Please Wait
91629
Mengingat bahwa agama Islam merupakan agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut adalah hak asasi manusia dan pelbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota dalam pandangan Islam.
Hak hidup, kebebasan berakidah, hak-hak warga kota non-Muslim, penafian rasialisme, kebebasan berpikir, menerima hak-hak kaum minoritas, partisipasi masyarakat dalam penetapan hukum, supervisi masyarakat atas pemerintah dan lain sebagainya merupakan pembahasan hak asasi manusia di dunia modern dimana Islam sebagai school of thought yang memberikan hidup melontarkan pandangan-pandangan yang jelas dalam masalah ini.
Mengingat bahwa agama Islam merupakan agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut adalah hak asasi manus ia dan pelbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota dalam pandangan Islam.
1. Hak Hidup
Hak pertama warga yang mengemuka dalam Islam dan sangat penting adalah hak untuk hidup. Mengingat seluruh hak bergantung pada hidupnya seseorang. Artinya jiwa dan hidup manusia memiliki kehormatan dan tiada seorang pun yang memiliki hak untuk melanggarnya. Dan dalam keyakinan dan ideologi Islam, sedemikian manusia mulia dan penuh nilai sehingga falsafah keberadaannya adalah untuk manusia. “Dia-lah yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian semua.”[1]
Makhluk yang penuh kemuliaan ini, tentu saja memiliki hak hidup yang lebih pasti dan tidak dibenarkan mengambil hak hidup darinya; kecuali dalam beberapa hal yang ditentukan dalam hukum Islam itu pun dalah sebuah pengadilan yang diputuskan beradasarkan keadilan. Mengambil hak hidup seseorang tanpa kesalahan (qishash, fasad) maka hukumnya seolah-olah telah membunuh seluruh manusia. Artinya kematian seseorang dalam komunitas manusia adalah kematian seluruh manusia. Kehidupan seseorang adalah laksana menghidupkan masyarakat dan manusia seluruhnya. “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia semuanya.”[2]
Dengan memperhatikan maqâshid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat), maka kita akan lebih banyak mengetahui kedalaman dan falsafah hak-hak warga dan manusia dalam Islam. Dari tuturan-tuturan ulama Islam dapat disimpulkan bahwa maqâshid al-syari’ah berasaskan pada sekumpulan hak-hak warga dan hak-hak manusia yang dikeluarkan oleh komite hak asasi manusia dalam rangka menjaga kelima hal ini. Memandang enteng dan melanggar hak-hak manusia bermakna melanggar salah satu hak-hak ini. Hak-hak tersebut adalah: 1. Menjaga agama. 2. Menjaga keselamatan jiwa. 3. Menjaga akal. 4. Menjaga generasi. 5. Menjaga harta.
Kita amati, pada kelimat hak-hak ini, bahwa setelah menjaga agama sebagai piagam kehidupan dunia manusia adalah menjaga keselamatan jiwa. Tujuan Syari’ Muqaddas (Allah Swt), salah satunya, adalah untuk menjaga keselamatan jiwa umat manusia. Dan seluruh hak-hak, aturan-aturan dan hukum agama dan non agama adalah untuk menjaga kelimat hal di atas.
Dalam pemerintahan Islam, seseorang (warga kota) adalah sebuah entitas yang memiliki hak dan kewajiban. Dengan kata lain, dua unsur yang membentuk kepribadian manusia adalah hak dan kewajiban. Artinya bahwa pemerintahan Islam, sebanding dengan kewajiban-kewajiban dari sudut pandangan agama, sosial dan politik yang dibebankan di pundak manusia maka Islam juga menetapkan hak-hak untuk manusia dan hak pertama tersebut adalah hak hidup.
Hak Hidup Janin:
Dalam pemerintahan Islam, di samping hak hidup memiliki kehormatan maka demikian juga hak sebelum hidup ketika manusia masih berada pada masa janin. Menjaga dan menunaikan hak ini diatur sepenuhnya dalam Islam. Atas dasar itu, menggugurkan janin termasuk kejahatan dan bahkan Islam menjaga dan mendukung harta benda dan kepunyaan janin.
Hal ini dilakukan supaya harta benda, kekayaan mereka tidak diganggu pada masa janin dan masa kecil yang termasuk bagian dari empat prinsip maqâshid al-syari’ah. Atas dasar itu, anak yang masih dalam kandungan memiliki warisan dan wasiat. Dan hal ini menandaskan penjagaan hak-hak materialnya sebelum ia lahir ke dunia.
2. Hak-hak Sosial Warga Kota dalam Islam
Dr. Abdulkarim Zaidan seorang juris dan pakar hukum membagi hak-hak orang dalam pemerintahan Islam menjadi dua bagian:
A. Hak-hak Politik:
Hak-hak politik dalam pandangan para pakar hukum adalah hak-hak yang diperoleh seseorang karena ia merupakan anggota dan bagian dari sekumpulan masyarakat seperti hak untuk memilih, hak untuk dipilih, memikul tugas-tugas kemasyarakatan dan tanggung jawab sosial, hak musyawarah yang pada hakikatnya merupakan hak umat dalam memilih pemimpin pemerintahan, hak untuk memakzulkan dan memecat presiden karena hubungan rakyat dan presiden dalam hal ini adalah hubungan wakil dan yang diwakili yaitu rakyat sebagai yang diwakili (muwakkil) dan presiden adalah yang mewakili.
B. Hak-hak Umum
Hak-hak umum yang disebut sebagai hak-hak bagi manusia karena ia merupakan bagian dan anggota masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Hak-hak umum ini ditetapkan untuk menjaga keselamatan, harta dan kebebasan manusia.
3. Kebebasan Berakidah
Pada sebagian ayat al-Qur’an dijelaskan prinsip kebebasan berakidah. Artinya secara asasi mengikuti keyakinan-keyakinan hati dan masalah-masalah nurani hanya bermakna tatkala tidak terdapat desakan dan paksaan di dalamnya. “Tiada paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. “ (Qs. Al-Baqarah [2]:256) “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (Qs. Yunus [10]:99) “Dan katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Qs. Al-Kahf [18]:29) “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya). “(Qs. Al-An’am [6]:107)
Iman kepada Tuhan dan prinsip-prinsip Islam sekali tidak dapat dipaksakan, melainkan hanya dapat dilakukan dengan logika dan penalaran. Pikiran dan ruh hanya dapat dimasuki dengan logika dan penalaran. Penting kiranya hakikat-hakikat dan perintah-perintah Ilahi dijelaskan sehingga orang-orang memahami dan menerimanya dengan kehendak dan ikhtiar yang mereka miliki.
Dimensi lain kebebasan adalah kebebasan berpikir dan beride. Pada kebanyakan ayat al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat [41]:53) "Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?" (Qs. Al-Dzariyat [51]:20-21)[3]
4. Kebebasan Berekspresi
Pemerintahan Islam memberikan kebebasan penuh sehubungan dengan masalah kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Tuhan mengaruniai manusia bersaman dengan menciptakan manusia salah satu anugerah yang disebut sebagai “bayan.” “(Tuhan) Yang Maha Pemurah. (Dia yang) Telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah menciptakan manusia. Dia mengajarkan bayân (ucapan yang dapat mengungkap isi hati) kepadanya.” (Qs. Al-Rahman [55]:1-4)
Bayân adalah ekspresi dan ucapan yang digunakan untuk mengungkap isi hati. Masalah bayân bukanlah semata-mata masalah formal dan sekedar ekspresi lisan. Allah Swt menganugerahkan seluruh nikmat eksistensial kepada manusia, sehingga nikmat tersebut dimanfaatkan secara maksimal, optimal dan pada tempatnya yang benar dan supaya mereka mengedepankan ajaran-ajaran al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan anugerah utama dan manusia dapat memanfaatkan nikmat ini dengan benar dan secara maksimal. Apabila manusia mengungkapkan gagasan dan mengekspresikan pikirannya dalam pancaran cahaya al-Qur’an maka hal itu akan sangat berguna bagi manusia.
Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Demikian juga memberikan keluasan untuk mendengar pemikiran orang lain dan memilih yang benar dari pikiran-pikiran tersebut. Karena dalam pemerintahan Islam, ruang dialog dan tukar pendapat terbuka lebar. Namun dengan syarat harus berdasarkan hikmah dan “mau’izah hasanah” serta tidak melanggar pemikiran dan keyakinan orang lain.
Teks al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang kebebasan berekspresi dan berdialog, “Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”[4]
Pada ayat ini terdapat beberapa poin asasi yang harus ditelisik sebagaimana berikut:
1. Kebebasan bersekspresi bagi seluruh hamba Tuhan karena pada ayat tersebut dinyatakan dengan redaksi “qaul” (perkataan) yaitu apa pun bentuk perkataan dan ucapan.
2. Perkataan dan kebebasan berekspresi dan berpikir tidak bersifat satu arah. Tentu saja ada dialog di dalamnya. Ada yang mendengar juga ada yang mengungkapkan pendapatnya. Pikiran-pikiran orang lain ditelaah kemudian memilih yang terbaik dari pikiran dan gagasan tersebut.
3. Para hamba yang memperoleh petunjuk adalah orang-orang yang mendengarkan pendapat, gagasan dan pikiran orang lain. Dan menerima pendapat, gagasan dan pikiran yang lebih unggul dan lebih baik. Demikianlah puncak kebebasan berekspresi dalam Islam yang mencakup seluruh manusia dengan syarat tidak menciderai dan melanggar batas-batas dan hak-hak orang lain.
5. Dialog seara damai
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan “berdialog secara damai” dengan Ahlulkitab dan hubungannya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut [29]:46)
Pada ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat Ilahi.
Al-Qur’an menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan cara yang sama, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]:108)
Mengingat penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka. Islam memandang perlu ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
6. Menerima Hak-hak kaum Minoritas
Berdasarkan teks al-Qur’an tiada paksaan dalam menerima agama. Hal ini menandaskan kebebasan dalam menerima keyakinan dan pikiran. Kebebesan seperti ini merupakan bentuk manifestasi keadilan sosial; sebagaimana warga Muslim lainnya, juga mencakup seluruh warga non-Muslim tanpa adanya diskriminasi.
Terkait dengan menunaikan keadilan, al-Qur’an menyatakan dalam bentuk khusus dengan menitahkan kepada kaum Muslimin untuk bersikap adil terhadap mereka, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”[5] Seluruh upaya, harus dilakukan bagi kaum Mukmin dan Muslim untuk meraih keridhaan dan kecintaan Allah Swt. Pada ayat ini, Allah Swt menyatakan cinta kepada orang-orang yang berlaku adil. Siapakah orang yang berlaku adil ini? Mereka adalah orang-orang yang berlaku baik dan adil kepada non-Muslim.
Sehubungan dengan Ahlulkitab, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw bahwa apabila engkau menunaikan dan berlaku adil terhadap mereka, “Jika mereka (orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.“ (Qs. Al-Maidah [5]:42)”
Rasulullah Saw dalam membela hak-hak warga dan menyediakan keamanan personal (dzhimma) menyebut mereka yang melanggar hak-hak mereka sebagai musuhnya. Sikap demikian merupakan puncak kepedulian dan pembelaan terhadap hak-hak warga non-Muslim. “Man adza dzimmiyan fa ana khashmuhu. Wa man kuntu khasmuhu khasamtuhu yauma al-qiyamah.” (Barang siapa yang mengganggu seorang dzhimma maka aku adalah musuhnya. Dan barang siapa yang menjadi musuhku maka ia juga akan menjadi musuhku kelak di hari Kiamat.”[6]
Para juris menjelaskan beberapa kaidah sekaitan dengan kebebasan-kebebasan personal non-Muslim. Dalam kaidah tersebut, hak-hak kedua belah pihak terjaga. Hubungan warga kota dengan yang lainnya demikian juga hubungan penguasa Islam terhadap mereka, pendeknya hubungan-hubungan sosial di antara mereka berasasakan pada penegakan dan penunaian keadilan. “Lahum ma lana wa ‘alaihim ma ‘alaina.” Apa yang diperuntukkan bagi kita demikian juga bagi mereka. Apa yang dikenakan bagi kita juga dikenakan bagi mereka.”[7]
7. Keadilan adalah Asas Hak-hak Sosial dalam Islam
Poros dan fokus seruan samawi dan silsilah dakwah para nabi adalah keadilan bagi umat manusia. Dalam dakwah para nabi, kita jumpai poin-poin common yaitu, setelah menyeru kepada Tuhan Yang Esa, dan menjauhi thagut (tiran) dalam masalah akidah, seruan para nabi adalah seruan keadilan sosial.
Keadilan sesuai dengan definisinya adalah persamaan dan kesamaan yang dirasakan oleh seluruh masyarakat. “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Supaya seluruh manusia merasakan keadilan dan menuaikan hak-hak warga, redaksi ayat dinyatakan dengan kalimat, “al-nas” (manusia). Keadilan merupakan sebuah kebenaran yang menjadi masterpiece seruan dan dakwa para nabi. Tugas para nabi adalah menunaikan keadilan bagi umat manusia tanpa memandang warna kulit, ras, suku bangsa, kaya, miskin, beriman, tidak beriman dan lain sebagianya. Berdasarkan keadilan, seluruh hak-hak warga akan dapat teralisir dengan baik. Karena keadilan merupakan substansi yang menata dan mengatur seluruh urusan dan pelbagai proses yang berkuasa dalam sistem kehidupan manusia. Meminjam ungkapan Dr. Muhammad Ammarah, “Peradaban Islam, semenjak berabad lalu, memandang dan mengamalkan hak asasi manusia tidak hanya sebagai hak asasi manusia (an sich) melainkan sebagai kewajiban Ilahi dan taklif syar’i manusia.” Sedemikian sehingga tidak dibenarkan bagi manusia (kaum Muslimin) mengabaikannya atau bertindak berlebihan atau memandang enteng masalah ini. Menjaga keselamatan jiwa, akal, agama, kehormatan, harta, negara, ilmu, keadilan, persamaan, kebebasan, partisipasi manusia dalam urusan-urusan kemasyarakatan melalui musyawarah, amar makruf dan nahi mungkar, bukan hanya masalah-masalah hak asasi manusia. Kewajiban-kewajiban ini adalah kewajiban-kewajiban Ilahiah dan tugas syar’i kaum Muslimin. Kewajiban ini tidak semata-mata dijalankan sesuai keinginan pribadi, kapan saja mau dilakukan dikerjakan dan kapan saja ingin ditinggalkan ditinggalkan begitu saja. Artinya kewajiban-kewajiban ini bukan semata-mata sebuah deklarasi atau maklumat saja, melainkan kesemua ini merupakan kewajiban Ilahi dan taklif syar’i yang harus dikerjakan. Mereka yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menunaikan kesemua ini, apabila tidak dikerjakan dengan baik, maka mereka akan dihukum dan ditindak.
8. Memberikan Perhatian terhadap Prinsip-prinsip Bersama
Islam adalah sebuah ajaran yang semenjak kemunculannya telah mempresentasikan slogan koeksistensi kepada seluruh penduduk dunia. Ajaran ini menyeru kepada Ahlulkitab, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. Ali Imran [3]:64)
Ayat ini merupakan salah satu ayat penting yang menyeru Ahlulkitab kepada persatuan. Argumentasi ayat mulia ini berbeda dengan model argumentasi ayat-ayat sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya, secara langsung menyeru kepada Islam, namun ayat ini menaruh perhatian pada poin-poin common antara Islam dan Ahlulkitab.
Al-Qur’an mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa apabila orang-orang tidak bersedia untuk bekerja sama denganmu untuk mencapai tujuan-tujuan sucimu, janganlah berlipat tangan dan berusahalah minimal pada tujuan-tujuan common, kalian dapat bekerja sama dengan mereka dan menjadikannya sebagai asas untuk merealisasikan tujuan-tujuan mulia kalian.[8]
9. Menafikan Rasialisme
Al-Qur’an, mencela segala jenis pemikiran rasialisme dan memandang bahwa seluruh manusia adalah anak dari satu ibu dan ayah dan tentu saja hampa keunggulan ras, kaum dan agama.
Al-Qur’an dalam pesan universalnya menolak rasialisme, berseru, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat [49]:13)
Salah satu prinsip penting koeksistensi secara damai adalah persamaan dan kesetaraan umat manusia. Karena rasialisme adalah ajaran yang memandang dirinya lebih superior dan mendorong penganutnya untuk menghina bangsa-bangsa lainnya yang akan menyebabkan munculnya pelbagai problematika bagi umat manusia. Perang Dunia Pertama dan Kedua merupakan contoh nyata dari pelbagai problematika ini.
Perbedaan warna kulit, ras, bangsa tidak akan menyebabkan keutamaan seseorang atas orang lainnya. Dalam pandangan al-Qur’an, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan salah satu ayat-ayat dam tanda-tanda kebesaran Tuhan. Perbedaan ini merupakan media untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Apabila seluruh manusia satu bentuk, satu warna dan memiliki satu corak, tinggi dan berat maka kehidupan manusia ini akan berujung pada chaos dan anarki.
Menurut al-Qur’an, manusia tidak memiliki keutamaan dan kemuliaan atas manusia lainnya kecuali dengan ketakwaan dan penghambaan kepada Tuhan. Seluruh manusia adalah entitas yang membentuk “keluarga manusia” dan “umat yang satu”, “Sebelumnya, manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:213)
Kebanyakan ayat-ayat al-Qur’an menyeru manusia dengan seruan seluruh manusia, seperti “Ya Bani Adam”[9] atau “Ya ayyuha al-insan”[10] Seruan-seruan dan ekspresi-ekspresi ini menandaskan bahwa kemanusiaan merupakan satu makna common di antara para penghuni jagad raya. Orang-orang dari pelbagai daerah tidak memiliki perbedaan dengan yang lainnya dari sisi kemanusiaan. Manusia sepanjang perjalanan sejarah dari sisi bahasa, warna kulit, ras, bangsa dan sebagainya adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam perspektif Islam, seluruh umat manusia merupakan putra-putri satu ayah dan ibu (Adam dan Hawa) dan segala perbedaan yang ada tidak akan menciderai kemanusiaan manusia ini.[11]
10. Dialog Secara damai
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan “berdialog secara damai” dengan Ahlulkitab dan hubungannya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an menyatakan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut [29]:46)
Pada ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat Ilahi.
Al-Qur’an menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan cara yang sama, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]:108)
Mengingat penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka. Islam memandang perlu ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
11. Menyambut Tawaran Damai
“...Kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:90)
Terdapat dua kabilah di antara kabilah-kabilah Arab bernama “Bani Dhamrah” dan “Asyja’”; Kabilah Bani Dhamrah menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin dan kaum Asyja’ juga merupakan mitra Bani Dhamrah.
Setelah beberapa lama kaum Muslimin menerima kabar bahwa kaum Asyja’ berjumlah tujuh ratus orang mendatangi batalyon Mas’ud bin Rujailah dekat Madinah. Rasulullah Saw mengutus beberapa orang wakil kepada mereka untuk mencari tahu tujuan mereka di tempat itu. Mereka menyatakan, “Kami datang untuk mengikat perjanjian damai dengan Muhammad Saw. Tatkala Rasulullah Saw mengetahui hal ini, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengantarkan banyak kurma sebagai hadiah kepada mereka. Kemudian menghubungi mereka dan mereka menyatakan bahwa kami tidak memiliki kemampuan untuk berperang melawan musuh-musuh Anda karena jumlah kami sedikit; dan juga tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk berperang melawan Anda karena daerah kami berdekatan dengan daerah Anda; karena itu kami datang untuk menandatangani perjanjian damai. Pada waktu itu, ayat yang disebutkan di atas turun dan memberikan instruksi penting kepada kaum Muslimin dalam masalah ini.[12]
12. Mendorong Perdamaian Internasional
Islam semenjak permulaan telah mencanangkan prinsip-prinsip perdamaian dan melalui jalan tersebut, Islam telah memuluskan perdamaian internasional dan koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama-agama dunia.
Dalam masalah ini cukup bagi kita mengetahui bahwa perdamaian (shulh) adalah ruh agama Islam. Sebagaimana yang telah disebutkan redaksi Islam derivasinya dari kata sa-la-m dan atas dasar itu mengandung makna keselamatan dan ketenangan; karena itu al-Qur’an menitahkan seluruhnya untuk memasuki wilayah “salam dan perdamaian”
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam wilayah keselamatan secara keseluruhan (baca: sempurna).” (Qs. Al-Baqarah [2]:208)
Sa-la-m lebih tinggi kedudukannya dan lebih lestari ketimbang perdamaian (shu-lh). Karena sa-la-m bermakna keselamatan dan keamanan serta tidak memiliki satu bentuk perdamaian yang bersifat temporal secara lahir.
Allah Swt menitahkan Rasulullah Saw bahwa apabila para musuhmu memasuki wilayah perdamaian dan condong kepadanya, maka engkau juga (Muhammad) memanfaatkan kesempatan itu dengan baik dan bersepakatlah dengan mereka, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah.” (Qs. Al-Anfal [8]:61)
Kecintaan Islam terhadap perdamaian yang terjalin di antara manusia sedemikian mendalam sehingga memberikan berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa boleh jadi berdasarkan perilaku damai kaum Muslimin, antara mereka dan para musuh akan menjalin hubungan persahabatan, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara musyrikin (melalui jalan Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Mumtahanah [60]:70)
Kelompok non-Muslim terbagi menjadi dua: Kelompok yang berdiri berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin, menghunus pedang di hadapan mereka, mengeluarkan kaum Muslimin dari rumah dan tempat kelahiran mereka secara paksa. Dan singkatnya, permusuhan dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin dinampakkan secara terang-terangan dalam ucapan dan perbuatan.
Taklif dan tugas kaum Muslimin dalam menghadapi kelompok ini adalah menghindar untuk menjalin apa pun bentuk hubungan. Contoh nyata dari persoalan ini adalah kaum musyrikin Mekkah, utamanya para pemimpin Quraisy; kelompok yang secara resmi menampakkan kebencian dan permusuhan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kelompok lainnya juga menolong mereka dalam hal ini.
Adapun kelompok kedua, meski mereka kafir dan musyrik, mereka tidak ada urusannya dengan kaum Muslimin. Kelompok ini tidak menampakkan kebencian juga tidak memerangi kaum Muslimin. Juga tidak melakukan tindakan pengusiran kaum Muslimin dari rumah dan kampung halaman mereka; bahkan sekelompok dari mereka mengikat perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Karena itu, kaum Muslimin harus bersikap loyal dengan mereka dan berusaha berlaku adil terhadap mereka. Contoh nyata dari kelompok ini adalah kaum Khuzai yang menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin.[13]
Singkatnya, sokongan terhadap perdamaian dan koekistensi secara damai dalam politik luar negeri merupakan program yang paling rasional dan paling dinamis dan Islam juga telah mencanangkan program seperti ini dan tetap mempersiapkan kekuatan untuk melakukan tindakan pembelaan (defence) pada kondisi-kondisi darurat.
Sedemikian pentingngnya perdamaian dan koeksistensi secara damai dalam Islam sehingga bahkan pada perhimpunan-perhimpunan kecil dan dalam mengatasi perbedaan-perbedaan keluarga juga menitahkan untuk berdamai dan bertoleran. “wa al-shulh khair.”[14]
Seluruh hal yang disampaikan di atas secara ringkas adalah sikap Islam terhadap masalah hak asasi manusia dan hak-hak warga negara, Muslim dan non-Muslimn, dalam masyarakat dan pemerintahan Islam. Sikap ini mengandung aturan paling mutakhir di dunia dewasa ini dan dengan lancang dapat dikatakan bahwa tiada satu pun maktab, school of thought dan lembaga-lembaga internasional yang terdapat di dunia yang mampu menunaikan hak asasi manusia seperti ini. Akhir kata, apabila seseroang dalam busana Islam, apakah ia merupakan aparat atau selain aparat, melanggar hak-hak warga maka perbuatannya tersebut termasuk sebagai kejahatan personalnya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. [IQuest]
[1]. (Qs. Al-Baqarah [2]:29)
هُوَ الَّذِیْ خَلَقَ لَکُمْ مَّا فِی الْأَرْضِ جَمِیْعًا
[2]. (Qs. Al-Maidah [5]:32)
«مَنْ قَتَلَ نَفْسَاً بِغَیرِ نَفْس أَوْ فَسَادَاً فِیالأَرْض فَکَأَنَما قَتَلَالناسَ جَمِیعَاً وَ مَنْ أَحْیاها فَکأَنَما أَحْیاالناس جَمِیعَاً»
[3]. Diadaptasi dari Indeks 1619 (Site: 1671).
[4]. (Qs. Al-Zumar [39]:18)
«فبشر عبادی الذین یستمعون القول فیتبعون احسنه، اولئک الذین هداهم الله و اولئک هم أولوا الألباب»
[5]. (Qs. al-Mumtahanah [60]:8)
«لا ینهاکم الله عنالذین لم یقتلوکم فیالدین و لم یخرجوکم من دیرکم و أن تبووهم و تقسطوا و إلیهم ان الله یحبالمقسطین»
[6]. Jâmi’ al-Shagir, Suyuthi, jil. 2, hal. 473, sesuai nukilan dari Fard wa Hukumat, Dr. Zaidan.
[7]. Ibid.
[8]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 2, hal. 450.
[9]. Redaksi “Ya Bani Adam”, disebutkan pada beberapa ayat al-Qur’an, ayat-ayat, 26, 27, 35 dan 171 surah al-A’raf (7) dan ayat 70 surah al-Isra.
[10]. Qs. Al-Infithar [82]:6; (Qs. Al-Insyiqaq [84]:60); dan kurang lebih 60 ayat lainnya.
[11]. Silahkan lihat, al-Nizhâm al-Dauli al-Jadid baina al-Wâqi’ al-Hâli wa al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana, hal. 542-543.
[12]. Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 4, hal. 54.
[13]. Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 31-32.
[14]. Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1619 (Site: 1671)