Please Wait
16524
Dalam ajaran Islam, kaum wanita menempati kedudukan yang sangat bernilai dan pada riwayat-riwayat nabawi dan para Imam Maksum As disebutkan pujian dan pemuliaan untuk kaum wanita. Dalam sebagian riwayat, wanita shaleha diperkenalkan sebagai sumber kebaikan, berkah dan harta yang paling berharga di dunia. Demikian juga larangan untuk menyiksa kaum wanita sedemikian buruk sehingga kaum pria yang melakukan perbuatan ini dipandang sebagai seburuk-buruk makhluk.
Hanya pada satu perkara saja dikecualiakan yaitu kaum wanita yang tidak mengindahkan hak-hak suaminya dan tidak menyediakan persiapan-persiapan lainnya dalam mengarahkan bahtera rumah tangga ke arah yang diidamkan. Sikap nusyuz kaum wanita dan izin untuk menghajar model wanita seperti ini disebutkan pada ayat 34 surah al-Nisa.[i]
Pada permulaan ayat ini dijelaskan sifat-sifat wanita terhormat dan taat. Kemudian Allah Swt menjelaskan tugas-tugas suami yang ada kemungkinannya melalukan perbuatan yang tidak terhormat (nusyuz). Tingkatan pertama adalah memberikan wejangan dan nasihat terhadap model wanita seperti ini. Tingkatan kedua menjauh dari pembaringan mereka yang sedikit lebih keras dibandingkan dengan tingkatan pertama dan kemudian tingkatan ketiga mengemuka masalah memukul dan menghajar wanita yang bersikap seperti ini. Terkait dengan persoalan ini kita harus memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Tingkatan ini merupakan tingkatan terakhir dan suatu hal yang wajar apabila tingkatan pertama dapat menyelesaikan persoalan maka giliran tingkatan berikutnya tidak akan kesampaian.
2. Hukuman fisik; sesuai dengan kitab-kitab fikih, harus enteng dan ringan serta tidak menyebabkan cedera dan luka fisik.
3. Hukuman fisik; juga memiliki tingkatan tersendiri dan bahkan pada riwayat disebutkan memukul dengan menggunakan kayu miswak. Karena itu apabila tingkatan-tingkatan pendahuluan dapat menyelesaikan persoalan maka tingkatan berikutnya tidak boleh dilakukan.
4. Masalah ini tidak terkhusus pada wanita saja dan pada masalah nusyuz kaum pria, hakim syar'i berkewajiban memperkenalkan tugas-tugas kaum pria melalui ragam jalan dan bahkan melalui jalan cambuk (cemeti, hukuman fisik).
[i]. "Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara rahasia dan hak-hak suami ketika suaminya tidak ada, lantaran hak-hak yang telah Allah tetapkan bagi mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka, berpisahlah dengan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Sebelum menguraikan pandangan para mufassir bertalian dengan redaksi ayat "wadhribuhunna" (Dan pukullah mereka [wanita]) pada ayat nusyuz kiranya kita perlu menyinggung kedudukan dan nilai seorang wanita dalam pandangan Islam. Dalam ajaran Islam kedudukan dan nilai kaum wanita dan istri sangat tinggi dan bernilai. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam sebagian riwayat yang memuji kedudukan mereka. Imam Ja'far Shadiq bersabda, "Kebaikan yang melimpah telah diletakkan pada wujud kaum wanita."[1] Pemimpin dan Imam Keenam Syiah mengklasifikasi wanita menjadi wanita baik (shâleh) dan wanita buruk (thâleh). Terkait dengan wanita yang baik, Imam Shadiq bersabda: "Nilai wanita semacam ini lebih tinggi dari emas, perak dan permata yang lain. Dan tiada satu pun permata yang berharga di hadapan nilai wanita (shaleh)."[2] Demikian juga Rasulullah Saw bersabda, "Dunia ini sekedudukan sebagai harta dan sebaik-baik harta benda yang diperoleh adalah wanita yang baik budi pekertinya."[3]
Sabda-sabda berharga para maksum ini menyinggung sebagian dari nilai kaum wanita dan keberadaannya merupakan sumber mata air kebaikan dan keberkahan. Nilai keberadaan dan spiritualitas mereka diproklamirkan sebagai lebih bernilai dan berharga daripada emas dan permata.
