Please Wait
10577
Allah Swt memberikan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang beramal saleh, beriman, dan bertakwa, akan tetapi iman dan takwa memiliki tingkatan dan derajatnya masing-masing. Oleh karena itu, ridha Ilahi akan kembali pada tingkatan dan derajat ketakwaan yang dimiliki.[i]
Surga berkesesuaian dengan tingkat dan derajat keimanan, kapasitas, dan kualitas amal perbuatan dari ahli surga yang tentunya juga berbeda dan “surga ridhwan” berada pada tingkatan surga yang tinggi. Pemilik surga ini adalah para nabi, para wali-wali Allah, dan muqarrabin. Dan kelompok ini sama sekali tidak membutuhkan syafaat Ilahi, bahkan mereka adalah kelompok yang memberikan syafaat pada hari pembalasan.[ii]
Dari angle ini, yang dimaksudkan dengan orang-orang yang mendapatkan keridhaan Allah Swt pada ayat di atas bukanlah penghuni surga Ridhwan, karena kalau yang dimaksudkan adalah mereka maka kita akan mendapatkan ketidaksesuaian antara ayat yang ada. Bahkan ayat ini turun untuk meluruskan pemahaman kaum musyrik yang bersandarkan pada syafaat para malaikat.
Dengan kata lain, orang-orang yang berhak mendapatkan syafaat adalah mereka yang memiliki keimanan yang diridhai dan diterima oleh Allah Swt, akan tetapi bagi mereka yang dikarenakan oleh amal perbuatan mereka terjatuh dari tempat yang semestinya mereka capai maka mereka itulah orang-orang yang mendapatkan syafaat.
Sementara kaum musyrikin adalah orang-orang yang tidak beriman, dengan demikian mereka yang termasuk mendapatkan syafaat.[iii]
Allah Swt di dalam al-Quran berfirman bahwa Dia akan memberikan keridhaan-Nya kepada orang-orang yang sebagai berikut :
1. Iman dan amal yang saleh;
2. Orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta Ulil Amri dari mereka;
3. Memerangi orang-orang kafir, musyrikin, dan munafik;
4. Melaksanakan dan menepati janji kepada Allah Swt, Rasul-Nya, para Imam Ahlulbait, dan masyarakat;
5. Kejujuran;
6. Bekerja di jalan Allah;
7. Berkorban dengan harta dan jiwa di jalan Allah Swt;
8. Bertawakkal kepada Allah Swt dalam segala hal;
9. Bersabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, bersabar dalam meninggalkan maksiat, dan bersabar dalam segala musibah dan malapetaka;
10. Tidak takut kepada musuh-musuh agama Tuhan.
Akan tetapi, apakah setiap manusia yang diridhai oleh Allah Swt kelak akan memasuki surga Ridhwan? Keridhaan Allah Swt tergantung kepada tingkatan derajat keimanan seseorang dan perbuatan saleh yang dia lakukan, begitu juga dengan segenap kesalahan dan dosa yang ia lakukan di jalan ini.
Bagi mereka yang berada pada puncak keimanan dan tidak pernah melakukan dosa dan kesalahan di dalam hidupnya, seperti para nabi , para wali-wali Allah. Mereka ini di akhirat akan memasuki surga Ridhwan. Dan bagi mereka yang melakukan kesalahan di dalam hidup dengan menjaga tingkatan kedekatan mereka kepada Allah pada derajat selanjutnya mereka akan mendapatkan surga Ilahi tapi bukanlah surga Ridhwan sebagaimana para nabi dan para wali Allah.
Penjelasannya bahwa nikmat-nikmat yang di berikan di alam surga pada kenyataanya adalah bentuk menifestasi atau perwujudan dari amal-amal perbuatan manusia di dunia, karena setiap manusia memiliki tingkatan amal perbuatan yang berbeda maka tingkatan surga mereka di akhirat kelak akan bertingkat dan beragam pula.
Pada ayat-ayat al-Quranul-Karim, derajat dan tingkatan surga itu disebutkan dengan nama-nama Jannatul Liqa (surga liqa)[1], Jannatul Ridhwan ( surga Ridhwan )[2], Darussalam (pintu keselamatan )[3], Jannatul Adnan (surga Adnan ), [4]Jannatul Firdaus (surga Firdaus)[5], Jannatul Khuld (surga khuld)[6], Jannatul Ma’wa (surga ma’wa)[7], dan Maq’ad Shidq [8].
