kemudian Umar mendatangi Rasulullah Saw dan berkata, “Bukan kita berada di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil.” Katanya, “Benar.” Kata (Umar), “Bukankah kalau kita terbunuh akan masuk ke dalam surga dan kalau mereka terbunuh mereka akan masuk neraka.” Katanya, “Benar.” Kata (Umar), “Lantas mengapa kita merendahkan agama kita dan kembali sementara Allah Swt belum lagi mengeluarkan hukum antara kita dan mereka. Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Wahai Putra Khattab! Sesungguhnya aku ini Rasulullah dan Allah Swt tidak pernah meninggalkanku selamanya. Katanya, Umar pun pergi, dalam kondisi tidak bersabar dan dalam keadaan marah kemudian ia mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Bakar! Bukan kita berada di pihak yang benar dan mereka di pihak yang batil.” Katanya, “Benar.” Kata (Umar), “Bukankah kalau kita terbunuh akan masuk ke dalam surga dan kalau mereka terbunuh mereka akan masuk neraka.” Katanya, “Benar.” Kata (Umar), “Lantas mengapa kita merendahkan agama kita dan kembali sementara Tuhan belum lagi memberikan hukuman di antara kita dan mereka. Kemudian Rasulullah Saw berkata, “Wahai Putra Khattab! Sesungguhnya ia adalah Rasulullah Saw dan Tuhannya tidak akan pernah meninggalkannya. Katanya, kemudian turunlah (surah) al-Qur’an kepada Rasulullah Saw, surah al-fath kemudian mengirimkannya kepada Umar kemudian ia membacanya lalu berkata, “Wahai Rasulullah! Kemenangan?” Katanya, “Iya.” Lalu ia merasa puas dan pergi. [2]
Namun beberapa bukti dan indikasi yang dengan analisa kalimat-kalimat ini, yang diajukan sebagian peneliti adalah sebagai berikut:
1. Umar tidak puas dengan sabda Rasulullah Saw dan menjadi tenang dengan ucapan Abu Bakar padahal terkait dengan Rasulullah Saw, al-Qur’an menyatakan, “Wama yanthiqu ‘an al-hawa in huwa illa wahyun yuha.” [3] Dan Rasulullah Saw sendiri berkata, “Aku adalah Rasul Allah dan aku tidak akan melanggar perintah-Nya.” Atau berkata, “Aku adalah Rasul Allah dan Allah Swt tidak akan meninggalkanku.” Apabila Umar telah puas dengan jawaban Rasulullah Saw lantas mengapa ia kembali berperantara dengan Abu Bakar?” [4]
2. Meski riwayat yang dinukil Muslim tidak menyebutkan, “Alasta NabiyaLlah haqqan?” (Apakah Anda ini adalah Nabi Allah yang sesungguhnya) Namun apa makna redaksi kalimat ini yang diriwayatkan oleh Bukhari? Bukankah kalimat ini bermakna keraguan pada kenabian Rasulullah Saw?
3. Apakah Umar yang berkata setelah Rasulullah Saw bersabda, “Inni Rasulallah wa lastu a’shihi wa huwa nashiri,” (Sesungguhnya Aku adalah Rasulullah Saw dan Aku tidak akan melanggar perintah-Nya dan Dia adalah penolongku), “aw laisa kunta tahaddatsna inna san’ati al-bait fanathufu bihi.” (Bukankah Anda berkata kepada kami bahwa kita akan mendatangi rumah Allah dan akan melakukan thawaf mengelilinginya?) Bukankah ucapan ini bermakna bahwa Umar tengah memprotes Rasulullah Saw? [5]
4. Ucapan ini disampaikan pada sebuah kondisi dimana Rasulullah Saw sangat memerlukan dukungan kaum Muslimin. Apakah penyikapan ini bukan sejenis penguatan dalil dan hujjat Suhail bin Amru dan terbukanya pintu-pintu keraguan dalam masalah kenabian Rasulullah Saw? [6]
5. Dalam nukilan Shahih Muslim disebutkan redaksi kalimat ini, “Fanthalaqa ‘Umaru falam yashbir mutaghayyizhan.” (Umar pun pergi, dalam kondisi tidak bersabar dan dalam keadaan marah) Redaksi “ghaizh” bermakna marah (murka) dan taghyizh bermakna mengungkapkan kemarahan yang terkadang disertai suara. [7] Apakah redaksi kalimat-kalimat ini yang menunjukkan ketidakpuasan Umar terhadap sabda Rasulullah Saw dan ketidaksabarannya dan dalam kondisi marah pergi ke hadapan Abu Bakar tidak dapat disimpulkan dengan maksud tersebut yang disimpulkan oleh penanya dan orang-orang yang mengajukan kritikan?
