Advanced Search
Hits
7039
Tanggal Dimuat: 2011/02/24
Ringkasan Pertanyaan
Apakah hukum pernikahan temporal itu telah dianulir?
Pertanyaan
Apakah hukum pernikahan temporal itu telah dianulir?
Jawaban Global

Suatu hal yang pasti bahwa jenis pernikahan ini termasuk pernikahan legal pada masa Rasulullah Saw dan kita tidak memiliki dalil yang dapat diandalkan terkait dengan nasakh dan anulir hukum pernikahan ini pada masa Rasulullah Saw. Karena itu, sesuai dengan hukum pasti yang digunakan dalam disiplin ilmu Ushul Fikih pernikahan tersebut masih tetap sah berlaku.

Poin yang patut mendapat perhatian di sini adalah bahwa tiada seorang pun selain Rasulullah Saw yang memiliki hak untuk menganulir dan me-nasakh hukum-hukum.  Hanya Rasulullah Saw yang dapat menganulir hukum-hukum sesuai dengan perintah Allah Swt. Pasca wafatnya Rasulullah Saw persoalan nasakh dan anulir telah tertutup sama sekali dan kalau tidak demikian maka siapa saja dapat melakukan ijtihad dan menganulir hukum-hukum Ilahi. Sedemikian sehingga tiada lagi yang bernama syariat abadi dan lestari yang akan tersisa. Pada dasarnya, ijtihad di hadapan sabda Rasulullah Saw adalah ijtihad di hadapan nash (ijtihâd fî muqâbil al-nash) yang sama sekali tidak memiliki nilai.

Jawaban Detil

Kesepakatan pada umumnya ulama Islam bahkan termasuk bagian pokok agama bahwa pernikahan temporal pada masa permulaan Islam adalah termasuk perbuatan yang legal dan pembahasan tentang petunjuk ayat terkait, “Maka istri-istri yang telah kamu nikahi secara mut’ah di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah dosa bagimu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Nisa [4]:24) menandaskan legalitas hukum pernikahan mut’ah. Karena para penentang meyakini bahwa legalitas hukum telah ditetapkan melalui sunnah Rasulullah Saw dan bahkan kaum Muslimin mengamalkannya pada masa permulaan Islam. Ucapan terkenal Umar, “Mut’atân kânatâ ‘ala ahdi Rasulillah wa ana Muharramahumâ wa mu’âqib ‘alaihimâ; mut’ah al-nisâ wa mut’ah al-haj.”[1] Dua mut’ah yang terdapat pada masa Rasulullah Saw aku haramkan dan (akan) menghukum orang yang mengerjakan keduanya, mut’ah para wanita dan mut’ah haji (jenis khusus haji).”[2] adalah dalil jelas atas adanya hukum ini pada masa Rasulullah Saw. Namun para penentang hukum ini, mengklaim bahwa hukum mut’ah ini selepas itu telah dinasakh dan diharamkan.

Perlu untuk diperhatikan bahwa klaim riwayat-riwayat tentang nasakh hukum yang dimaksud sangat berbeda-beda. Sebagian berkata Rasulullah Saw sendiri yang menganulir hukum ini karena itu penganulirnya adalah sunnah dan hadis Rasulullah Saw. Sebagian lainnya berkata bahwa penganulirnya adalah ayat talak, “idza thallaqtum al-nisa’a fathalliquhunna li’iddatihinna.” (Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu idah mereka, Qs. Thalaq [56]:1) padahal ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan ayat yang menjadi obyek bahasan; karena ayat ini membahas tentang talak sementara pernikahan mut’ah tidak memiliki talak dan perpisahan di antara suami dan istri adalah berakhirnya masa pernikahan mereka.

Karena itu inti legalnya jenis pernikahan ini adalah pasti pada masa Rasulullah Saw dan tidak terdapat dalil yang dapat diandalkan terkait dengan anulir dan nasakh-nya. Oleh itu, sesuai dengan aturan pasti yang tercatat dalam disiplin ilmu Ushul Fikih[3] maka hukum pernikahan ini tetap legal dan berlaku sepanjang masa.

Poin yang patut mendapat perhatian adalah bahwa tiada seorang pun selain Rasulullah Saw yang memiliki hak untuk menganulir dan me-nasakh hukum-hukum.  Hanya Rasulullah Saw yang dapat menganulir hukum-hukum sesuai dengan perintah Allah Swt. Pasca wafatnya Rasulullah Saw persoalan nasakh dan anulir hukum telah tertutup sama sekali lantaran kalau tidak demikian maka siapa saja akan dapat melakukan ijtihad dan menganulir hukum-hukum Ilahi. Dan tentu tidak akan ada yang bernama syariat abadi dan lestari yang akan tersisa bagi umat. Pada dasarnya, ijtihad di hadapan sabda Rasulullah Saw adalah ijtihad di hadapan nash yang sama sekali tidak memiliki nilai.

