Advanced Search
Hits
6915
Tanggal Dimuat: 2010/04/24
Ringkasan Pertanyaan
Apakah Anda dapat menetapkan dan membuktikan hikmah Tuhan itu?
Pertanyaan
Tolong Anda tetapkan hikmah Tuhan itu? Tolong Anda tidak menggunakan satu pun sifat Tuhan sebagai pra-asumsi; misalnya bahwa Tuhan itu tidak membutuhkan atau bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan buruk kecuali Anda telah menetapkan sifat tersebut dengan sepenuhnya menggunakan argumentasi logis.
Jawaban Global

Para filosof dan teolog  menyodorkan beberapa cara dan metode untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan. Di antara cara dan metode tersebut adalah dalil-dalil rasional dan telaah pada penciptaan.

Dalam model pelbagai penalaran ini yang menjadi titik tekannya adalah menafikan tiadanya yang sia-sia dalam penciptaan dan juga bersandar pada gerakan semesta berdasarkan sistem dan tatanan ke arah satu tujuan pamungkas sehingga dengan demikian hikmah Tuhan akan ditetapkan.

Jawaban Detil

Kiranya kita harus mencermati bahwa memiliki makrifat dan pengetahuan terhadap sifat-sifat Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan pencerapan-pencerapan indrawi manusia. Namun demikian mengenal sifat-sifat Tuhan bukanlah sesuatu yang mustahil dan tidak dapat dijangkau.

Atas dasar itu ulama, baik filosof atau pun teolog menyodorkan beberapa cara dan metode untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan. Tentu saja  memanfaatkan cara dan metode ini akan mengantarkan kita kepada hasil yang ideal. Karena itu, di sela-sela pembahasan ini, kami akan menyebutkan beberapa metode dan cara tersebut.

Hanya saja sebelum mengulas pokok persoalan yaitu menetapkan hikmah dan kebijaksanan Tuhan ada baiknya kami mengemukakan beberapa poin yang dapat membantu untuk dapat memahami masalah ini dengan baik.

Poin pertama terkait dengan sifat tidak membutuhkan Tuhan.  Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa membutuhkan adalah salah satu tipologi eksisten atau entitas kontingen (mumkinat); mengingat bahwa seluruh kontingen membutuhkan sebab (sebab pengada [illat muhditsah] dan sebab pelestari [illat mubqiyah]). Namun setelah menetapkan kemestian wujud bagi Tuhan dan menafikan kontingen (mumkin) dari-Nya maka masalah membutuhkan terkait dengan Tuhan juga akan mentah dengan sendirinya.

Poin kedua bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Untuk menetapkan hal ini kita dapat menyebutkan beberapa dalil sebagai berikut:

Dalil pertama: Allah Swt tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela dan setiap pelaku yang tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela maka terjadinya perbuatan tercela baginya adalah absurd. Karena itu terjadinya perbuatan tercela atau menyandarkan perbuatan tercela kepada Tuhan juga bersifat absurd bagi Tuhan.

Adapun dalil untuk menetapkan premis minor: Seseorang yang mengerjakan perbuatan tercela memiliki salah satu motivasi-motivasi dan stimulasi-stimulasi berikut ini:

  1. Seseorang yang acuh-tak-acuh dan tidak mengenal takut; artinya ia tidak mengenal takut dari celaan orang lain, tidak takut terhadap azab neraka dan ia tidak mewajibkan dirinya menjadi seorang yang bertakwa. Motivasi seperti ini tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan bukanlah sosok yang melakukan perbuatan sia-sia yang siap melakukan perbuatan apa saja.
  2. Manusia bodoh dan dungu; artinya ia tidak mengetahui keburukan dan tercelanya perbuatan sehingga ia melakukannya. Motivasi seperti ini juga tidak memiliki makna bagi Tuhan; karena Allah Swt adalah Zat Mahamengetahui secara mutlak dan tiada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
  3. Mengetahui keburukan sebuah perbuatan namun karena adanya sifat membutuhkan yang membuatnya melalukan perbuatan buruk; seperti seseorang yang menenggak minuman keras. Motivasi seperti ini juga tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan adalah Zat yang Mahakaya secara mutlak dan Dia sama sekali tidak membutuhkan. 
  4. Manusia mengenal keburukan sebuah perbuatan namun ia terpaksa melakukannya; misalnya seorang penjahat yang terpaksa melaukan kejahatan. Motivasi seperti ini tentu saja tidak berlaku bagi Tuhan; karena tidak terdapat kekuasaan dan kekuatan yang lebih kuat dan lebih unggul melebihi kekuasaan dan kekuatan Tuhan sehingga dapat memaksannya melakukan suatu perbuatan, bahkan Dia adalah fa’âl mâ yasyah (Melakukan apa saja yang Dia ingini) dan fa’âl mâ yurid (Melakukan apa saja yang Dia kehendaki). Karena itu Allah Swt tidak memiliki movitasi untuk melakukan perbuatan buruk.