Disebagian riwayat, surga dikatakan memiliki seeratus derajat tingkatan[9], dimana tingkatan derjat surga ini tergantung kepada bentuk perbuatan yang dilakukan selama hidup di dunia ini, berdasar dari sini pula tingkatan derajat surga di akhirat kelak terbagi-bagi berdasarkan amal manusia.
Untuk itu bagi orang-orang yang memiliki perbuatan yang berubah-ubah seperti terkadang menjadi orang yang saleh, menjadi orang yang biasa, atau bahkan menjadi seorang pendosa maka mereka ini tidak memiliki kepastian untuk masuk surga[10].
Orang-orang yang seperti inilah yang akan mendapatkan syafaat seseuai dengan tingkat keridhaan Allah kepada mereka yang tentunya tergantung pada amal perbuatan mereka. Yang dimaksudkan dengan “من ارتضی (orang-orang yang diridhai)“ pada ayat ke-28 surah Anbiya disini adalah kelompok orang yang tidak jelas bagi mereka surga dan bukanlah orang-orang yang ada pada tingkatan surga Ridhwan, kelompok yang berada pada surga Ridhwan adalah para nabi dan wali Allah yang mereka adalah pemberi dan pemilik syafaat. Dengan demikian terkait dengan ayat ini kita bisa menanyakan apa asbabun nuzul (sebab turunya wahyu) ayat ini?
Kaum musyrik Mekkah yang menyembah berhala, sesembahan mereka itu yang di jadikan pemberi syafaat di sisi Allah, mereka mengatakan, “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya,[11] kemudian mereka juga mengatakan, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.[12]
Patung-patung berhala ini tidak mampu melakukan apa-apa hingga ia dapat menghilangkan malapetaka dan kerugian yang menimpa manusia baik bagi orang yang menyembahnya ataupun bagi orang yang lain. Kaum musyrik yang bodoh ini beranggapan bahwa patung-patung ini adalah pemberi syafaat di sisi Allah di hari kiamat.
Dari sisi yang lain, kaum musyrik ini beranggapan bahwa para malaikat adalah putri-putri Tuhan kemudian mereka memuji dan memuliakan malaikat tadi dan beranggapan bahwa para malaikat akan memberikan syafaat bagi mereka di hari kiamat. Pemikiran ini dengan turunnya ayat 28 surah An-biyaa akan tertolak dengan sendirinya.
Allah Swt dalam An-Biyaa ayat 26-28 berfirman, “Dan mereka berkata, “Tuhan Yang Maha Pengasih telah mengambil (mempunyai) anak.” Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan.” “Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya”.
Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan dan di belakang mereka (malaikat), dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. [13]
Dengan demikian, para malaikat tadi tidak dapat melakukan apa-apa tanpa izin dari Allah Swt dan tanpa keridhaan Tuhan mereka tidak dapat memberikan syafaat bagi kaum musyrik.
Penjelasan:
Syafaat bagi para pemberi syafaat terbagi menjadi tiga bagian:
1. Kenaikan derajat surga bagi para ahli surga;
2. Pembebasan azab neraka sebelum memasuki neraka;
3. Pembebasan azab dan mengurangi masa tinggal di dalam neraka setelah memasuki neraka.[14]
Satu hal yang jelas bahwa hasil dari tiga pembagian syafaat ini dan perbedaannya akan bergantung kepada tingkatan iman dan amal perbuatan orang-orang yang akan mendapatkan syafaat tadi.
Seseorang akan terbebas dari azab Ilahi dengan beberapa syarat:
1. Tak ada yang memiliki hak untuk memberikan syafaat tanpa izin dari Allah Swt, karena Dia lah Hakim Mutlak dan syafaat adalah bagian dari rahmat Ilahi;
2.
3. Mereka yang berhak mendapatkan syafaat adalah yang membutuhkan syafaat, mereka memiliki kelayakan untuk mendapatkan syafaat, dengan syafaat mereka mendapatkan kebebasan dari azab Ilahi. Penghalang syafaat seperti syirik, kufur, dan penginkaran akan syafaat tidak terdapat di dalam diri orang tersebut.
Dengan memperhatikan syarat-syarat yang ada di atas dan dengan merujuk pada ayat ayat al-Quran maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa kaum mukmin dan para malaikat tidak dapat memberikan syafaat kepada kaum musyrik dan kafir, bahkan mereka tidak dapat mendoakan dan memohon ampunkan mereka.
