Please Wait
Hits
11009
11009
Tanggal Dimuat:
2014/05/22
Kode Site
id23581
Kode Pernyataan Privasi
36690
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apabila imamah itu merupakan kedudukan yang ditetapkan oleh Allah Swt, lantas mengapa Imam Ali bin Abi Thalib As meminta orang-orang untuk meninggalkannya dan mencari orang lain? Demikian juga mengapa Imam Hasan As menyerahkan khilâfah kepada Muawiyah?
Pertanyaan
Orang-orang Syiah berkata: Imamah adalah sebuah jabatan yang ditentukan dari Allah. Allah telah memilih seorang Nabi dan menentukannya, begitu juga Allah memilih seorang Imam dan mengangkatnya. (Ashlus Syiah wa ushuluha hal. 58). Persoalannya adalah Allah memilih Ali akan tetapi Ali berkata : “Tinggalkan saya dan cari selain saya, cukup aku menjadi wakil/pembantumu itu lebih baik daripada menjadi Imam/Khalifah.” Allah memilih Hasan tapi Hasan menyerahkan kepemimpinan/imamah pada musuh bebuyutan syiah, yaitu Muawiyah. Dengan itu maka Ali dan Hasan telah merontokkan prinsip Imamah dari pondasinya?” Bagaimana jawaban Anda atas persoalan dan syubha seperti ini?
Jawaban Global
Imamah adalah posisi dan kedudukan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Allah Swt memilih seseorang dan diperkenalkan oleh Rasulullah Saw. Namun terkait dengan persoalan mengapa Imam Ali dan sebagian Imam Ahlulbait As menolak menerima kedudukan ini dan memberikan baiat kepada orang lain terdapat beberapa alasan yang secara global dapat dijelaskan sebagai berikut:
Menduduki tampuk pemerintahan yang dilakukan oleh para imam bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama mereka. Tujuan mereka mengambil tampuk pemerintahan adalah supaya dapat menjalankan ketentuan agama Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah Ilahi; sebuah tanggung jawab yang tentu saja tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain secara sempurna. Dan tatkala antara masalah khilâfah dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saling berhadap-hadapan dan berbenturan satu sama lain, maka tentu saja Islam dan agama Ilahi adalah suatu hal yang harus dipilih dan lebih penting. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak dapat meraih pemerintahan apa pun yang menjadi tebusannya; karena itu kita melihat dalam beberapa kondisi, para Imam Ahlulbait As, menolak menerima khilâfah meski sekali pun mereka tidak pernah mengingkari hak mereka atas posisi dan kedudukan ini.
Menduduki tampuk pemerintahan yang dilakukan oleh para imam bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama mereka. Tujuan mereka mengambil tampuk pemerintahan adalah supaya dapat menjalankan ketentuan agama Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah Ilahi; sebuah tanggung jawab yang tentu saja tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain secara sempurna. Dan tatkala antara masalah khilâfah dan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saling berhadap-hadapan dan berbenturan satu sama lain, maka tentu saja Islam dan agama Ilahi adalah suatu hal yang harus dipilih dan lebih penting. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak dapat meraih pemerintahan apa pun yang menjadi tebusannya; karena itu kita melihat dalam beberapa kondisi, para Imam Ahlulbait As, menolak menerima khilâfah meski sekali pun mereka tidak pernah mengingkari hak mereka atas posisi dan kedudukan ini.
Jawaban Detil
Imâmah adalah posisi dan kedudukan yang ditetapkan oleh Allah Swt. Dalam maslaah imâmah, Allah Swt memilih seseorang dan diperkenalkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini memiliki dalil-dalil dan bukti-bukti yang akan kami telah jelaskan secara rinci pada beberapa jawaban-jawaban lainnya dan hemat kami tidak perlu lagi membahasnya di sini.[1]
Dari sisi lain, dalam sejarah Islam, terdapat beberapa periode yang di dalamnya, para Imam Maksum As menolak menerima posisi khilâfah dan bahkan kepemimpinan umat diserahkan kepada orang lain dengan beberapa syarat tertentu kepada orang lain misalnya kepada Muawiyah. Namun Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah melakukan praktik politis seperti ini dan tidak pernah menolak mengemban tanggung jawab yang diletakkan di atas pundaknya.
Nampaknya jawaban atas pertanyaan di atas dapat ditelusuri pada beberapa poin berikut ini:
Dari sisi lain, dalam sejarah Islam, terdapat beberapa periode yang di dalamnya, para Imam Maksum As menolak menerima posisi khilâfah dan bahkan kepemimpinan umat diserahkan kepada orang lain dengan beberapa syarat tertentu kepada orang lain misalnya kepada Muawiyah. Namun Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah melakukan praktik politis seperti ini dan tidak pernah menolak mengemban tanggung jawab yang diletakkan di atas pundaknya.
Nampaknya jawaban atas pertanyaan di atas dapat ditelusuri pada beberapa poin berikut ini:
- Hal yang penting adalah: Menduduki tampuk pemerintahan bukanlah menjadi tujuan pertama dan utama para Imam Ahlulbait As, melainkan mereka ingin memerintah dengan tujuan untuk menghidupkan agama Islam dan mengimplementasikan perintah-perintah Ilahi secara sempurna; sebuah tanggung jawab yang tentu saja tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang lain secara sempurna. Dan tatkala antara masalah khilâfah, kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saling berhadap-hadapan dan berbenturan satu sama lain, maka tentu saja Islam dan agama Ilahi adalah suatu hal yang harus dipilih dan lebih penting. Dalam kondisi seperti ini, kita tidak dapat merebut pemerintahan apa pun resikonya, berapapun harganya dan tebusannya; karena itu kita melihat dalam beberapa kondisi, para Imam Ahlulbait As, menolak menerima khilâfah meski sekali pun mereka tidak pernah mengingkari hak mereka atas posisi dan kedudukan ini.
- Imam Ali As dan para Imam Maksum lainnya, berusaha semaksimal mungkin untuk merebut pemerintahan demi menegakkan Islam dan melayani masyarakat. Mereka sama sekali tidak pernah kabur dari tanggung jawab ini; dan bahkan orang-orang yang dekat dengan mereka berusaha maksimal dalam masalah ini; sebagai contoh, Sayidah Fatimah Zahra Sa, dalam membela kehormatan wilâyah, beliau pergi ke rumah-rumah sahabat dan mengingatkan mereka ihwal baiat al-Ghadir bahkan di masjid Rasulullah Saw, beliau menyampaikan khutbah yang berapi-api. Demikian juga, Imam Ali As menolak memberikan baiat kepada khalifah pertama untuk beberapa lama dan tidak pernah menganggap mereka yang mengklaim khilâfah sebagai orang yang layak menerima jabatan itu. Dan hal-hal lainnya juga berkenaan dengan para Imam Ahlulbait lainnya juga.