Sekarang beberapa poin ini telah dijelaskan apakah hal ini dapat dibandingkan dengan apa yang dilakukan Baginda Ali As dan dikatakan bahwa apabila kita ingin menyandarkan hal ini kepada Umar maka kita juga harus menyebut perbuatan Ali sebagai ketidaktaatan di hadapan perintah Rasulullah Saw sementara tidak dijumpai adanya indikasi dan bukti terkait dengan ketidaktaatan Ali As dalam laporan-laporan sejarah. Apakah Baginda Ali As yang berkata bahwa saya tidak memiliki keraguan terkait dengan risalah Anda dan saya tidak akan memberikan izin kepada diri saya untuk menghapus nama Rasulullah, dapat dianggap sebagai ketidaktaatan dan ketidakhormatan kepada Rasulullah Saw? Namun hal ini apabila kita menerima inti kejadian peristiwa ini. Apakah sekiranya Baginda Ali As yang melakukan hal ini, tidak dikatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda kepadanya berlaku tidak hormatlah kepadaku namun apakah hal ini merupakan izin bagi Ali melakukan hal tersebut? Apakah beliau tidak tahu bahwa ia tidak boleh berlaku tidak hormat? Namun hal ini apabila kita menerima inti kejadian peristiwa ini. Bagaimanapun apa yang dilaporkan dalam Shahih Muslim, jil. 9, hal. 257 tentang perbuatan Baginda Ali ini sebagai berikut:
"لَمَّا أُحْصِرَ النَّبِیُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ الْبَیْتِ صَالَحَهُ أَهْلُ مَکَّةَ عَلَى أَنْ یَدْخُلَهَا فَیُقِیمَ بِهَا ثَلَاثًا وَلَا یَدْخُلَهَا إِلَّا بِجُلُبَّانِ السِّلَاحِ السَّیْفِ... قَالَ لِعَلِیٍّ اکْتُبْ الشَّرْطَ بَیْنَنَا بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِیمِ هَذَا مَا قَاضَى عَلَیْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ فَقَالَ لَهُ الْمُشْرِکُونَ لَوْ نَعْلَمُ أَنَّکَ رَسُولُ اللَّهِ تَابَعْنَاکَ وَلَکِنْ اکْتُبْ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ فَأَمَرَ عَلِیًّا أَنْ یَمْحَاهَا فَقَالَ عَلِیٌّ لَا وَاللَّهِ لَا أَمْحَاهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَیْهِ وَسَلَّمَ أَرِنِی مَکَانَهَا فَأَرَاهُ مَکَانَهَا فَمَحَاهَا وَکَتَبَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ ..." [8]
Redaksi kalimat ini, “La wallahi laa amhaha” (Demi Allah saya tidak akan menghapusnya) diriwayatkan dengan cara lain:
1. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As: Hapuslah kalimat yang telah engkau tulis itu! Baginda Ali As berkata, “Saya tidak dapat menghapus (dimana seluruh wujudku terpesona dan tertawan olehmu) kalimat tersebut.” Rasulullah Saw kemudian menghapus sendiri kalimat tersebut. [9]
2. Kemudian Rasulullah Saw memerintahkan untuk menghapus kalimat tersebut lalu aku berkata, “Saya tidak dapat menghapusnya.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda, perlihatkan kepadaku kemudian Baginda Ali memperlihatkannya kemudian Rasulullah Saw menghapusnya dengan tangannya sendiri....” [10] Apakah kalimat ini “bahwa saya tidak dapat menghapus nama Rasulullah,” dapat dianalisa sebagai tindakan tidak menghormati Rasulullah? [11]
Apakah apabila Baginda Ali As melakukan perbuatan ini bukankah, anggaplah, Rasulullah Saw akan bersabda kepadanya, berlaku tidak hormatlah kepadaku lantas apakah hal ini akan menjadi pembenar bagi Ali? Apakah beliau tidak mengetahui bahwa ia tidak boleh berlaku tidak hormat?