Allah Swt berfirman, ”Jangan kalian memohon ampunan bagi kaum musyrikin munafik, bahkan sekiranya kalian memohonkan ampunan bagi mereka sebayak tujuh puluh kali sekalipun maka Tuhan tidak akan pernah memaafkan mereka.[15]
Karena Allah Swt berfirman, “Allah tidak akan pernah memaafkan orang orang yang menyekutukan-Nya, akan tetapi Dia memaafkan yang lebih rendah dari itu.[16] “Sementara para malaikat dan nabi-nabi Allah tidak akan pernah melanggar perintah Ilahi [17] dan mereka tidak akan pernah memberikan syafaat kepada kaum musrikin dan kafir.
Bahkan sekirannya kaum mukmin memberikan syafaat kepada mereka niscaya syafaat mereka itu tidak akan di terima di sisi Allah Swt. Musyrikin, kafir, dan kaum munafik telah meniadakan kelayakan syafaat bagi diri mereka sendiri dimana kelayakan syafaat itu kembali kepada kerja dan ikhtiar mereka selama hidup di dunia.
Untuk itu, kaum musrik, kafir, dan munafik hanya menghayal bahwa mereka akan mendapatkan syafaat di hari akhirat kelak di karenakan kebodohan mereka.
Untuk itu ridha dan kesenangan adalah satu hal yang nisbi dan memiliki derajat tingkatan antara satu dengan yang lainnya satu hal yang benar bahwa kalau dikatakan bahwa Allah Swt ridha kepada amal hamba-Nya ataukah Dia tidak ridha kepada amal hamba-Nya ataukah dikatakan Dia ridha kepada sebagian amal hamba-Nya, dan Dia tidak ridha kepada sebagian amal lain dari hamba-Nya yang sama.
Maka bukanlah satu hal yang kontradiksi kalau Tuhan ridha dengan amal hamba yang sama ( yang Allah tidak ridha atas sebagian amalnya) dan pada saat yang bersamaan ia tidak berhak memasuki surga Ridhwan, bahkan hamba yang tadi berhak mendapatkan azab Ilahi dari amal perbuatan yang tidak benar dari yang dia lakukan.[]
Sumber rujukan:
1. Habibian, Ahmad, Behest wa jahannam, hal. 249-251, sozemone tabligote eslami terbitan1 1379 ,
2. Syirwani, Ali, Maarefe eslam dar azar Syahid Mutahari hal. 254-227, terbitan Maaref terbitan pertama,1376,
3. Thabatabi, Muhammad Husain, Barresihoye eslami, hal. 355-367, hejrat,
4. Thabatabi, Muhammad Husain, tafsir AL-Mizan , jilid 14, hal. 277 ayat 28 suran An-Biyaa, daftare entesyorote eslami,
5. Mibzah yazdi, Muhammad Taqi, Omuzes aqaid, jilid 3, pelajaran 58-60, sozemone tabligote eslami, terbitan 14, 1375, Qom.
6. Mibzah yazdi, Muhammad Taqi, Maarefe Quran, jilid 1-3,hal 66-68, entesyorote da rah haq, terbitan 2, 1368,Qom.
7. Makarem Syirasi, Nazher. Angizeh peydoyes mazaaheb, hal 155-177, terbitan kedua,
[1]. Qs. Al-Maidah ayat 65
[2]. Qs. Al-An’am ayat 27
[3]. Qs. Al-Taubah ayat 72
[4]. Al-Kahfi ayat 107
[5]. Qs. Al-Furqan ayat 15
[6]. Qs. Al-Sajadeh ayat 19
[7]. Qs. Al-Qamar ayat 55
[8] Habibiyan, Ahmad , Behesyt wa Jahannam, hal 25-249
[9] Biharul- Anwar jilid 8, hal 117 -196.13
[10] Qs. Al-Taubah 106-102
[11]. Qs. Al-Zumar ayat 3
[12]. Qs. Yunus ayat 18
[13]. Qs. Al-Anbiyaa ayat 26-28
[14] Syirwani, Ali, Arife Islam dar Atsar Syahid Mutahari,hal 227-254, Makarem Syirasi, Nashir. Angizeh Paidasye Madzaaheb, hal 155-177, Ayatullah Jawadi Amuli, Abdullah, Sirah Payombaran dar Qur’an, ( tafsir maudhui ), jilid 6, hal 99-113, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Amuzesy Aqaid, jilid 3, pelajaran 58-60
[15].Qs. At-Taubah: 85,96,
[16]. Qs. Al- Nisa :116-48
[17]. Qs. Al-Tahrim: 6; Qs. Al-Nahl:50