 

Adapun penetapan premis mayor: Allah Swt adalah pelaku mandiri dan sepanjang pelaku mandiri tidak berkuasa atas segala sesuatu dan tidak memiliki motivasi  atas perbuatan tersebut maka tidak akan pernah menjadi illat tammah (sebab tuntas) dan sepanjang tidak mencapai illat tammah (sebab tuntas) maka mustahil akan lahir sebuah perbuatan. Nah terkait dengan perbuatan buruk meski terdapat kekuatan yang merupakan salah satu rukun atas lahirnya sebuah perbuatan, namun tidak terdapat motivasi yang merupakan rukun lainnya maka mustahil lahir perbuatan buruk dari Tuhan.

Masalah ini terkait dengan hal-hal buruk namun terkait dengan hal-hal baik dan mengandung kemaslahatan Tuhan di samping memiliki kekuatan juga memiliki motivasi.[1]

 

Beberapa Makna Hikmah

Hikmah secara leksikal bermakna ‘adl (adil), itqân (kukuh) dan lain sebagianya. Mengikut kamus, gelar hakîm dilekatkan bagi orang yang menunaikan seluruh urusannya dan kegiatannya hingga tuntas dengan kukuh.[2]

Hikmah secara teknikal terminologis juga disebutkan memiliki dua makna:

  1. Mengenal hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.
  2. Mengerjakan sebuah perbuatan dengan baik, sempurna, dan sesuai dengan kemaslahatan seluruh entitas dan ciptaan.
  3.  

Allah Swt adalah Hakim (Mahabijak) dalam dua pengertian dan makna di atas; karena makrifat-Nya terhadap segala sesuatu merupakan makrifat yang paling sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya juga dikerjakan dengan paling kukuh dan kuat.[3]

Adapun dalil-dalil untuk menetapkan sifat hikmah bagi Allah Swt ini dapat dilakukan dengan beberapa jalan di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Dalil Rasional:

Di antara makna hikmah adalah bahwa perbuatan-perbuatan Allah Swt berada pada puncak rasionalitas dan amat sangat logis. Setiap perbuatan yang dilakukan bukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu merupakan hal yang sia-sia di hadapan seluruh orang-orang yang berakal budi. Perbuatan sia-sia adalah buruk dan tercela di sisi orang-orang berakal sehat. Hal ini telah ditetapkan sebelumnya bahwa perbuatan buruk mustahil dapat dilakukan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana. Karena itu perbuatan sia-sia  mustahil dan tentu tidak dapat dilakukan oleh Allah Swt.[4]

Adapun disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan memiliki tujuan hal itu tidak bermakna bahwa tujuan tersebut secara esensial (dzati) kembali kepada Tuhan; karena sebagaimana yang telah disebutkan bahwa zat Tuhan adalah sempurna dan tidak memerlukan perbuatan-perbuatan seperti ini serta sejatinya tujuan-tujuan ini kembali dan berpulang kepada makhluk-makhluk.

Hal ini dapat dijelaskan lebih jauh bahwa terkadang seorang pelaku perbuatan melakukan sebuah perbuatan maka tujuannya kembali kepada dirinya sendiri dan terkadang melakukan sesuatu untuk berbagi dan menyampaikan manfaat kepada seseorang. Apabila tujuan termasuk pada jenis pertama maka hal tersebut merupakan tujuan untuk meraih kesempurnaan (istikmâli) dan tentu saja tidak tepat dan benar dilekatkan pada Allah Swt; karena hal itu merupakan pertanda adanya kekurangan dan cela sang pelaku perbuatan. Tentu saja Allah Swt suci dari segala bentuk kekurangan dan cela. Namun apabila tujuan yang disasar termasuk pada jenis kedua maka ia adalah kesempurnaan itu sendiri dan bersumber dari kesempurnaan pelaku.

Allah Swt memiliki selaksa sifat-sifat yang kita kenal sebagai sifat-sifat keindahan (jamâl) dan kesempurnaan (kamâl); seperti berilmu, berkuasa, menghendaki kebaikan dan lain sebagainya. Oleh itu, Entitas yang menyandang sifat-sifat seperti ini harus mengeluarkan dan mengkreasi sistem terbaik dan paling bijak karena selain dari itu maka harus dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat-sifat seperti ini, padahal tidak demikian adanya. Karena itu Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat keindahan dan kesempurnaan ini.

 

  1. Menelaah pada Âfâk dan Anfus

Allah Swt senatiasa menyeru manusia untuk merenung dan berpikir tentang alam semesta dan tentang dirinya. Allah Swt memandang bahwa salah satu jalan untuk memahami dan meraih makrifat adalah dengan cara seperti ini.[5]

Dalam hal ini harus dikatakan bahwa perbuatan sebagaimana ia menunjukkan pada pelaku (fâ’il) perbuatan, ia juga menunjukkan pada tipologi yang dimilikinya; artinya setelah mencermati pelbagai tipologi perbuatan maka kita akan memahami sifat yang disandang oleh pelaku perbuatan itu. Sejatinya dengan cara seperti ini kita akan dapat memahami sesuatu dari akibat (atsar) kepada muattsir (sebab).

Melakukan kontemplasi dan renungan tentang semesta dan pelbagai fenomena alam ini maka kita dapat melihat dengan jelas dan terang adanya kekukuhan, mekanisme, dan pelbagai keteraturan yang akurat di antara seluruh bagian-bagian yang terdapat di semesta raya. Menyaksikan pelbagai fenomena dan lintasan kesempurnaannya yang memiliki tujuan dengan memperhatikan pelbagai perbedaan yang ada di antara seluruh entitas dari sudut pandang yang berbeda-beda,[6] akan memandu kita pada sosok Sang Pencipta yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabijaksana.

Adanya keanekaragaman dalam hidup merupakan dalil lainnya atas hikmah, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Dengan adanya satu tujuan universal yang merupakan sasaran dan tujuan-tujuan seluruh kehidupan, segala sesuatu juga memiliki tujuan untuk dirinya sendiri-sendiri yang masing-masing diciptakan untuk sampai pada tujuan tersebut. Hal tersebut disertai dengan hal-hal lainya dalam melintasi jalan kesempurnaan; misalnya bumi yang melepaskan dahaganya dengan curahan air hujan. Air adalah air dan bumi adalah bumi itu sendiri namun tumbuh-tumbuhan tumbuh berkembang dari bumi dengan air ini dan pada warna, rasa dan manfaatnya juga yang masing-masing memiliki tujuan penciptaan sendiri-sendiri berbeda dengan tumbuh-tumbuhan lainnya. Setiap tumbuhan diciptakan dengan tujuan tertentu dan seiring sejalan dengan tumbuhan lainnya untuk melintasi kesempurnaan.[7]

Karena itu, dengan memperhatikan apa yang telah disinggung di atas baik dari sudut pandang dalil-dalil rasional dan pendukung-pendukung lainnya harus dikatakan bahwa hikmah Allah Swt adalah menyampaikan seluruh enititas dan makhluk kepada kesempurnaannya masing-masing yang layak diraihnya. Demikian juga, Allah Swt itu Mahabijak bermakna bahwa perbuatan-Nya memiliki tujuan namun bukan untuk diri-Nya.

Akhir kata, hikmah setiap makhluk dan entitas memiliki tujuan yang terpendam dalam esensi setiap makhluk dan ketika kita berkata Allah Swt itu Mahabijaksana artinya adalah bahwa Dia yang memotivasi seluruh makhluk dan entitas kepada tujuan-tujuan natural dan penciptaannya.[8] [iQuest]

 


[1]. Muhammad Ali, Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 213, Dar al-Fikr, Qum, Cetakan Keempat, 1378 S.  

[2]. Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 12, hal. 140, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H.  

[3]. Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 196.  

[4]. Ibid, hal. 216.  

[5].  “Dan Dia-lah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Setelah itu Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur. Dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.
 (Qs. Al-An’am [6]:99); “Sesungguhnya dia langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:3)   

[6]. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta bahasa dan warna kulitmu yang beraneka ragam. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Qs. Al-Rum [30]:22)

[7]. Tafsir Hidâyat, jil. 3, hal. 130, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.  

[8]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 1, hal. 194, Intisyarat Shadra, Teheran.

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    259834 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    245601 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    229507 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214293 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    175603 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    170983 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    167401 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    157465 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140313 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    133542 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...