- Amirul Mukminin Ali As dalam sebuah khutbahnya dengan lugas dan tegas menyatakan alasannya mengapa menolak menerima kepemimpinan umat setelah 25 tahun padahal Allah Swt telah memilihnya untuk menjabat pos ini dan beliau sendiri memandang dirinya yang lebih layak atas urusan ini, “Tinggalkan saya dan carilah orang lain. Kita sedang menghadapi suatu hal yang mempunyai (beberapa) wajah dan warna, yang tak dapat ditahan hati dan tak dapat diterima akal. Awan sedang menggelantung di langit, dan wajah-wajah tak dapat dibedakan. Anda seharusnya tahu bahwa apabila saya menyambut Anda, saya akan raemimpin Anda sebagaimana saya ketahui, dan tidak akan memusingkan apa pun yang mungkin dikatakan atau dicercakan orang. Apabila Anda meninggalkan saya maka saya sama dengan Anda. Mungkin saya akan mendengarkan dan menaati siapa pun yang Anda jadikan pengurus urusan Anda. Saya lebih baik bagi Anda sebagai penasihat (wazir) ketimbang seorang kepala (amir).”[2]
Benar; masa depan menunjukkan dan sejarah merekam pelbagai persoalan dan problematika yang muncul paska Imam Ali memerintah dan masyarakat enggan mengikutinya sedeikian sehingga Imam menyampaikan khutbah kepada masyarakat, “Celaka bagi Anda. Saya telah capai mencela kalian. Apakah kalian menerima kehidupan duniawi ini sebagai ganti kehidupan yang akan datang? Atau kehinaan sebagai ganti kehormatan? Bilamana saya mengundang kalian berjihad melawan musuh kalian, mata kalian berputar seakan-akan kalian berada dalam cengkeraman maut, dalam ketidaksadaran di saat-saat terakhir. Permohonan saya tidak kalian pahami, dan kalian hanya terpukau. Seakan-akan hati kalian dipengaruhi kegilaan sehingga kalian tidak mengerti. Kalian telah menghilangkan kepercayaan saya untuk selamanya. Tidaklah kalian merupakan suatu dukungan bagi saya untuk diandalkan, bukan pula sarana bagi kehormatan dan kemenangan. Kalian ibarat unta-unta yang kehilangan pelindungnya, sehingga apabila mereka dikumpulkan dari satu sisi mereka tersebar menjauh dari sisi lain. Demi Allah, betapa buruk kalian untuk menyulut api perang. Musuh berkomplot melawan kalian tetapi kalian tidak berkomplot (melawan musuh). Perbatasan (negeri) kalian sedang berkurang, tetapi kalian tidak berang atasnya. Orang-orang yang melawan kalian tidak tidur, tetapi kalian tak peduli. Demi Allah, orang-orang yang meninggalkan urusan kepada orang lain akan ditundukkan. Demi Allah, saya mengira bahwa apabila pertempuran berkecamuk dan maut melanglang di atas kalian, kalian akan memutuskan diri menjauh dari putra Abu Thalib seperti memutuskan kepala dari badan.”[3]
- Adapun terkait dengan Imam Hasan As: Selama kurang lebih enam bulan, Imam Hasan naik tampuk pemerintahan menggantikan ayahandahnya Imam Ali As dan bahkan telah mempersiapkan pasukan untuk berperang melawan Muawiyah, namun pasukan ini tidak solid dan pendeknya tercerai berai yang memaksa Imam Hasan As harus meninggalkan medan perang dan menerima perjanjian damai. Namun hal ini tidak bermakna bahwa Imam Hasan menerima Muawiyah sebagai khalifah Rasulullah Saw, bahkan pada sebagian literatur, Imam Hasan dalam butir perjanjian damai dengan Muawiyah menyaratkan supaya Muawiyah tidak menyebut dirinya sebagai amirul mukminin dan dengan cara seperti ini Imam Hasan tidak mengakui legitimasi Muawiyah. “Imam Hasan As membaiat Muawiyah dengan syarat ia tidak menyebut dirinya sebagai amirul mukminin.”[4] Imam Hasan sebagaimana Imam Ali yang terpaksa memberikan baiat kepada para khalifah, membaiat Muawiyah dan boleh jadi baiat ini disebabkan oleh karena masyarakat harus memiliki penguasa, entah ia seorang penguasa yang baik atau jahat sehingga orang-orang beriman tetap melangkah di jalan kebenaran dalam pemerintahannya.”[5]
Di samping hal-hal yang disebutkan sebagian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa tiadanya sahabat yang memadai dan dapat dipercaya yang menjadi sebab utama mengapa para imam menolak pemerintahan. Di samping kedua imam ini, terdapat hal-hal lain yang dinukil dalam sejarah terkait dengan para imam lainnya,[6] dan hal ini adalah demi untuk menjaga Islam dan ajaran Syiah; sebagaimana pada sebagian masa kesyahidan dan kebangkitan, adalah demi untuk menjaga Islam. [iQuest]
[1]. Perbedaan antara Imam dan Khalifah, Pertanyaan 502; Dalil-dalil Keyakinan terhadap Imamah dan Para Imam, Pertanyaan 321; Pembatasan Imamah pada Keturunan Rasulullah Saw, Pertanyaan 2969.
