Advanced Search
Hits
10932
Tanggal Dimuat: 2011/05/09
Ringkasan Pertanyaan
Apakah Ahlusunnah meyakini konsep tawassul sebelum kedatangan Ibnu Taimiyyah?
Pertanyaan
Bagaimana pandangan ulama Ahlusunnah terkait dengan konsep tawassul sebelum kedatangan Ibnu Taimiyyah?
Jawaban Global

Konsep tawassul (berperantara) merupakan salah satu perkara yang senantiasa mendapat perhatian kaum Muslimin semenjak awal kedatangan Islam. Demikian juga para pembesar Ahlusunnah menaruh perhatian terhadap konsep tawassul ini. Imam Bukhari penyusun salah satu kitab standar riwayat Ahlusunnah, menukil amalan praktis khalifah kedua, Umar bin Khattab terkait bolehnya melakukan tawassul. Demikian juga Imam Malik (Mufti Madinah) memerintahkan Mansur Dawaniqi untuk ber-tawassul kepada Rasulullah Saw. Khatib Baghdadi menukil dari Ali Khilal yang merupakan syaikh mazhab Hanbali berkata, “Setiap kali saya dirundung masalah, saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan. Imam Syafi’i menggubah sebuah syair terkenal terkait bolehnya ber-tawassul kepada keluarga Rasul Saw. Dan banyak lagi contoh-contoh lainnya dari pandangan ulama dan pembesar Ahlusunnah yang menunjukkan bolehnya ber-tawassul. Akan tetapi Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya memandang hal ini sebagai bid’ah dan haram. Mereka memandang musyrik orang-orang yang ber-tawassul kepada Nabi Saw dan Ahlulbaitnya. Meski demikian, pasca Ibnu Taimiyyah, juga terdapat sebagian pembesar Ahlusunnah yang memandang boleh melakukan tawassul seperti Samhudi Syafi’i.

Jawaban Detil

Legalitas tawassul kepada orang-orang yang dekat di sisi Allah Swt dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an di antaranya adalah ayat mulia ini, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah [5]:35)

Atas dasar itu, tawassul kepada orang-orang yang dekat (muqarrabun) kepada Allah Swt senantiasa menjadi amalan ulama dan kaum Muslimin semenjak dulu hingga sekarang.[1]

Dengan merujuk pada literatur-literatur ulama Ahlusunnah maka poin ini dengan baik menjadi jelas bahwa para pembesar dan ulama Ahlusunnah bahkan Khalifah Kedua melakukan tawassul untuk memecahkan pelbagai persoalan yang dihadapi. Hal ini merupakan dalil atas kebolehan melakukan tawassul dalam pandangan mereka dan hingga abad ke enam tiada seorang ulama Ahlusunnah pun yang menyatakan penentangan terhadap tawassul!

Berikut ini kami akan menyebutkan sebagian pandangan ulama Ahlusunnah dalam masalah ini:

1.             Ibnu Jauzi salah seorang ulama Ahlusunnah yang wafat tahun 597 Hijriah sebelum Ibnu Taimiyyah, membuka sebuah pasal terkait dengan masalah kebolehan tawassul kepada Rasulullah Saw dalam kitab magnum opus-nya, “Al-Wafâ fi Fadhâil al-Musthâfa” dan menyebutkan hadis-hadis dan banyak tuturan dalam sebuah bab yang berjudul “al-Tawassul binnabi” yang menunjukkan kebolehan melakukan tawassul dalam pandangannya.[2]

2.             Khatib Baghdadi (wafat tahun 463 H) dalam kitab monumentalnya Tarikh Baghdadi menukil dari Ali al-Khilal yang merupakan salah seorang pembesar mazhab Hanbali terkait dengan kebolehan tawassul, “Setiap kali saya dirundung masalah saya pergi ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya, maka urusan saya menjadi ringan dan segala kesulitanku terselesaikan.[3]

3.             Ibnu Hajar dalam kitab al-Shawâiq al-Muhriqah sehubungan dengan kebolehan tawassul menulis, “Imam Syafii (wafat 204 H) menerima konsep tawassul dan memandangnya boleh dikerjakan. Dan pada amalan praktisnya ia juga melakukan hal ini dan menukil sebuah puisi dari Imam Syafii sekaitan dengan kebolehan tawassul:

Ali al-Nabi dzariati          wa hum ilaihi wasilati

Arju bihim u’tiyah ghadan biyadi al-yamin shahifati  

Keluarga Nabi adalah pemberi syafâ’at-ku  mereka adalah wasilah dan perantaraku di sisi Tuhan

Dan aku berharap dengan perantara mereka catatan amalanku diserahkan pada tangan kananku. [4]

4.             Contoh lainnya dalam praktik keseharian para pembesar Ahlsunnah, terkait dengan tawassul, merupakan perkara historis yang dinukil dalam Shahih Bukhari dengan kandungan sebagai berikut, “Tatkala musim kemarau melanda kota Madinah, Umar bin Khattab, dengan ber-tawassul kepada kedudukan Abbas bin Abdul Mutthalib paman Nabi Saw, berdoa demikian dan meminta hujan: “Tuhan kami! Kami ber-tawassul kepada nabi-Mu dan Engkau memberikan hujan kepada kami. Sekarang kami ber-tawassul kepada pamannya untuk memohon hujan (dari-Mu).” [5]

5.             Ibnu Hubban salah seorang ulama besar Ahlusunnah yang lahir pada tahun 207 H. Ia adalah termasuk orang yang memandang boleh melakukan tawassul, bahkan ia sendiri melakukan amalan ini. Ia berkata, “Sewaktu saya berada di Thus, setiap kali saya menghadapi kesulitan maka saya pergi berziarah ke pusara Ali bin Musa al-Ridha As dan dengan ber-tawassul kepadanya, saya berdoa dan kesulitanku terpecahkan.[6]

6.             Baihaqi (wafat 458 M) salah seorang ulama Ahlusunnah, sehubungan dengan kebolehan tawassul, menukil banyak riwayat terkait dengan tawassul kepada Rasulullah Saw pada masa hidup dan pasca wafatnya. Salah satu riwayat tersebut misalnya, “Pada masa pemerintahan khalifah kedua, terjadi musim kemarau. Bilal disertai beberapa sahabat pergi ke pusara Rasulullah Saw untuk ber-tawassul dan memohon hujan.”[7]

7.             Sewaktu Mansur Dawaniqi bertanya kepada Mufti Madinah Imam Malik tentang tata-cara berziarah kepada Rasulullah Saw, Imam Malik menjawab bahwa Rasulullah Saw akan menjadi media syafaat Anda dan Anda dapat ber-tawassul kepadanya.”[8]

Karena itu, menjadi jelas bahwa Imam Malik As memandang boleh melakukan tawassul kepada Rasulullah Saw.

8.             Samhudi kendati merupakan salah seorang ulama yang hidup pasca Ibnu Taimiyyah namun dalam kitab monumentalnya Wafâ al-Wafâ menandaskan bahwa tawassul kepada Rasulullah Saw dibolehkan kapan saja dan merupakan amalan para pendahulu.[9]

9.             Ibnu Daud Maliki Syadzali dalam kitab “al-Bayân wa al-Ikhtishâr” memandang boleh melakukan tawassul, dan menukil tawassul ulama dan orang-orang saleh kepada Rasulullah Saw.[10]

10.           Tawassul kepada ulama dan para pembesar merupakan sebuah amalan yang dipraktikkan secara umum di kalangan Ahlusunnah. Di antaranya adalah Ibnu Jauzi dalam kitab Manâqib Ahmad bin Hanbal sesuai dengan nukilan dari Abdullah bin Musa, menulis, “Aku dan ayahku pergi berziarah ke pusara Ahmad dan kami ber-tawassul kepadanya supaya hajat-hajat kami terpenuhi.”[11]

 

Terlepas dari beberapa nukilan dari perilaku praktis ulama dan para pembesar Ahlusunnah sebelum Ibnu Taimiyyah, terdapat banyak riwayat ihwal kebolehan tawassul. Diriwayatkan pada himpunan riwayat Ahlusunnah yang dengan sendirinya dapat menjadi saksi bahwa mereka membolehkan tawassul. Dan bahkan pasca Ibnu Taimiyyah juga banyak pembesar Ahlusunnah yang memandang boleh tawassul seperti Samhudi Syafii[12] yang menandaskan kemandirian ulama besar Ahlusunnah dan tiadanya pengaruh pendapat Ibnu Taimiyyah pada diri mereka. [IQuest]



[1]. Âiine Wahâbiyat, Ja’far Subhani, hal. 145, Cetakan Pertama, Daftar-e Intisyarat-e Islami (Jame’e Mudarrisin), Qum.  

[2]. Sesuai nukilan dari Âiine Wahâbiyat, hal. 173.  

[3]. Târikh Baghdâdi, Ahmad ibn ‘Ali al-Khatib Baghdadi, jil. 1, hal. 120, Cetakan Kedua, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah, 1425 H.  

[4]. Al-Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 178, Cetakan Pertama, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1417 H.  

[5]. Shahih Bukhâri, Muhammad bin Ismail Bukhari, jil. 2, hal. 34, Cetakan Kedua, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Usd al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahâbah, jil. 3, hal. 11, Cetakan Mesir.  

[6]. Al-Tsiqât, Muhammad bin Habban bin Ahmad, Ibnu Abi Hatim, jil. 8, hal. 456, Cetakan Pertama, Mathbu’at Dairat al-Ma’arif al-Utsmaniyah, 1402 H.

[7]. Kanz al-‘Ummâl, Muttaqi al-Hindi, Ali bin Hisyamuddin, jil. 2, hal. 385, Cetakan Pertama, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H.  

[8]. Wafâ al-Wafâ, Ali bin Ahmad al-Samhudi, jil. 2, hal. 1376, Cetakan Keempat, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1404 H.  

[9]. Ibid, hal. 1371.  

[10]. Âiine Wahâbiyat, Ja’far Subhani, hal. 174.  

[11]. Cihil Syubha bar Dhedh Syi’ah wa Pâsukh-ha-ye al-Ghadir, Ruhullah Qanbari, hal. 97, Intisyarat-e Hunaristan, Cetakan Pertama, Qum.  

[12]. Wafâ al-Wafâ, Ali bin Ahmad al-Samhudi, jil. 2, hal. 1376, Cetakan Keempat, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1404 H.   

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259826 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245597 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229502 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214290 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175597 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170978 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167395 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157458 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140309 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133537 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...