Please Wait
21019
Amru bin Ash alias “Amru bin Ash bin Wail Sahmi” adalah salah seorang oportunis dan licin. Ia terlahir dari seorang perempuan bernama Nabigha. Ayah Amru bin Ash adalah “Ash bin Wail.” Ash bin Wail Sahmi adalah salah seorang musyrik yang pernah mengejek Rasulullah Saw sebagai abthar (yang terputus keturunannya) pasca wafatnya Qasim putra Rasulullah Saw yang kemudian menjadi sebab turunnya ayat “Inna a’thainaka al-kautsar.”
Amru bin Ash terkenal sebagai orang yang licin dan lihai. Pada masa khilafah (pemerintahan) Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As, ia menjabat sebagai penasihat kuat Muawiyah yang meletuskan perang Shiffin melawan Imam Ali As. Dengan kelicikannya, sepanjang peperangan, ia banyak mengecoh kaum Muslimin dan pada peristiwa arbitrase (hakamiyyah), dengan menipu Abu Musa Asy’ari, ia banyak berjasa kepada Muawiyah. Dan setelah itu, ia mendapatkan jabatan sebagai gubernur Mesir. Amr bin Ash tutup usia pada umur 90 tahun pada tahun 43 Hijriah.
Amru bin Ash bin Wail Sahmi merupakan salah satu sosok licik dan opurtunis yang terlahir dari seorang perempuan bernama Nabigha. Akan tetapi lantaran perempuan ternoda ini berkumpul dengan lima pria (Abu Lahab, Umayah bin Khalaf, Hisyam bin Mughirah, Abu Sufyan dan Ash bin Wail), kelima orang ini mengklaim diri sebagai ayah dari Amru Ash hingga Nabigha sendiri yang memutuskan untuk memilih siapa ayah Amru bin Ash. Ia akhirnya memilih Ash bin Wail (meski Abu Sufyan berkata bahwa Amru berasal dari tulang sulbiku dan wajahnya mirip dengan Abu Sufyan), karena Nabigha memandang Abu Sufyan sebagai orang pelit dan berkata bahwa Ash lebih banyak membantunya.[1]
Akhirnya, Ash bin Wail dipilih sebagai ayah Amru. Ash bin Wail adalah salah seorang musyrik yang pernah mengejek Rasulullah Saw sebagai abthar (terputus keturunannya) pasca wafatnya Qasim bin Muhammad Saw dimana sebagai akibat dari ejekan dan cemoohan ini kemudian turun surah al-Kautsar dan ayat terakhir dari surah al-Kautsar adalah ayat yang berisi celaan terhadap rang ini (Ash bin Wail).[2]
Amru bin Ash pada masa Rasulullah
Amru bin Ash pada masa Rasulullah Saw adalah sosok yang dibenci dan berkepribadian licik. Hal itu dikarenakan ia menggubah tujuh puluh bait syair dan anak-anak kota Mekah tatkala melihat Rasulullah Saw mereka membacakan syair-syair tersebut dengan suara lantang yang telah menyebabkan kesedihan dan kegundahan Rasulullah Saw. Oleh itu, Rasulullah Saw berdoa: “Tuhanku! Amru telah mengejekku namun aku bukanlah seorang penyair dan aku tidak memiliki syair untuk menjawab ucapannya dengan syair. Karena itu, laknatlah ia seribu kali sebanding dengan masing-masing huruf syairnya.”[3]
Amru bin Ash adalah kepala rombongan yang diutus oleh sekelompok pembesar Quraisy ke Habasyah (Afrika) dan meminta kepada Najasyi untuk menyerahkan kaum Muslimin yang kabur dari kaum musyrikin ke negeri itu namun permintaan itu ditolak oleh Najasyi dan Amru Ash beserta rombongannya kembali dengan tangan kosong.[4]
Pada akhirnya Amru Ash pada tahun ketujuh Hijriah memeluk Islam dengan syarat bahwa segala keburukan yang pernah dilakukannya dimaafkan kemudian ia memberikan baiat kepada Rasulullah Saw.[5]
Sesuai dengan nukilan dalam sebagian kitab sejarah, setelah Amru Ash memeluk Islam Rasulullah Saw mengangkatnya untuk menjadi komandan Dzat al-Salasil[6] dan setelah itu ditugaskan untuk mengumpulkan zakat warga Oman.[7]
Amru bin Ash pada masa Abu Bakar, Umar dan Utsman
Amru bin Ash pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar tergolong sebagai orang-orang yang dekat kepada keduanya. Pada peristiwa penaklukan Syam (Suriah), Amru bin Ash adalah salah seorang komandan pasukan kaum Muslimin. Pada masa khilafah Umar, selama beberapa waktu ia menjadi penguasa di Palestina ia kemudian mendapat tugas untuk menaklukan Mesir. Setelah penaklukan Mesir Amru bin Ash sendiri yang menjabat sebagai penguasa (gubernur) di tempat itu. Jabatan ini bertahan hingga beberapa waktu pasca wafatnya Umar hingga kemudian Utsman memakzulkannya dan mengembalikannya ke Palestina. Akibat dari pemakzulan ini, Amru bin Ash menjadi orang yang sangat kritis terhadap Utsman dan membuatnya jarang berkunjung ke Madinah.[8]
Amru bin Ash pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib As
Pasca terbunuhnya Utsman dan terpilihnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, Baginda Ali memakzulkan Muawiyah dari jabatannya sebagai gubernur di Syam (Suriah). Lantaran Muawiyah memandang pemerintahannya dalam bahaya, ia memperkenalkan Baginda Ali As sebagai pembunuh Utsman dan kemudian mengibarkan bendera perlawanan melawan pemerintahan Ali dengan dalih ingin menuntut darah Utsman. Muawiyah ingin bekerja sama dengan Amru bin Ash dalam urusan ini. Karena itu, Muawiyah menulis surat kepada Amru bin Ash dan mengajaknya untuk bekerja sama.
Amru bin Ash dalam menjawab surat Muawiyah menulis, “Aku telah membaca suratmu dan telah memahami isinya. Adapun ajakanmu untuk keluar dari Islam dan bersamamu memasuki kegelapan serta membantumu di jalan kebatilan, menghunus pedang di hadapan Amirul Mukminin, padahal ia adalah saudara, wali, washi dan pewaris Rasulullah Saw. Dialah yang menunaikan utang Rasulullah Saw (pasca hijrah Rasulullah Saw ke Madinah) dan memenuhi segala janjinya. Ia adalah menantu Rasulullah Saw dan suami wanita penghulu alam semesta. Ayah Hasan dan Husain penghulu pemuda surga. Oleh itu, aku menolak ajakanmu. Adapun engkau berkata bahwa aku adalah khalifah Utsman, engkau telah dimakzulkan seiring dengan kematian Utsman dan kekhalifahaanmu telah berakhir. Apakah engkau tidak tahu bahwa Abul Hasan (Imam Ali) telah mengorbankan jiwanya di jalan Allah dan tidur di pembaringan Rasulullah Saw dan Rasulullah Saw bersabda tentangnya, “Man kuntu mawlahu fahadza Aliyyun mawlahu” (Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya maka Ali adalah maulanya).[9]
Meski dengan segala ucapannya ini, tatkala Muawiyah menjanjikan pemerintahan Mesir kepadanya, Amru bin Ash menyerahkan diri kepadanya dan bekerja sama dengannya. Dengan menipu orang-orang Syam (Suriah) dan menjadikan darah Utsman sebagai dalih, Amru bin Ash meletuskan perang Shiffin melawan Baginda Ali As. Ia menipu masyarakat dan menyebarkan isu dan rumor. Dengan isu dan rumor itu, ia mengatur jalannya peperangan. Meski demikian, dengan bimbingan dan strategi Baginda Ali As dan para sahabatnya, Muawiyah dan Amru bin Ash berada di ambang kekalahan telak namun sekali lagi dengan licik, Amru bin Ash berhasil menipu pasukan Baginda Ali As dan dengan mengacungkan al-Qur’an di ujung pedang ia membuat Imam Ali terpaksa menerima arbitrase (hakamiyah). Orang-orang seperti Asy’ats bin Qais yang terkecoh oleh Amru bin Ash. Di samping memaksakan arbitrase kepada Amirul Mukminin As ia juga mendesakkan orang polos dan lugu seperti Abu Musa Asy’ari kepada Amirul Mukminin As sebagai juru runding.
Amru bin Ash dalam proses arbitrase ini, sebagaimana yang telah diprediksikan, dengan mudah mengecoh Abu Musa Asy’ari dan menghantarkan Muawiyah ke singgasana khilafah. Setelah itu, Baginda Ali As terpaksa harus berperang dengan orang-orang yang belakangan disebut sebagai kelompok Khawarij.
Dan sesuai dengan janji Muawiyah kepadanya, Amru bin Ash diutus ke Mesir untuk menjabat posisi sebagai gubernur. Sementara itu, di Mesir gubernur yang berkuasa adalah Muhammad bin Abu Bakar yang diangkat oleh Baginda Ali As. Tidak lama berselang, Amirul Mukminin As mengutus Malik Asytar ke Mesir. Namun, di tengah perjalanan, Malik Asytar mencapai syahadah melalui antek-antek Mua’wiyah dan Amru bin Ash dengan membubuhi racun pada makannnya. Muhammad bin Abu Bakar juga mati syahid dengan kondisi mengerikan dan kemudian Amru bin Ash merampas posisi gubernur Mesir.[10]
Amru bin Ash tatkala menjabat jawatan sebagai Gubernur Mesir, setelah beberapa lama diancam untuk dimakzulkan lantaran tidak menyerahkan upeti kepada Muawiyah. Dalam menjawab ancaman Muawiyah, Amru bin Ash menulis surat dan menggubah syair yang bernama Jaljaliyah untuk Muawiyah. Syair Jaljaliyah adalah sebuah syair yang berisikan ungkapan pengakuan ihwal pelbagai keutamaan Baginda Ali As. Amru bin Ash mengirim surat yang berisi ancaman pemberontakan kepada Muawiyah.
Pada akhirnya, Amru bin Ash wafat di Mesir tatkala ia masih menjabat gubernur pada tahun 43 Hijriah[11] dan pada usia 90 tahun.[12] [IQuest]
[1]. Syarh Nahj al-Balâghah, Ibnu Abil Hadid, jil. 6, hal. 282 dan jil. 2, hal-hal. 100-101.
[2]. Majma’ al-Bayân, edisi sepuluh jilid, cetakan Beirut, jil. 10, hal. 461.
[3]. Safinat al-Bihâr, edisi empat jilid, Astan-e Quds, jil. 3, hal. 659.
[4]. Dalâil al-Nubuwwah, terjemahan, jil. 2, hal. 51.
[5]. Târikh Thabari, jil. 5, hal. 1494 dan 1525. Usdu al-Ghabah, jil. 3, hal. 742.
[6]. Al-Maghazi, jil. 2, hal. 77.
[7]. Usdu al-Ghabah, jil. 3, hal. 742.
[8]. Usdu al-Ghabah, jil. 4, hal. 244. Thabaqat, jil. 4, hal. 256. Qamus al-Rijal, jil. 8, hal. 11.