Larangan Memukul Wanita
Hukum Islam terkait dengan masalah ini mengajak kita untuk memperhatikan beberapa poin penting; mengingat hukuman fisik dan menciderai ruh kaum wanita dipandang sebagai tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kaum wanita sebagaimana kaum laki-laki merupakan entitas dan makhluk mulia. Karena itu, memukul manusia (baik wanita atau laki-laki) tidak dapat ditolerir dan mereka memiliki hati-hati yang lembut dan qalbu pengasih, mereka adalah makhluk dan entitas mulia dan badan mereka tidak sebagaimana badan hewan yang mampu menahan pukulan dan hantaman. Karena itu, Islam melarang untuk memukul dan menghajar mereka. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda: "Ayyunannas! Berhati-hatilah dengan istri-istri kalian. Karena mereka dititipkan kepada kalian bersama dengan janji-janji Ilahi dan mereka halal bagi kalian dengan mengucapkan beberapa kalimat-kalimat suci Tuhan. Apakah pantas amanah ini kalian lukai dan cederai? Apakah layak hati-hati mereka yang merupakan mahligai cinta dan kasih sayang kalian sakiti?"[4]
Demikian juga, Rasulullah Saw bersabda, "Salah satu alamat seburuk-buruk laki-laki adalah memukul istri dan budaknya. Tidak menunjukkan kasih dan kelembutan kepada mereka."[5]
Adapun sebagian wanita yang tidak mengindahkan hak-hak suaminya, memandang enteng dalam masalah pelayanan seksual dan keluar rumah tanpa seizing suaminya, dengan akhlak tercelanya ia merubah institusi rumah tangga yang merupakan institusi cinta dan ketenangan menjadi neraka dan dengan campur tangan yang tidak pantas dalam kehidupan pribadi suaminya, mereka mengganggu suaminya. Sebagian wanita ini telah dikecualikan dalam pandangan Islam. Wanita model seperti ini dipandang tidak memiliki nilai dalam Islam dan Islam mencela wanita semacam ini. Rasulullah Saw bersabda, "Seburuk-buruk sesuatu di alam semesta adalah wanita nusyuz."[6]
Dalam bahasa al-Qur'an, hadis dan fikih Islam, wanita model seperti ini disebut sebagai "nusyuz" yang akarnya berasal dari sifat angkuh dan memandang diri lebih super. Sebagai kesimpulannya, wanita model seperti ini dikecualikan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati suami dan menjadikan kehidupan bagi suaminya bagai pil pahit yang harus ditelan. Agama suci Islam memperkenalkan cara-cara rasional untuk memperbaiki dan menghukum orang-orang seperti ini. Al-Qur'an, pada ayat ini (ayat nusyuz) yang termaktub pada surah al-Nisa, menjelaskan beberapa poin indah dan subtil terkait dengan hubungan suami-istri dan masalah rumah tangga. Dan syukurlah, ilmu modern hari ini mampu menyingkap dan menjelaskan sebagian dari rahasia-rahasia tersebut.
Pada hakikatnya ayat ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah al-Qur'an, meski seluruh al-Qur'an dari pelbagai dimensi mengandung mukjizat.
Jelas bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga dan khususnya hubungan suami istri memiliki seni dan keunikan tersendiri dimana terkadang cinta dan kasih diekspresikan dalam bentuk marah dan terkadang luapan amarah diartikulasikan dalam bentuk cinta dan kasih. Hanya saja untuk menjaga demarkasi antara keduanya, kapan harus mengekspresikan cinta dan kapan harus mengartikulasikan marah, bukan merupakan sebuah pekerjaan yang mudah dilakukan oleh siapa saja. Karena itu, filosof, sosiolog, pakar pendidikan, psikoanalis telah berupaya untuk memahami hal ini dan atas upaya tersebut, mereka banyak melahirkan karya-karya ilmiah dalam bidang ini.
