Please Wait
9471
Apakah yang Anda maksudkan dengan “kembali kepada ketiadaan”? Apakah maksudnya adalah kembali pada keadaan sebelum dilahirkan? Seperti mereka yang mengatakan andai saja Aku tidak dilahirkan?
Tentu saja jelas bahwa tidak ada jalan untuk kembali kepada kondisi sebelumnya, karena waktu senantiasa berlalu dan dia tidak akan berhenti dari gerakannya dengan keinginan, kemauan dan kehendak kita, demikian juga waktu tidak akan pernah kembali ke belakang. Jadi “kembali kepada ketiadaan” dengan makna seperti ini tidak dapat diterima.
Namun jika yang dimaksud dengan ketiadaan adalah “kematian”, maka harus diketahui bahwa kematian bukanlah ketiadaan, kepunahan, dan kesirnaan, melainkan sebuah perubahan dan revolusi dari satu kondisi ke kondisi yang lain, dan perpindahan dari satu alam (alam dunia) ke alam yang lain (alam akhirat).
Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan
Aku mati dari tumbuhan kemudian menjadi hewan
Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia
Lalu mengapa aku takut apabila aku mati beringsut
Aku berlalu sebagai manusia
Membawa empat sayap dan bulu bak malaikat
Setelah itu, berkoar lebih menjulang dari malaikat
Mengapa engkau tidak dapat membayangkan
Aku akan menjadi seperti itu
Lalu aku tiada setelah tiada[1] bak dentang organ
Aku berkata Inna liLlahi rajiun[2]
Oleh karena itu, dengan menerima teori ini, kematian sejatinya merupakan sebuah kesempurnaan dan gerak menanjak naik. Sebagaimana yang disinggung Maulawi dalam syairnya bahwa menjadi manusia membutuhkan terlewatinya tahapan-tahapan seperti tahapan jasmani (jism), nabati (nabati), dan hewan (hewan). Pada dasarnya masing-masing tahapan ini diperoleh setelah terjadinya kematian pada tahapan sebelumnya.[3] Jadi, kesimpulannya, saat ini ketika aku mati, sebenarnya aku tidak mengalami kehancuran dan kefanaan, melainkan bergerak naik ke tahapan yang lebih tinggi, dan tahapan tersebut adalah alam para malaikat.
Para filosof pun meyakini bahwa kehidupan setelah mati bukanlah yang dimaksud sebagai kembali kepada ketiadaan, dan mereka yakin bahwa “kembali kepada ketiadaan” merupakan sebuah kemustahilan dan absurd.[4] Dan jika seseorang menyangka bahwa kiamat dan ma’âd merupakan berulangnya suatu ketiadaan atau sesuatu yang pernah tiada kemudian mengada dan kembali lagi menjadi tiada, sesungguhnya ia telah berada dalam kesalahan fatal. Karena, pertama: sesuatu tidak akan sirna dan musnah dengan kematian, melainkan kematian merupakan sebuah bentuk kesempurnaan yang akan melanjutkan kehidupannya dengan terpisahnya ruh dari badan, ruh yang membentuk hakikat realitas manusia bahkan akan memiliki kemampuan dan kekuatan jauh lebih banyak setelah terpisah dari badan dibandingkan ketika badan masih berada dalam kepengaturannya. Yang kedua: ma’âd dan kiamat bukanlah bermakna sesuatu kembali berwujud setelah ketiadaan, melainkan bermakna “kembali”, yakni kembali ke sisi Tuhan, bukannya kembali dari ketiadaan kepada keberadaan.
Dengan demikian, secara ringkas harus dikatakan bahwa kembali kepada ketiadaan tidak bermakna sama sekali, demikian juga tidak ada jalan untuk yang demikian itu.[5][]
[1]. Jelas bahwa yang dimaksud tiada dalam bait syair ini adalah tiada yang telah disinggung Rumi pada bait-bait sebelumnya yang bermakna posisi meninggi (posisi rendah menanjak menuju posisi yang lebih tinggi).
[2]. Matsnawi Ma'nawi, Daftar-e Sewwum, hal. 1512.
[3]. Berdasarkan pandangan Mulla Sadra, kematian ini sejenis “penyifatan pasca penyifatan”, bukan “penyifatan pasca kehancuran”.
[4]. Untuk mengetahui argumen filsafat lihatlah, Nihayatul Hikmah, Allamah Thabathabai, hal. 22-25.
[5]. Apakah sesuatu yang telah ada akan menjadi sirna? Apabila sesuatu yang telah ada itu tidak akan sirna maka apakah kaidah ini berkonsekuensi pada keazalian dan keabadian sesuatu itu. Persoalan ini telah dibahas secara meluas dalam filsafat. Tema ini telah ditegaskan dalam dua bentuk argumen, argumen empirik dan argumen filsafat. Untuk lebih detail silahkan lihat: Ushul-e Falsafeh wa Rawasye Realism, jil.3, Allamah Thabathabai, pengantar dan catatan kaki oleh Syahid Muthahhari, hal. 111-121, dan Nihayatul Hikmah, Allamah Thabathabai, hal. 326.