Please Wait
32666
Kepemimpinan lelaki atas perempuan sebagaimana yang termaktub dalam surah al-Nisa (4) ayat 34, “Kaum laki-laki itu memimpin kaum perempuan” bukanlah bermakna dominasi, pemaksaan atau pemerasan lelaki terhadap perempuan, melainkan sebagaimana yang dikatakan oleh para ahli linguistik dan juga kebanyakan para penafsir bahwa kata “qawwâm” di sini bermakna pengayom, penyelenggara dan penjaga. Karena keluarga merupakan sebuah institusi kecil masyarakat, wajarlah apabila ia juga menuntut kehadiran seorang pemimpin dan pengayom tunggal sebagaimana halnya masyarakat besar. Dan karena karakteristik-karakteristik berikut terdapat dalam diri pria, seperti: 1. Kekuatan rasional lelaki lebih dominan dari perasaan dan kasih sayangnya, 2. Lelaki memiliki stamina dan kekuatan fisik yang lebih besar untuk membela kehormatan keluarga, dan 3. Memiliki komitmen keuangan atas para wanita dan anak-anak dalam memenuhi kebutuhan dan biaya hidup, oleh karena itulah sehingga tanggung jawab kepemimpinan ini diletakkan di atas pundak kaum lelaki.
Dalam perspektif Al Qur'an, qawwâmiyat (kepemimpinan) hanya diperbolehkan ketika berada dalam lingkaran keadilan dan keridhaan-Nya, dan harus senantiasa diingat bahwa yang menjadi tolok ukur kelebihan dan keutamaan di sisi Tuhan hanyalah taqwa, dan bukan gender.
Dalam budaya Quran, makna kepemimpinan yang dimiliki oleh lelaki sama sekali bukan merupakan lahan untuk pendominasian, pengekangan dan penindasan atas kaum perempuan. Sangkaan yang mengatakan bahwa ayat di atas telah memberi peluang bagi kaum lelaki untuk menindas dan mendominasi perempuan mungkin saja terjadi karena ketiadaan penjelasan makna qawwâm dalam analisa dan penelitian al-Quran.
Sebelum memasuki masalah utama mengenai makna qawwâmiyat, perlu kiranya kami ungkapkan beberapa poin penting guna menjelaskan kedudukan dan posisi perempuan dalam perspektif agama Islam.
1. Perempuan sebagai separuh penduduk dunia dan anggota aktif dalam lembaga besar masyarakat manusia, juga merupakan salah satu dari dua pilar pencipta fondasi keluarga, dan sejarah telah mencatat berbagai penilaian mengenainya. Pandangan sejarah sepintas menunjukkan bahwa perempuan dalam mayoritas komunitas masyarakat menghadapi bentuk-bentuk diskriminasi yang menyiksa. Meskipun dalam berbagai budaya dan masyarakat sepanjang sejarah, perbedaan dan ikhtilaf ini memiliki intensitas yang berbeda-beda, akan tetapi kontinuitas dan melebarnya masalah ini tak dapat dipungkiri. Dari mulai masa jahiliyyah dimana gadis-gadis dikubur dalam keadaan hidup-hidup, para perempuan dibunuh oleh kaum lelaki dalam masyarakat Sumeria atau mereka dipergunakan sebagai alat transaksi untuk membayar hutang,[1] merupakan contoh-contoh penindasan tak kepalang tanggung yang dihadapi oleh kaum perempuan. Kesengsaraan-kesengsaraan yang telah diderita oleh kaum yang satu ini dari berabad-abad yang lalu bahkan hingga kini masih tetap mereka rasakan, baik pada mereka yang meyakini patriarkal pria dan menuhankan lelaki di dalam rumah, maupun pada peristiwa-peristiwa keras dan radikal yang berpikir tentang kebebasan mutlak perempuan, yang sayangnya kami tidak mempunyai kesempatan untuk membahasnya secara panjang lebar di sini, karena tulisan ini sangatlah ringkas dan hanya dalam posisi menjelaskan kedudukan dan perbaharuan hidup perempuan dalam Islam dan hak-hak yang mereka dapatkan melalui agama suci ini.
2. Dengan kemunculan agama Islam di bumi Arab, dan bantuan ajaran-ajaran Islam serta sunnah nabawi dan Ahlulbait As, kaum perempuan akhirnya memiliki kedudukan dan martabat yang sesuai dengan statusnya dan memperoleh kembali kedudukannya yang hakiki.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Imam Khomeini Ra, pendiri Republik Islam Iran mengatakan, Islam telah menyelamatkan kaum perempuan dari apa yang mereka alami pada masa jahiliyyah, dan apa yang dilakukan oleh Islam untuk melayani kaum perempuan ini tidak sebanding dengan apa yang dilakukannya terhadap kaum lelaki.[2] Islam menempatkan kaum perempuan sejajar dengan lelaki, tentunya terdapat satu hukum tertentu yang sesuai untuk lelaki dan satu hukum tertentu lainnya yang khusus dan sesuai untuk perempuan, dan ini bukan berarti bahwa Islam telah membedakan antara lelaki dan perempuan.[3]
3. Kesetaraan dalam penciptaan, al-Quran al-Karim memandang perempuan dan lelaki sebagai dua kelompok manusia yang diciptakan dari esensi dan jiwa yang tunggal. Dalam ajaran-ajaran al-Quran, kemanusiaan merupakan satu bentuk dimana lelaki dan perempuan masing-masing memiliki kedudukan yang sama dan sejajar, sebagaimana tersirat dalam salah satu ayat-Nya, “Kalian telah diciptakan dari satu jiwa, kemudian diciptakanlah istrinya dari jiwa tersebut.”[4]
Pada ayat lain berfirman, “Dia-lah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya.”[5]
4. Demikian juga, dilihat dari sisi terpenting manusia yaitu rasionalitas dan kecerdasan yang dimilikinya, lelaki dan perempuan memiliki saham dan manfaat yang setara pula, sebagaimana firman-Nya, “Katakanlah, “Dia-lah Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati. (Tetapi) amat sedikit kalian bersyukur.”[6]
Para mufassir dan cendekiawan Muslim mengartikan af-idah (hati) pada ayat di atas sebagai daya pikir dan rasio manusia yang berbeda dari binatang.[7]
5. Ketiadaan diskriminasi hak-hak perempuan dan laki-laki dalam kehidupan suami istri: dalam al-Quran, dominasi dan keutamaan yang menguntungkan bagi perempuan ditempatkan secara sejajar dengan apa yang menguntungkan bagi lelaki, meskipun bisa jadi terdapat perbedaan dalam beberapa kasus, seperti hak dalam masalah nafkah dan tunjangan hidup yang meniscayakan lelaki untuk memberikan perhatian atasnya, hak kepengikutan perempuan dalam masalah tempat tinggal, dan lain sebagainya, karena dalam salah satu ayat-Nya Allah swt berfirman, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”,[8] dan ini sebagaimana halnya hak yang dimiliki oleh kaum lelaki; dan para mufassir menggunakan ayat ini sebagai sandaran atas kesejajaran dan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.[9]
Pada kenyataannya di dalam Al-Quran tidak terdapat sebuah persoalan yang dengan jelas memperlihatkan pemberian kelebihan hak atau keutamaan tertentu yang keluar dari kehendak dan kewenangan manusia yang kemudian diinterpretasikan dengan kata "derajat", melainkan kata "derajat" atau “derajat-derajat” mengisyaratkan pada maqam dan kedudukan duniawi atau ukhrawi yang diciptakan oleh kehendak tindakan manusia itu sendiri[10], sebagaimana salah satu ayat-Nya menyatakan, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat lantaran apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”[11]
6. Qawwâm, dalam pandangan ahli linguistik diartikan sebagai pengayom, pelindung dan penjaga. Sedangkan qayyam kadangkala bermakna perlindungan dan reformasi atau perbaharuan, dan di antara firman-firman Tuhan yang bermakna seperti ini adalah, "Ar-rijalu qawwâmnuna ‘ala an-nisa”[12], yaitu lelaki merupakan pemimpin atas para perempuan,[13] sementara itu dalam kitab Aqrâbul Mawârid dikatakan, “Yang dimaksud dengan kepemimpinan lelaki atas perempuan adalah ia (lelaki) menjaga perempuan dan menangani urusan-urusannya.”[14]
Mayoritas dari para mufassir al-Quran membahas nukilan perspektif yang setara dengan para ahli linguistik, dan menyimpulkan bahwa “qawwâm” dalam ayat “Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bermakna sebagai pengayom, pelindung dan penyelenggara. Di sini kami akan mengisyaratkan dua kasus sebagai contoh, pertama: “qawwâm merupakan nama untuk seseorang yang melaksanakan sebuah pekerjaan dengan serius. Ketika dikatakan “ini pengayom perempuan”, maka yang dimaksudkan di sini adalah seseorang yang menangani pekerjaan perempuan dan memberikan perhatian terhadap penjagaannya”,[15] kedua: “kata qayyim bermakna seseorang yang bertanggungjawab atas pelaksanaan persoalan pribadi selainnya, sedangkan kata qawwâm dan qiyâm merupakan hiperbol dari makna ini.”[16]
7. Dengan memperhatikan posisi dan status perempuan dalam agama Islam dan makna yang telah dijelaskan untuk kata qawwâm, maka dari ayat “Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa” bisa diambil kesimpulan bahwa ayat ini berada dalam posisinya menjelaskan kepemimpinan dan kepengayoman tunggal dan teratur -dalam keluarga- dengan memperhatikan tanggungjawab-tanggungjawabnya, bukan dalam posisinya mensyariatkan dan
memperbolehkan adanya tirani, dominasi dan pemerasan terhadap
perempuan.[17]
Karena keluarga merupakan sebuah komunitas kecil masyarakat, maka wajar apabila ia sebagaimana komunitas masyarakat besar, juga membutuhkan seorang pemimpin dan pengayom tunggal. Dan karena di dalam diri para lelaki terdapat karakteristik-karakteristik seperti, kekuatan rasional yang lebih dominan dari kekuatan perasaan dan kasih sayangnya, keberadaan stamina yang tinggi dan kekuatan jasmani yang lebih besar dalam menjaga kehormatan keluarga dan adanya komitmen keuangan terhadap istri dan anak-anaknya dalam memenuhi biaya hidup, maka tanggung jawab kepemimpinan ini diletakkan di atas pundak kaum lelaki.
Tentunya tidak menutup kemungkinan sejumlah perempuan juga memiliki kelebihan dalam masalah-masalah di atas dari lelaki, akan tetapi hukum tidak memandang pada persoalan-persoalan yang partikular, melainkan memandang jenis dan universalitasnya, dan tidak ragu lagi secara universal lelaki memiliki kesiapan yang lebih besar untuk mengayomi dan melindungi keluarga.
Telah ditanyakan kepada Rasulullah Saw mengenai kelebihan lelaki atas perempuan, dan dalam menjawab pertanyaan ini beliau bersabda, “Keutamaan lelaki atas perempuan sebagaimana keutamaan air terhadap bumi dimana bumi hidup dengan air, kehidupan perempuan akan ceria dan gembira dengan keberadaan lelaki. Kemudian Rasulullah Saw membacakan ayat “Ar-rijalu qawwâmuna ‘ala an-nisa.”[18]
Mengenai hal ini Imam Shadiq As bersabda, “Kepemimpinan lelaki atas keluarganya merupakan salah satu tanda kebahagiaan seorang lelaki.”[19]
Berdasarkan kedua riwayat ini, jika tanggungjawab kepemimpinan dilaksanakan dalam lingkungan keluarga dengan sukarela dan persahabatan, maka hal ini akan menciptakan keceriaan, kebahagiaan dan keselamatan hidup.
8. Dalam persoalan kepemimpinan lelaki atas perempuan terdapat dua perspektif yang berbeda:
a. Pandangan yang mempercayai bahwa kepemimpinan lelaki atas perempuan dalam lingkup dan batasan rumah dikarenakan peran yang terdapat dalam gender lelaki, yaitu, supaya kehidupan bisa dijalankan dan dikelola dengan baik dan efisien, maka perlulah setiap laki-laki dan perempuan menjalankan dan memikul kewajibannya masing-masing sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan pada dasarnya dari sinilah kemudian lelaki memegang kepemimpinan atas perempuan, demikian juga, peran pengayom dalam keluarga dipegang oleh lelaki.[20]
Wal hasil, Tuhan menciptakan manusia dengan potensi, bakat dan kondisi yang berbeda-beda, dan andai seluruh manusia diciptakan dalam tingkatan potensi dan kekuatan yang sama, maka sistem keberadaan ini telah mengalami kehancuran sejak semula, kenapa? Ya, karena aktivitas-aktivitas dunia sangat variatif, dan keragaman ini tentu saja membutuhkan bakat-bakat dan potensi yang beragam pula, dengan demikian perbedaan merupakan sebuah keharusan. Perbedaan antara lelaki dan perempuan juga berasal dari titik poin ini. Tentunya perbedaan ini tidak menjadi tolok ukur keutamaan dan keunggulan bagi kelompok yang manapun. Ketika perempuan diperhadapkan dengan lelaki dan lelaki diperhadapkan dengan perempuan sebagai dua kelompok, maka di sini lelaki tidak akan pernah disebut sebagai qayyim dan pengayom perempuan, dan perempuan juga tidak pernah berada di bawah dominasi lelaki. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan perbedaan di sini bukanlah sebuah perbedaan yang akan menjadi sumber kelebihan dan keutamaan, dan apa yang menjadi titik poin kelebihan dan keutamaan di sini juga tidak bersumber dari perbedaan. Jadi berdasarkan perspektif ini, berarti ayat ke 34 surah al-Nisa berada dalam kedudukannya menjelaskan sebuah kewajiban yang diletakkan di atas pundak kaum lelaki, bukan menjelaskan tolok ukur dan parameter keunggulan maupun keutamaan.[21]
b. Perspektif lain sehubungan dengan topik ini adalah kelompok lelaki memiliki kepemimpinan atas kelompok perempuan, dan kepeminmpinan ini bukan hanya terbatas dalam ruang lingkup suami istri saja, melainkan sebuah hukum yang telah dikeluarkan untuk kaum lelaki atas kaum perempuan, tentu saja hukum pada dimensi umum, yaitu pada kasus-kasus dimana biasanya kaum lelaki memiliki peran memimpin dan mengayomi kaum perempuan, seperti dalam masalah pemerintahan dan peradilan dimana kehidupan masyarakat bergantung pada mereka. Kepemimpinan pada kedua tanggungjawab ini terletak pada kekuatan penalaran dan rasional dimana secara alami kekuatan ini ditemukan lebih besar dan lebih kuat dalam diri lelaki daripada perempuan.[22] Tentu saja, menurut pandangan ini, kepemimpinan lelaki atas perempuan bukanlah bermakna menegasikan kebebasan dan kemandirian perempuan dalam mempertahankan hak-hak individu maupun sosial.
9. Akhir kata, kesimpulan yang bisa diambil mengenai masalah kepemimpinan kaum lelaki ini adalah bahwa kepemimpinan ini merupakan sebuah bentuk dari bentuk-bentuk pengelolaan dan manajemenisasi kehidupan suami istri dimana lelaki menjadi manager bagi perempuan. Lelaki memiliki tanggungjawab materi atas keluarganya karenan adanya beberapa karakteristik-karakteristik yang lebih unggul dari perempuan dan karena adanya kekuatan lelaki yang lebih besar dalam menghadapi berbagai kondisi. Dipercayakannnya tugas dan tanggung jawab ini kepada lelaki bukanlah karena alasan superioritas ataupun keutamaan lelaki atas perempuan dan hal ini pun tidak akan menyebabkan keunggulan mereka dalam masalah ukhrawi, karena dalam Islam, perjalanan kesempurnaan manusia sama sekali tidak membedakan antara lelaki dan perempuan, melainkan perjalanan di atas lintasan kesempurnaan dan sampainya pada maqam qurbatan ilallah ini hanya akan diterima dengan adanya penalaran, taqwa dan amal shaleh, dan satu-satunya yang menjadi tolok ukur, parameter dan keutamaan di sisi-Nya hanyalah taqwa, bukan gender dan jenis kelamin.
Oleh karena itu, dalam budaya al-Quran, kepemimpinan lelaki sedikitpun tidak memberikan peluang bagi mereka untuk mendominasi, menindas, mengekang dan menguasai perempuan. Dan sangkaan yang menyatakan bahwa ayat di atas akan menyebabkan kaum lelaki mendominasi kaum perempuan, mungkin dikarenakan ketiadaan penjelasan mengenai makna qawwâm dalam analisa dan penelitian al-Quran. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh, silahkan Anda melihat beberapa indeks di bawah ini:
1. Kewajiban Perempuan di Hadapan Laki-laki, Pertanyaan 850 (situs: 925)
2. Tiadanya Superioritas Laki-laki atas Perempuan, Pertanyaan 531 (situs: 579)
3. Batasan Perempuan, Pertanyaan 416 (situs: 435).
[1] . Pazuhesy-hâye Qurâ’ni, Nomor 25-26, Bahar wa Tabistan 1380, nukilan dari Al-Mar’ah fi Al-Târikh wa Al-Syariah, Ahmad Hamrani, hal. 20.
[2]. Shahifeh-ye Nur, jil. 3, hal. 82. Ibid
[3]. Ibid.
[4]. Qs. Az-Zumar (39): 6.
[5]. Qs. Al-A’raf (7): 189.
[6]. Qs. Al-Mulk (67): 23.
[7]. Ibnu Khaldun, Abdurrahman, Muqadimeh-ye Ibnu Khaldun, jil. 2, hal. 860.
[8]. Qs. Al-Baqarah (2): 228.
[9]. Dalam tafsir Al-Mizan, Allamah Thabathabai berkata, “Yang diniscayakan dalam keadilan ilahi dan mengintepretasikan makna kesetaraan adalah bahwa setiap individu pemilik hak yang berada dalam masyarakat akan sampai pada haknya, setiap orang juga akan berkembang sesuai dengan kemajuannya dan tidak lebih. Jadi, kesetaraan antara manusia satu dengan yang lainnya, dan antara tingkatan-tingkatan sosial yang ada hanyalah supaya setiap pemilik hak memperoleh hak khususnya, tanpa mengganggu hak selainnya, tanpa dimotivasi oleh rasa permusuhan, pemaksaan atau setiap motivasi lainnya yang tidak jelas atau batil, dan ini tak lain sebagaimana yang tersirat dalam kalimat, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 228), dengan penjelasan di atas, mengisyaratkan bahwa kalimat di atas selain menerima perbedaan alami antara lelaki dan perempuan, juga menegaskan tentang masalah kesetaraan hak antara keduanya.” (Terjemahan Al-Mizân, jil. 2, hal. 415). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pandangan-pandangan para mufassir Ahli Sunnah dalam masalah ini, rujuklah: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurân al-‘Azhim, jil. 3, hal. 506; Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, jil. 2, hal. 268-297.
[10] . Pazuhesy-hâye Qurâ‘ni, Nomor 25-26, tahun 1380, hal. 153.
[11] . Qs. Al-An’am (6): 132.
[12] . Qs. Al-Nisa (4): 34.
[13] . Ibnu Mandzur, Lisânul ‘Arab, jil. 11, pada klausul “qaum”.
[14] . Said al-Khaqari, Aqrâbul Mawârid, pada klausul “qaum”
[15]. Fakhrur-razi, Tafsir Kabir, jil. 10, hal. 88.
[16] . Allamah Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain, Tafsir Al-Mizân, (terjemahan bahasa Persia), jil. 4, hal. 542.
[17] . Tafsir Namuneh, jil. 3, hal. 411-416.
[18]. Kasyani, Feidhi, Tafsir Shâfi, jil. 1, hal. 448.