Please Wait
9787
Seluruh hukum dan instruksi Islam ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan dan manfaat material dan spiritual manusia. Hukum dan instruksi tersebut sama sekali tidak ditujukan untuk tujuan lainnya.
Allah Swt ingin dengan hukum-hukum ini supaya manusia memperoleh di samping kesucian spiritual juga kebersihan material. Pada dasarnya, hikmah dan rahasia-rahasia mandi, di antaranya mandi haid tidak terbatas pada kebersihan lahir dan jasmani saja, melainkan juga memiliki sisi spiritual. Karena itu, mandi harus dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (qurbah) dan kalau tidak bahkan sekiranya najis lahir juga masih ada dan dihilangkan dengan mandi, mandi tersebut tidak sah.
Disebutkan bahwa kewajiban mandi tidak bermakna bahwa wanita adalah najis pada masa ia mengalami haid, sebagaimana kaum pria pada saat mereka dalam kondisi junub bukan karena mereka najis sehingga diperintahkan untuk mandi. Dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, tidak terdapat najis sehingga harus dihilangkan dengan wudhu.
Sebagaimana yang Anda tahu bahwa seluruh hukum dan instruksi Islam ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan dan manfaat material dan spiritual manusia. Hukum dan instruksi tersebut sama sekali tidak ditujukan untuk tujuan lainnya.
Allah Swt ingin dengan hukum-hukum ini supaya manusia memperoleh di samping kesucian spiritual juga kebersihan material. Dalam hal ini, Allah Swt berfirman, “Ma yuridullah liyaj’alakum min haraj..”[1] (Allah Swt tidak menginginkan kalian jatuh dalam kesusahan, melainkan menginginkan kesucian bagi dirimu). Ayat ini ingin menjelaskan sebuah aturan universal bahwa hukum-hukum Ilahi tidak bersifat beban dan taklif yang tidak dapat dipikul. “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya..” (Qs. Al-Baqarah [2]:286)
Dengan pendahuluan ini, sehubungan dengan falsafah mandi haid bagi kaum wanita harus dikatakan bahwa pada dasarnya, hikmah dan rahasia-rahasia mandi, di antaranya mandi haid tidak terbatas pada kebersihan lahir dan jasmani saja, melainkan juga memiliki sisi spiritual. Karena itu, mandi harus dilakukan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (qurbah) dan kalau tidak bahkan sekiranya najis lahir juga masih ada dan dihilangkan dengan mandi, mandi tersebut tidak sah.
Dalam pandangan Islam, wanita yang mengalami haid atau datang bulan dihukumi sebagai seorang wanita yang dalam terminologi teknis fikih disebut seabgai muhdits, artinya seseorang yang tidak memiliki wudhu dan mandi. Dalam kondisi seperti ini, wanita tidak dapat mengerjakan shalat dan puasa. Haid, seperti hal-hal lainnya misalnya junub, tidur, kencing dan lain sebagainya menyebabkan timbulnya hadats dan pertama, tidak terkhusus bagi wanita. Kedua, dapat dihilangkan dengan mandi atau wudhu.
Namun apa yang penting pada taklif ritual ini adalah falsafah spiritual mandi. Allah Swt setelah menjelaskan mandi, wudhu dan tayamum, berfirman bahwa rahasia dari perintah ini adalah supaya kalian suci, “walakin yurid liyutahhirakum” (tetapi Dia hendak menyucikanmu) sepanjang manusia belum lagi suci, maka sekali-kali ia tidak akan dapat sampai kepada Tuhan yang Mahasuci. Kesucian dan thaharah ini mendatangkan kecintaan Allah Swt kepada hamba-Nya.
Apabila manusia sedikit merenung dan mencermati masalah kesucian (thahârah), ia akan sampai pada kesimpulan bahwa agama yang sedemiikian menganjurkan masalah kesucian dan memandang penting kebersihan bagi hakikat manusia, tentu saja ia tidak lalai dari kesucian batin dan juga menaruh perhatian ekstra terhadapnya.
Disebutkan bahwa kewajiban mandi tidak bermakna bahwa wanita adalah najis pada masa ia mengalami haid, sebagaimana kaum pria pada saat mereka dalam kondisi junub bukan karena mereka najis sehingga diperintahkan untuk mandi. Dalam hal-hal yang membatalkan wudhu, tidak terdapat najis sehingga harus dihilangkan dengan wudhu. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh kami persilakan Anda untuk menelaah beberapa link terkait berikut ini:
Falsafah Mandi, 17729 (Site: 17369).
Falsafah dan Hikmah Hukum-hukum Fikih, 8593 (Site: 9135)
Menjaga Kesehatan Lingkungan dalam Islam, 7059 (7148).
[1]. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan usaplah kepala dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit, berada dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyetubuhi perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan menggunakan tanah yang baik (bersih); usaplah muka dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkanmu, tetapi Dia hendak membersihkanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Qs. Al-Maidah [5]:6)
"يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا إِذا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَ امْسَحُوا بِرُؤُسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَ إِنْ كُنْتُمْ جُنُباً فَاطَّهَّرُوا وَ إِنْ كُنْتُمْ مَرْضى أَوْ عَلى سَفَرٍ أَوْ جاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّساءَ فَلَمْ تَجِدُوا ماءً فَتَيَمَّمُوا صَعيداً طَيِّباً فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَ أَيْديكُمْ مِنْهُ ما يُريدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ لكِنْ يُريدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ"