Please Wait
89797
Islam sangat menjunjung tinggi kepribadian dan nama baik setiap orang khususnya seorang Muslim dan Mukmin. Diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim As bahwa suatu hari beliau berdiri di hadapan Ka’bah dan berkata kepada Ka’bah, “Wahai Ka’bah! Alangkah agungnya hakmu namun demi Allah hak seorang beriman lebih agung dari hakmu.”[1]
Dari sisi lain, Islam memandang menghujat dan berkata tidak senonoh sebagai perbuatan tercela dan tidak terpuji. Rasulullah Saw bersabda, “Allah Swt mengharamkan surga bagi orang-orang yang gemar menghujat, berkata-kata buruk dan kurang malu yang tidak tahu menjaga omongannya.”[2]
Terkhusus kebanyakan tuduhan akan terlontar dalam ucapan-ucapan yang tidak senonoh dan dusta.
Al-Quran dalam mencela orang-orang yang menampakkan keburukan orang lain, menyatakan bahwa “Allah tidak menyukai seseorang menampakkan keburukan orang lain dengan ucapannya, kecuali orang yang dianiaya.” (Qs. Al-Nisa [4]:148)
Mengingat bahwa Allah Swt adalah “Sattar al-‘Uyub” (Mahapenutup aib-aib) tidak suka orang-orang yang mengungkit-ungkit aib orang-orang dan membuat orang-orang malu. Di samping itu, kita tahu bahwa setiap manusia khususnya berusaha untuk menutupi titik kelemahannya sehingga apabila aib-aib ini diungkap maka mental prasangka buruk akan tersebar di tengah masyarakat dan sesama anggota masyarakat akan sulit mengadakan kerjasama.
Oleh itu, karena penguatan hubungan-hubungan sosial diperlukan dan demi terjaganya wibawa serta nama baik seseorang maka tanpa menimbang satu tujuan yang benar maka sebaiknya aib-aib orang tidak diungkap.[3]
Namun demikian ayat hanya membolehkan satu hal keburukan-keburukan orang-orang diungkap di tengah masyarakat dan hal itu berkaitan dengan kezaliman yang menimpa seseorang. Orang yang dizalimi dapat menjelaskan keburukan-keburukan dan kejahatan-kejahatan orang yang menzalimi dan memberitahukan orang lain tentang kezaliman yang menimpanya..
Karena itu, tiada seorang pun yang dapat menghina seseorang atau orang-orang dan mengungkap aib-aib mereka di hadapan umum hanya karena kesalahan kecil atau adanya perbedaan pendapat atau merasa bersedih karena ulah orang tersebut. Bahkan ia harus berusaha membalas kejahatan dan aib-aib mereka dengan sikap pengasih dan menunjukkan sikap prihatin serta membimbing mereka. Khususnya terkait dengan keluarga atau handai taulan yang rencananya akan hidup bersama kita selama puluhan tahun. Kita harus mencermati bahwa berkata-kata buruk sangat berbahaya dan akan menyisakan pengaruh buruk pada mental setiap orang untuk masa yang lama. Karena itu, apabila seseorang melakukan hal tersebut maka secepat mungkin ia harus meminta maaf dan menebus penghinaan ini.
Dari sisi lain, seseorang yang dizalimi dan dikata-katai buruk oleh orang lain harus berbesar hati dan berlapang dada untuk melupakan penghinaan ini serta berupaya untuk menjauhkan segala dendam dan usaha untuk membalas, khususnya apabila dilakukan oleh orang-orang dekat seperti ayah dan ibu istri, dan lain sebagainya yang tentu saja memiliki hak yang banyak padanya. Oleh itu, ia harus melupakannya dan mencamkan baik-baik bahwa Allah Swt akan mengganjari pahala yang besar atas sikap memaafkan ini. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 5309 (Site: 5597), Indeks: Melawan Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik.
[1]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 9, hal. 344, Hadis 11039.
فِقْهُ الرِّضَا، ع أَرْوِي عَنِ الْعَالِمِ ع أَنَّهُ وَقَفَ حِيَالَ الْكَعْبَةِ ثُمَّ قَالَ مَا أَعْظَمَ حَقَّكِ يَا كَعْبَةُ وَ اللَّهِ إِنَّ حَقَّ الْمُؤْمِنِ لَأَعْظَمُ مِنْ حَقِّكِ.
[2]. Bihâr al-Anwâr, jil. 60, hal. 207, Hadis 309:
بِإِسْنَادِهِ عَنْ سُلَيْمِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ ع قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْجَنَّةَ عَلَى كُلِّ فَحَّاشٍ بَذِيٍّ قَلِيلِ الْحَيَاءِ لَا يُبَالِي مَا قَالَ وَ لَا مَا قِيلَ لَهُ فَإِنَّكَ إِنْ فَتَّشْتَهُ لَمْ تَجِدْهُ إِلَّا لِغَيَّةٍ أَوْ شِرْكِ شَيْطَانٍ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَ فِي النَّاسِ شِرْكُ شَيْطَانٍ فَقَالَ ص أَ مَا تَقْرَأُ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ شارِكْهُمْ فِي الْأَمْوالِ وَ الْأَوْلادِ الْخَبَرَ
[3]. Tafsir Nemune, jil. 4, hal. 184.