Namun di sinilah seninya al-Qur'an dan riwayat-riwayat Rasulullah Saw dan Ahlulbait As yang menjelaskan pijakan, sandaran, aturan universal, poin penting dan kebutuhan asasi manusia dengan bahasa simpel, sederhana, indah dan dapat dipahami dan diamalkan dengan mudah oleh siapa saja. Dan aturan-aturan dasar ini dipersembahkan kepada semua manusia.
Dalam mengkaji secara utuh dan teliti ayat 34 surah al-Nisa kita harus menyebutkan banyak hal di dalamnya. Namun secara ringkas dapat dikatakan bahwa ayat ini setelah menjelaskan bahwa tugas mengepalai rumah tangga, mengelola dan menyediakan biaya hidup dan keluarga berada di pundak kaum laki-laki. Adapun tugas-tugas kaum wanita dalam keluarga diklasifikasikan dalam dua bagian:
Bagian pertama: "wanita shaleha"[7] adalah kaum wanita yang tunduk dan well-committed di hadapan institusi keluarga. Ia tidak hanya menjaga dirinya ketika di hadapan suaminya namun juga pada saat suaminya bepergian atau tidak ada. Jelas bahwa kaum laki-laki memiliki tugas untuk menghormati dan menunaikan hak-hak wanita shaleha semacam ini.
Bagian kedua: Kaum wanita yang mengabaikan tugas-tugasnya dan tanda-tanda nusyuz nampak jelas dan menggejala dalam diri mereka. Al-Qur'an menjelaskan tugas-tugas kaum pria dalam menghadapi wanita semacam ini bahwa pria harus melewati tingkatan demi tingkatan dan yang penting adalah ia harus berhati-hati untuk tidak bertindak aniaya dan berlaku tidak adil. Tugas-tugas pria secara runut yang dijelaskan secara berurutan dan bertingkat pada ayat nusyuz adalah sebagai berikut:
Tingkatan pertama, "Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka."[8] Dengan demikian, bagi wanita-wanita yang tidak mengindahkan kehormatan keluarga, sebelum segala sesuatunya, kaum pria diminta untuk memberikan nasihat kepada mereka dengan penuh persahabatan dan menjelaskan pelbagai konsekuensi buruk yang bisa saja muncul dari perbuatannya serta mengingatkan tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang istri.
Tingkatan kedua, "(Apabila nasihatmu tidak berguna baginya) maka menjauhlah dari pembaringan mereka."[9] Reaksi semacam ini, bersikap acuh (terhadapnya) atau menunjukkan rasa tidak senang, merupakan alamat ketidakrelaan pria atas perilaku istrinya dan boleh jadi reaksi ringan seperti ini berpengaruh pada diri wanita.
Tingkatan ketiga: "Wadhribuhunna." (Dan pukullah mereka) Apabila pembangkangan dan penodaan terhadap tugas dan tanggung jawabnya telah melintas batas toleransi dan tetap saja ia memilih untuk keras kepala dengan menginjak-injak tugas dan tanggung jawabnya, nasihat tidak ada gunanya, berpisah dari tempat tidur juga tidak berpengaruh, maka tidak tersisa lagi jalan kecuali dengan meningkatkan intensitas tindakan. Di sini kaum pria dibolehkan untuk menghukum secara fisik demi menjalankan tugasnya sebagai seorang suami.
Boleh jadi sebuah kritikan mengemuka bahwa bagaimana Islam memberikan izin kepada kaum pria untuk menghukum secara fisik kaum wanita? Jawaban atas kritikan ini tidak terlalu sulit dengan memperhatikan makna ayat dan riwayat serta penjelasannya pada kitab-kitab fikih dan demikian juga pelbagai penjelasan psikolog modern. Hal ini dikarenakan:
Pertama, ayat membolehkan hukuman fisik bagi orang-orang yang tidak mengenal dan menjalankan tugasnya tatkala cara-cara yang lain tidak lagi berguna. Dan kebetulan masalah ini bukan merupakan masalah baru yang terbatas pada Islam saja. Pada seluruh aturan dan hukum yang berlaku di dunia, tatkala satu pihak dengan menggunakan media damai tidak mampu membuat pihak lainnya menunaikan tugasnya maka ia dapat menggunakan alat-alat kekerasan.