Pada hakikatnya penolakan Ali menghapus nama Rasulullah Saw adalah penolakan terhadap permintaan utusan kaum Musyrikin yang menghendaki demikian. Dan orang yang sedikit teliti terhadap masalah ini akan memahami bahwa Baginda Ali memandang tinggi kedudukan Rasulullah Saw dan meyakini kesucian namanya. Dan Baginda Ali sama sekali tidak memprotes dan bukti kami bahwa Baginda Ali tidak memprotes inti perbuatan.
Adapun terkait dengan pernikahan Umar dan Ummu Kultsum harus dikatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat terkait dengan inti kejadian ini. Dan sebagian orang mengingkarinya dan apabila peristiwa pernikahan benar-benar terjadi maka hal itu tidak didasari oleh keridhaan dan kerelaan. Untuk telaah lebih jauh kami persilahkan Anda untuk melihat, Indeks No. 11861 (Site: 11685) dan Indeks: Pernikahan Khalifah Kedua dengan Ummu Kultsum, Pertanyaan No. 11863 (Site: 11678)
Terkait dengan mayoritasnya Ahlusunnah harus dikatakan bahwa dalam pandangan al-Qur’an jumlah mayoritas sama sekali tidak dapat menjadi kriteria kebenaran dan terkadang juga mencela mayoritas ini. [12] Apakah jumlah minoritas para sahabat Badar yang hanya berjumlah 313 adalah dalil kebenaran mereka yang berperang melawan Islam? Di samping itu, sepanjang perjalanan sejarah, pemerintahan dan pelbagai fasilitas tabligh tidak berada di tangan Syiah. Berbeda dengan usaha tanpa henti mereka yang ingin melenyapkan para pengikut Ahlulbait. Karena itu, sama sekali tidak perlu diherankan mengapa jumlah pengikut mazhab Ahlulbait minim dan kebenaran Ahlulbait tidak nampak bagi orang lain. Bagaimanapun boleh jadi dikatakan bahwa Syiah tidak berjumlah minoritas lantaran apabila empat mazhab Ahlusunnah kita kalkulasi secara terpisah masing-masing mazhab ini tidak lebih banyak dari pengikut mazhab Ahlulbait As. [IQuest]
[1] . Al-Durr al-Mantsur, jil. 9, hal. 225 demikian juga silahkan lihat, Tafsir al-Thabari, jil. 22, hal. 246. Tafsir al-Baghawi, jil. 7, hal. 318. Tafsir al-Khazin, jil. 5, hal. 448. Mushannaf Abd al-Razzaq, jil. 5, hal. 339. Al-Mu’jam al-Kabir, Thabarani, jil. 14, hal. 398. Dalâil al-Nubuwwah, Baihaqi, jil. 4, hal. 159. Shahih Ibnu Hubban, jil. 20, hal. 267. Al-Awsath, Ibnu Mundzir, jil. 10, hal. 225. Al-Nâsikh wa al-Mansukh, Nuhas, jil. 2, hal. 124. Subul al-Hudâ wa al-Rusyâd , jil. 5, hal. 53. Zâd al-Ma’âd, jil. 3, hal. 257. Mukhtashar Sirat al-Rasul Saw, jil. 1, hal. 272. Târikh Dimâsyq, jil. 57 hal. 229. ‘Umar bin al-Khattab, jil. 1, hal. 71. Mukhtashar Târikh Dimâsyq, jil. 7, hal. 244. Târikh al-Islâm, al-Dzahabi, jil. 1, hal. 264. Nihâyat al-Arab fi Funun al-Âdâb, jil. 4, hal. 471.