[2]. Muhammad bin Husain Syarif al-Radhi, Nahj al-Balâghah, Riset oleh Subhi Saleh, Khutbah 92, hal. 136, Qum, Hijrah, Cetakan Pertama, 1414 H.
«دَعُونِی وَ الْتَمِسُوا غَیْرِی فَإِنَّا مُسْتَقْبِلُونَ أَمْراً لَهُ وُجُوهٌ وَ أَلْوَانٌ لَا تَقُومُ لَهُ الْقُلُوبُ وَ لَا تَثْبُتُ عَلَیْهِ الْعُقُولُ وَ إِنَّ الْآفَاقَ قَدْ أَغَامَتْ وَ الْمَحَجَّةَ قَدْ تَنَکَّرَتْ. وَ اعْلَمُوا أَنِّی إِنْ أَجَبْتُکُمْ رَکِبْتُ بِکُمْ مَا أَعْلَمُ وَ لَمْ أُصْغِ إِلَى قَوْلِ الْقَائِلِ وَ عَتْبِ الْعَاتِبِ وَ إِنْ تَرَکْتُمُونِی فَأَنَا کَأَحَدِکُمْ وَ لَعَلِّی أَسْمَعُکُمْ وَ أَطْوَعُکُمْ لِمَنْ وَلَّیْتُمُوهُ أَمْرَکُمْ وَ أَنَا لَکُمْ وَزِیراً خَیْرٌ لَکُمْ مِنِّی أَمِیرا»
«دَعُونِی وَ الْتَمِسُوا غَیْرِی فَإِنَّا مُسْتَقْبِلُونَ أَمْراً لَهُ وُجُوهٌ وَ أَلْوَانٌ لَا تَقُومُ لَهُ الْقُلُوبُ وَ لَا تَثْبُتُ عَلَیْهِ الْعُقُولُ وَ إِنَّ الْآفَاقَ قَدْ أَغَامَتْ وَ الْمَحَجَّةَ قَدْ تَنَکَّرَتْ. وَ اعْلَمُوا أَنِّی إِنْ أَجَبْتُکُمْ رَکِبْتُ بِکُمْ مَا أَعْلَمُ وَ لَمْ أُصْغِ إِلَى قَوْلِ الْقَائِلِ وَ عَتْبِ الْعَاتِبِ وَ إِنْ تَرَکْتُمُونِی فَأَنَا کَأَحَدِکُمْ وَ لَعَلِّی أَسْمَعُکُمْ وَ أَطْوَعُکُمْ لِمَنْ وَلَّیْتُمُوهُ أَمْرَکُمْ وَ أَنَا لَکُمْ وَزِیراً خَیْرٌ لَکُمْ مِنِّی أَمِیرا»
[3]. Ibid, Khutbah 34, hal. 78.
[4]. Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarâ’i, jil. 1, hal. 212, Qum, Kitabpurusyi Dawari, Cetakan Pertama, 1385 S; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 44, hal. 2, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cetakan Kedua, 1403 H.
«بایع الحسن بن علی صلوات الله علیه معاویة على أن لا یسمیه أمیر المؤمنین».
«بایع الحسن بن علی صلوات الله علیه معاویة على أن لا یسمیه أمیر المؤمنین».
[5]. Nahj al-Balâghah, Khutbah 40, hal. 82.
«إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ أَمِیرٍ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ یَعْمَلُ فِی إِمْرَتِهِ الْمُؤْمِن»
«إِنَّهُ لَا بُدَّ لِلنَّاسِ مِنْ أَمِیرٍ بَرٍّ أَوْ فَاجِرٍ یَعْمَلُ فِی إِمْرَتِهِ الْمُؤْمِن»
[6]. Sebagai contoh silahkan lihat, Sahabat Imam Shadiq As Meloncat ke Kubangan Api, Pertanyaan 35284.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar