Rumah Kabah didirikan oleh Nabi Adam As kemudian mengalami kerusakan pada peristiwa taufan Nabi Nuh As dan lalu dibangun kembali oleh Nabi Ibrahim Khalil As. Imam Ali As dalam Nahj al-Balaghah bersabda tentang hal ini, “”[1] (Khutbah Qasiah)

Ibnu Syahr Asyub meriwayatkan dari Amirul Mukminin As terkait dengan makna ayat, “Inna awwala baitin wudhi’a linnas” dalam menjawab pertanyaan seseorang yang berkata, “Apakah Kabah ini adalah rumah?” Imam Ali As menjawab, “Tidak. Sebelum Kabah masih ada rumah-rumah yang lain. Namun Kabah merupakan rumah pertama yang mengandung berkah yang dibangun demi manusia. Kabah adalah sebuah rumah yang terdapat di dalamnya hidayah, rahmat dan keberkahan. Orang yang pertama kali membangun rumah itu adalah Ibrahim dan setelah itu sebuah kaum Arab bernama Jahram yang membangunnya namun perjalanan waktu yang kembali menghancurkan Kabah, kemudian Amalaqah membangunnya untuk yang ketiga kalinya. Dan untuk keempat kali kaum Quraisy yang melakukan rekonstruksi bangungan tersebut.[2]

Selepas itu pemangku jabatan pengurusan Kabah jatuh di tangan Qasha bin Kilab, salah satu datuk Rasulullah Saw (yaitu abad kedua sebelum Hijriah). Qasha merusak bangunan tersebut dan melakukan renovasi yang lebih kukuh dan menutup blok-bloknya dengan kayu (pohon yang mirip pohon kurma) dan bangunan ini tetap utuh hingga Abdullah bin Zubair pada masa Yazid bin Muawiyah berkuasa di tanah Hijaz dan Yazid mengutus salah seorang panglima perangnya bernama Hushain untuk merusak Kabah dan berdasarkan pengaruh perang dan lontaran batu-batu besar yang dilemparkan ke kota Mekah oleh pasukan Yazid dengan manjanik (semacam ketapel) sehingga dengan serangan ini Kabah hancur dan api-api yang dilontarkan ke arah kota dengan manjanik membuat kain Kabah dan bagian dari kayu-kayunya terbakar. Setelah dengan kematian Yazid perang berakhir, Abdullah bin Zubair kemudian berpikir untuk menghancurkan Kabah dan membangunnya kembali. Karena itu, ia memerintahkan kapur yang baik dikirimkan dari Yaman dan membangun Kabah dengan kapur dari Yaman. Abdullah bin Zubair membangun Kabah dengan kapur dan menjadikan hajar Ismail sebagai bagian dari Kabah yang tadinya berada pada tempat yang tinggi, Abdullah Zubair kemudian merendahkannya. Ia pun menambahkan sebuah pintu baru sehingga masyarakat dapat masuk melalui satu pintu dan keluar dari pintu lainnya. Tinggi Kabah adalah 27 hasta (kurang lebih 13.5 meter) dan karena pekerjaan restorasi Kabah telah usai, jalan keluar dan masuk Kabah disemerbaki dengan kesturi dan farfum yang harum dan menutupinya dengan kain sutra. Pada tanggal 17 Rajab 64 Hijriah Abdullah bin Zubair menyelesaikan pekerjaannya ini.

Setelah Abdullah Malik Marwan naik tampuk kekuasaan, Hajjaj bin Yusuf menghancurkan rumah yang dibangun oleh Abdullah bin Zubair dan mengembalikan bentuknya seperti sedia kala. Hajjaj merusak dinding Kabah dari sisi Utara enam hasta dan satu jengkal dan sampai pada asas bangunan kaum Quraisy dan bangunannya ia dasarkan dengan asas kaum Quraisy. Pintu Timur Kabah yang diturunkan oleh Ibnu Zubair ditempatkan pada tempatnya semula (kira-kira satu meter setengah atau dua meter lebih tinggi dari jengkal) dan menutup pintu Barat yang ditambahkan oleh Abdullah bin Zubair. Kemudian membentangkan karpet di atas lantai (tanah) Kabah yang tadinya dipenuhi dengan bebatuan.

Kondisi Kabah tetap bertahan dengan cara seperti ini hingga Sultan Sulaiman Usmani menduduki pemerintahan pada tahun 690. Ia mengganti atap Kabah dan tatkala pada tahun 1221 Ahmad Usmani naik pucuk pemerintahan, beberapa perbaikan dilakukan. Dan ketika banjir bandang pada tahun 1309 merusak sebagian dinding bagian Utara, Timur dan Barat, Sultan Murad IV, salah satu raja Alu Utsman memerintahkan supaya bagian yang rusak tersebut diperbaiki dan Kabah setelah itu tidak lagi diutak-atik bangunannya.[3]

Sehubungan dengan kelahiran Imam Ali As dalam Kabah tiada seorang pun yang mengingkari peristiwa ini. Seluruh kaum Muslimin, baik Syiah atau Sunni menerima “mukjizat” ini dan dalam litetarur-literatur standar Syiah disebutkan bahwa Yazid bin Qa’nab berkata, “Saya duduk bersama Abbas bin Abdul Muthhalib dan sebagian Abdul Uzzah di depan Kabah dan kemudian pada saat itu Fatimah bin Azad, ibu Amirul Mukminin Ali As yang hamil sembilan bulan datang dan merasakan sakit ingin melahirkan; ia berkata lirih, “Tuhanku! Saya beriman kepadamu dan kepada apa yang datang dari sisi-Mu; saya beriman kepada para rasul dan kitab-kitab serta membenarkan sabda datukku Ibrahim Khalil As dan dialah yang membangun rumah tua ini. Demi yang membangun rumah ini dan demi bocah yang berada dalam kandunganku ini, mudahkanlah proses kelahirannya bagiku.” Yazid bin Qa’nab berkata, “Kami melihat dengan mata kepala sendiri bahwa rumah Allah tersingkap dari belakang dan Fatimah masuk ke dalamnya kemudian menghilang dari pandangan kami. Dinding Kabah kembali tertutup. Kami ingin membuka gembok pada rumah Allah namun tidak dapat terbuka. Kami tahu bahwa urusan ini merupakan urusan Allah Swt dan setelah empat hari, Fatimah keluar dan membawa Amirul Mukminin dalam gendongannya. Fatimah lalu berkata saya memiliki keutamaan atas seluruh wanita pada masa lalu; karena  Asiyah binti Muzahim menyembah Tuhan secara diam-diam di tempat yang seharusnya Tuhan tidak disembah kecuali terpaksa. Adapun Maryam binti Imran menggerak-gerakkan pohon kurma kering sehingga dapat memetik kurma segar dan memakannya. Sementara saya memasuki rumah Allah dan menyantap buah surgawi dan tatkala saya ingin keluar sebuah ilham menyampaikan pesan, “Wahai Fatimah! Berikanlah nama Ali bagi anakmu karena dia adalah Ali. Allah A’la (Yang Mahatinggi) berfirman,”Namanya Aku ambil dari nama-Ku dan mengajarkannya adab kepadanya dari adab-Ku. Kepelikan ilmu-Ku Aku ajarkan kepadanya. Ia menghancurkan berhala-berhala di rumah-Ku dan dialah yang membacakan adzan di pelataran rumah-Ku. Ia memuja dan memuji-Ku. Alangkah bahagianya mereka yang mencintai dan menaatinya. Alangkah celakanya orang yang memusuhi dan membangkang perintahnya.”[4]

Di kalangan Ahlusunnah juga terdapat banyak ulama  yang menegaskan peristiwa ini dan menyebutnya sebagai sebuah keutamaan yang tiada bandingnya. Sebagai contoh, Hakim Naisyaburi dalma Mustadrak berkata, “Dalam khabar-khabar mutawatir disebutkan bahwa Fatimah binti Asad melahirkan Imam Ali dalam rumah Kabah.”[5]

Demikian juga Sa’idi sesuai dengan nukilan dari Shihah Sittah Ahlusunnah berkata, “Sesuai dengan sebuah pendapat, Imam Ali As pada hari Jumat, 13 Rajab, 30 tahun setelah Tahun Gajah berlalu dan 23 tahun sebelum hijrah Rasulullah Saw, lahir di Mekkah al-Mukarramah di dalam rumah Kabah. Sesuai dengan pendapat lain, Imam Ali lahir pada masa 25 tahun setelah Tahun Gajah dan dua belas tahun sebelum bi’tsat (pengutusan resmi Rasulullah Saw). Dan sesuai dengan pendapat lainnya, Imam Ali lahir pada masa sepuluh tahun sebelum bi’tsat dan sebelum Imam Ali As tiada satu pun anak yang pernah lahir di rumah Kabah.[6]

Dengan memperhatikan beberapa hal ini maka menjadi jelas bahwa Syiah dan Sunni meyakini bahwa mukjizat tersingkapnya Kabah merupakan suatu hal yang pasti dan Imam Ali As di dalam Kabah. Karena itu, dengan memperhatikan adanya perusakan dan perbaikan bangunan Kabah pada tahun-tahun pasca kelahiran dan masa hidup Imam Ali As secara natural bekas tersingkapnya dinding Kabah setelah dimasuki oleh Fatimah tentu telah sirna dan hal ini merupakan sebuah hakikat yang tidak dapat diingkari oleh siapa pun. Tiada seorang pun dari pihak Syiah yang mengingkari kenyataan ini. Namun apa yang dikembangkan kemudian oleh Syiah adalah bahwa mukjizat ini bersumber dari seseorang yang satu-satunya lahir di Kabah dan Syiah memiliki kebanggaan dan kehormatan mengikutinya. Adapun bekas tersingkapnya masih ada atau tidak, atau hilang diakibatkan oleh adanya rekonstruksi bangunan Kabah bukanlah hal yang penting. Karena yang penting adalah kemukjizatan tersingkapnya Kabah yang secara pasti pernah terjadi dan literatur-literatur Syiah dan Sunni banyak menjelaskan peristiwa ini. [iQuest]

 


[1]. Sayid Radhi, Nahj al-Balaghah, Khutbah Qasiah.

[2]. Sayid Hasyim Bahrani, Tafsir al-Burhân, jil. 1, hal. 661, Hadis 36, Bunyad Bi’tsat, Cetakan Pertama, Teheran, 1416 H.

[3]. Sayid Baqir Musawi Hamadani, Terjemahan Persia al-Mizan, jil. 3, hal. 555, Jamiah Mudarrisin, Qum, 1374 S.

[4]. Syaikh Shaduq, Âmâli, terjemahan Persia oleh Kumeri, hal. 133, Nasyir Islamiyah, Cetakan Keenam, Teheran, 1376 S.

[5]. Muhammad Hakim Naisyaburi, Mustadrak ‘ala Shahihain, jil. 3, hal. 483, Nasyir Dar al-Ma’rifah, Cetakan Kedua, Beirut, 1406 H.  

[6]. Muhammad Baqir Sa’idi, Fadhâil Panj Tan As dar Shihâh Syisgâneh Ahlusunnah, jil. 1, hal. 304, Firuz Abadi, Cetakan Pertama, Qum, 1374 S sesuai nukilan dari Nur al-Abshâr, hal. 69.