[2] . Laporan peristiwa ini tidak terbatas pada dua kitab ini dan Anda dapat merujuk pada kitab-kitab lainnya untuk memperoleh informasi lebih jauh, seperti kitab Dalâil al-Shidq li Nahj al-Haq, jil, 4, hal. 215, Muhammad Hasan Muzhaffar Najafi, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1422 H. Shahih Bukhâri, jil. 10, hal. 450. Tafsir al-Thabari, jil. 22, hal. 201. Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 354. Târikh Thabari, jil. 2, hal. 122, hawâdits sanat 6 H. Al-Sirah al-Nabawiyah, Ibnu Hisyam, jil. 4, hal. 284. Al-Thabaqât al-Kubra, Ibnu Sa’ad, jil. 2, hal. 78. Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abi al-Hadid, jil. 12, hal. 5. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 4, hal. 136, hawâdits sanat 6 H. Al-Sirah al-Nabawiyah, Ibnu Katsir, jil. 3, hal. 320. Al-Sirah al-Halabiyah, jil. 2, hal. 706 dan Software al-Maktabat al-Syamilah.
[3] . “Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Qs. Al-Najm [53]:3-4)
[4] . Al-Tharâif fi Ma’rifat Madzâhib al-Thawâif, Sayid Ibnu Thawus, jil. 2, hal. 442, Khayyam, Qum, 1400 H, Cetakan Pertama.
[5] . Silahkan lihat, Nahj al-Haq wa Kasyf al-Shidq, Allamah Hilli, hal. 337, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1982, Cetakan Pertama. Al-Tharâif fi Ma’rifat Madzâhib al-Thawâif, Sayid Ibnu Thawus, jil. 2, hal. 442, Cetakan Pertama.
[6] . Al-Tharâif fi Ma’rifat Madzâhib al-Thawâif, Sayid Ibnu Thawus, jil. 2, hal. 442
من طریف ذلک إقدامه على نبیهم بهذه المواقفة فی مثل تلک الحال من الصلح و شدة الحاجة إلى عون المسلمین لنبیهم بالقول و الفعل أ و کان ذلک الموقف موقف تعنیف و تخجیل و فتح لأبواب الشک فی النبوة و تقویة حجة سهیل بن عمرو و الکفار...
[7] . Al-Ghaizh, amarah yang besar (asyadd ghadab). al-Tagayyazh adalah menampakkan amarah dan terkadang disertai dengan suara yang diperdengarkan sebagaimana dalam ayat, “Apabila neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeraman dan suara nyalanya. (Qs. Al-Furqan [25]:12) Silahkan lihat, al-Mufradat fi Gharb al-Qur’an, hal. 620. Farhangg-e Abjadi Arab-Persia, hal. 100.
[8] . Tatkala Rasulullah Saw berkumpul di samping Ka’bah, masyarakat kota Mekah mengikat perjanjian dengan beliau sebagai berikut: Tatkala masuk ke kota Mekkah maka Rasulullah Saw tidak boleh berdiam lebih dari tiga hari; dan tidak memasuki kota Mekkah dengan pedang-pedang terhunus; seseorang dari masyarakat kota Mekkah tidak membawa sesuatu keluar Mekkah bersamanya; dan barang siapa yang bersamanya apabila ia ingin berdiam di Mekkah maka ia tidak akan diperbolehkan bermukim di Mekkah. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As, “Tulislah syarat-syaratnya. “ Baginda Ali menulis, “Bismilillah al-Rahman al-Rahim. Apa yang disebutkan dalam perjanjian damai ini adalah perjanjian antara Muhammad Rasulullah Saw dan masyarakat Mekkah. Masyarakat Mekkah protes dan berkata kepada Rasulullah Saw, sekiranya kami yakin bahwa Anda ini adalah Rasul Allah maka kami telah berbaiat dengan Anda. Apabila Anda menghendaki kami menjalankan permintaan Anda maka Anda harus menulisnya demikian, “Apa yang tertuang dalam surat perjanjian damai ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dan penduduk Mekkah. Rasulullah Saw bersabda, Tempat yang kalimat itu ditandai itu perlihatkan kepadaku! Ali menunjukkan tempat itu. Rasulullah Saw menghapus kalimat itu dengan tangannya.” Demikian juga Anda dapat merujuk pada, Shahih Bukhâri, bab Jizyah.
[9] . Silahkan lihat, Shahih Bukhâri, Kitab Shulh. Al-Hafizh Abu al-Hasan Muslim bin al-Hajjaj al-Qasyiri al-Naisyaburi fi “Shahihi” jil. 5, hal. 173.