Dalam Shahih Tirmidzi (salah satu kitab sumber terkenal Ahlusunnah) demikian juga Daruquthni[4] disebutkan demikian, “Seseorang dari warga Syam (Suriah) bertanya kepada Abdullah bin Umar tentang haji tamattu. Ia secara tegas menjawab bahwa perbuatan ini adalah halal dan baik. Warga Syam itu berkata, “Ayah Anda melarang orang melakukan perbuatan ini.” Abdullah bin Umar marah dan berkata, apabila ayahku melarang perbuatan ini dan Rasulullah Saw memberikan izin atas hal tersebut, apakah aku harus meninggalkan sunnah Rasulullah Saw atau mengikut ucapan ayahku? Bangunlah dan menjauhlah dariku.” Riwayat seperti ini juga terdapat pada Shahih Tirmidzi terkait dengan pernikahan mut’ah sebagaimana riwayat yang kita baca di atas yang dinukil dari Abdullah bin Umar.

Demikian juga, dari “Muhadhârat” Raghib diriwayatkan bahwa salah seorang Muslim melangsungkan pernikahan mut’ah dan orang-orang bertanya kepadanya, siapakah yang telah mengambil kehalalan perbuatan ini? (baca: mengharamkan) katanya, “Umar.” “Baiklah.” Imbuhnya.  Aku juga berkata demikian, karena Umar berkata, “Rasulullah Saw menghalakannya dan aku mengharamkannya. Aku menerima legalitas perbuatan ini dari Rasulullah Saw namun tidak menerima pengharamannya dari siapa pun.”

Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Anshari yang berkata, “Kami pada masa Rasulullah Saw melakukan mut’ah dengan mudah dan hal ini berlanjut terus hingga Umar menahan Amru bin Harits untuk tidak melakukan perbuatan ini (secara keseluruhan).

Dalam hadis yang lain, dalam kitab “Muwatthâ’” karya Imam Malik dan “Sunan Kubra” Baihaqi menukil dari Urwat bin Zubair bahwa seorang wanita bernama Khulah binti Hakim pada masa Umar mendatanginya dan menyampaikan bahwa salah seorang Muslim bernama Rabi’ah bin Umayyah telah melakukan mut’ah. Ia berkata, “Apabila sebelumnya saya telah melarang perbuatan ini maka saya akan merajamnya (namun semenjak sekarang saya akan mencegah siapa pun untuk tidak melakukannya).

Dalam kitab Bidâyat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd Andalusi juga kita membaca bahwa Jabir bin Abdullah Anshari berkata, “Pernikahan temporal pada masa Rasulullah Saw, masa khilafah Abu Bakar dan sebagian masa khilafah Umar adalah suatu hal yang biasa dan kemudian Umar melarangnya.”[5]



[1]. Dalam Kunuz al-‘Irfân, jil. 2, hal. 158, hadis yang disebutkan diriwayatkan dari Tafsir Qurthubi dan Thabari dengan redaksi yang mirip dengan redaksi hadis yang dinukil di atas. Pada Sunan Kubra Baihaqi, jil. 7, Kitab Nikah juga disebutkan. Sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 3, hal. 336-341, Cetakan Pertama, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran,   1374 S.

[2].  Yang dimaksud dengan mut’ah haji yang diharamkan oleh Umar adalah haji tamattu’ harus dilupakan. Haji tamattu’ adalah  pertama-tama ia masuk ke dalam kondisi ihram (muhrim) dan setelah menunaikan haji umrah, ia keluar dari kondisi ihram” (dan seluruhnya bahkan hubungan seksual dihalalkan baginya). Dan kemudian setelah itu kembali muhrim dan menunaikan ritual haji semenjak 9 Dzulhijjah. Pada masa jahiliyyah perbuatan ini tidak dipandang sah dan orang-orang merasa heran pada orang pada hari-hari haji yang memasuki Mekkah dan belum lagi menunaikan haji mereka mengerjakan umrah dan keluar dari kondisi ihram. Namun Islam secara lugas membolehkan masalah ini dan hal ini ditegaskan pada ayat 196 surah al-Baqarah (2).  

[3]. Isyarat terhadap kaidah tiadanya nasakh (‘adam naskh). Artinya apabila kita ragu dalam hukum permanen syariat apakah telah dinasakh atau tidak maka prinsipnya adalah tiadanya nasakh.  

[4]. Tafsir Qurthubi, jil. 2, hal. 762, terkait ayat 195 surah al-Baqarah. Sesuai nukilan dari Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 338.

[5]. Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, jil. 3, hal. 336-341. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Terjemahan Persia al-Mizân, Muhammad Husain Thabathabai, jil. 4, hal. 431-434, penerjemah Sayid Muhammad Baqir Hamadani, Daftar Intisyarat Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiyah Qum, 1374 S, Cetakan Kelima.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259833 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245601 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229507 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214293 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175603 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170983 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167401 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157463 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140313 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133541 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...