... فقال النّبی صلّى اللّه علیه و سلم لعلیّ: امحه فقال: ما انا بالّذی أمحاه فمحاه النّبی صلّى اللّه علیه و سلم بیده...
[10] . Silahkan lihat, Ibnu al-Atsir fi al-Kâmil, jil. 3, hal. 162, al-Munairiyyah, Mesir. Demikian juga silahkan lihat, Ihqâq al-Haq wa Izhâq al-Bâthil, Qadhi Nurullah Syusytari, jil. 8, hal. 638, edisi 32 jilid, Maktabat Ayatullah al-Mar’asyi, Qum, 1409, Cetakan Pertama. Ibid, jil. 23, hal. 461. Fadhâil al-Khamsah min al-Shihah al-Sittah, Sayid Murtadha Firuz Abadi, jil. 2, hal. 334-337, Islamiyah, Teheran, 1392 H, Cetakan Kedua.
فأمر رسول اللّه صلّى اللّه علیه و سلم بمحو فقلت: لا أستطیع فقال: أرنیه، فأریته فمحاه بیده
[11] . Sementara tidak ada yang dapat meragukan ketaatan Baginda Ali As kepada Rasulullah Saw. Berikut ini dua riwayat saja kami beberkan untuk sebagai contoh atas ketatatan Baginda Ali kepada Rasulullah Saw:
نزل النبیّ صلّى اللّه علیه و سلم الجحفة فی غزوة الحدیبیة فلم یجد بها ماء فبعث سعد بن مالک فرجع بالروایا و اعتذر فبعث النبیّ صلّى اللّه علیه و سلم علیا فلم یرجع حتى ملأها . أحمد بن على العسقلانی المعروف بابن حجر فی «الاصابة» (ج 3 ص 194 ط مصر)؛ الشیخ سلیمان البلخی القندوزى المتوفى سنة 1293 فی «ینابیع المودة» (ص 123 ط اسلامبول). 2. فی قصة حاطب بن أبى بلتعة: و نزل جبریل فأخبر النبیّ صلّى اللّه علیه و سلم بما فعل فبعث رسول اللّه صلّى اللّه علیه و سلم علیا، و عمارا، و الزبیر، و طلحة، و المقداد بن أسود، و أبا مرثد فرسا فقال لهم: انطلقوا حتى تأتوا روضة خاخ فان بها ظعینة معها کتاب من حاطب ابن أبى بلتعة الى المشرکین فخذوا منها و خلوا سبیلها و ان لم تدفعه إلیکم فاضربوا عنقها قال: فخرجوا حتى أدرکوها فی ذلک المکان الذی قال رسول اللّه صلّى اللّه علیه و سلم فقالوا لها: این الکتاب فحلفت باللّه ما معها کتاب فبحثوها و فتشوا متاعها فلم یجدوا معها کتابا فهموا بالرجوع فقال على رضی اللّه عنه: و اللّه ما کذبنا و لا کذب رسول اللّه صلّى اللّه علیه و سلم و سل سیفه فقال: أخرجى الکتاب و الا لأجردنک و لأضربن عنقک فلما رأت الجد أخرجته من ذؤابتها و کانت قد حبسته فی شعرها فخلوا سبیلها و لم یتعرضوا لها و لا لما معها الحدیث . نک: الحافظ أبو محمد حسین بن مسعود الفراء البغوی الشافعی المتوفى سنة 516 فی «تفسیره معالم التنزیل» (ج 7 ص 62 ط القاهرة)؛ الحافظ ابن کثیر الدمشقی المتوفى سنة 774 فی «البدایة و النهایة» (ج 4 ص 283 ط مصر) ؛ جلال الدین الدشتکی المتوفى سنة 1000 فی «روضة الأحباب» (ص 431)؛ الشیخ أبو عبد اللّه محمد بن أبى بکر الزرعى الحنبلی فی «الطرق الحکمیة فی السیاسة الشرعیة» (ص 9 ط المطبعة السنة المحمدیة بمصر)؛ احقاق الحق و ازهاق الباطل، ج8، ص 640- 641 .
[12] . “ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Qs. Al-An’am [6]:116) “ Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Qs. Yusuf [5]:103). “ Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Nahl [16]:83) Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Indeks: Islam dan Demokrasi, Pertanyaan 6611 (Site: 6731 ).