Kedua: "Hukuman fisik" di sini – sebagiamana yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih – harus dilakukan dengan pelan dan ringan sedemikian sehingga tidak berujung pada pencideraan dan pelukaan fisikal.
Ketiga: Para psikoanalis modern meyakini bahwa sebagian wanita memiliki kondisi masochism (kesenangan kalau disiksa) dan apabila kondisi sedemikian semakin tinggi intensitasnya maka satu-satunya jalan untuk menenangkan mereka adalah dengan memukul badannya. Karena itu, bagian ayat ini boleh jadi menyoroti wanita seperti ini dimana pemukulan enteng fisik bagi mereka akan mendatangkan ketenangan dan pemukulan ini sendiri sejatinya merupakan sejenis pengobatan mental. Adapun yang diinginkan Islam, dengan menuliskan resep berupa wejangan, menunjukkan sikap tidak senang dan hukuman fisik yang ringan, adalah untuk mengobati orang-orang penderita penyakit ini. Bukan mengeluarkan hukuman cerai yang boleh jadi semakin memperparah sakit mereka dan membuat anak-anak terjauhkan dari anugerah berupa ketentraman dan ketenangan keluarga serta meruntuhkan tatanan keluarga yang merupakan pranata utama masyarakat.
Jelas bahwa apabila salah satu dari tingkatan ini berpengaruh dan kaum wanita kemudian sadar lalu menunaikan tugas-tugasnya, maka kaum pria tidak memiliki hak untuk mencari dalih untuk menyusahkan wanita. Karena itu sebagai kelanjutan dari ayat di atas, disebutkan, "Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya." (Qs. Al-Nisa [4]:34)
Poin yang harus mendapat perhatian di sini adalah bahwa kendati batas maksimal hukuman fisik belum sampai, yang ditetapkan yaitu tidak menciderai dan melukai, akan tetapi mengingat tujuan memukul dan menghajar yaitu supaya kaum wanita mentaati dan melenyapkan sikap nusyuz pada diri wanita, karena itu runutan dan urutan tingkatan hukuman harus dijalankan. Dan apabila tujuan dan maksud telah tercapai dengan memukul dengan enteng, maka tidak dibenarkan bagi kaum pria untuk memukul lebih keras dan boleh jadi riwayat yang menyatakan bahwa maksud memukul dengan miswak[10] adalah menjelaskan tingkatan urutan dan runutan pukulan dimana apabila tujuan dan maksud untuk melenyapkan sikap nusyuz pada wanita telah tercapai maka tidak dibenarkan untuk melangkah pada tingkatan selanjutnya.
Boleh jadi disebutkan bahwa pembangkangan dan pelanggaran semacam ini juga dilakukan oleh kaum pria karena itu apakah kaum pria juga dapat dikenakan hukuman seperti ini?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan: Iya. Kaum pria juga sebagaimana kaum wanita akan dikenai hukuman apabila ia tidak menunaikan tugas-tugasnya. Akan tetapi harus diperhatikan bahwa kondisi yang terdapat pada sebagian pria adalah sadisme (menyiksa) dan apabila penyakit ini semakin parah maka obatnya bukanlah menyiksa badan mereka yang dilakukan oleh kaum wanita; karena pertama pada galibnya pengobatan penyakit semacam ini bukanlah hukuman fisik badan. Kedua, umumnya wanita tidak mampu melakukan hal ini (menyiksa badan pria). Ketiga, hakim syar'i (marja taklid) memiliki tugas untuk memperkenalkan tugas-tugas kaum pria melalui ragam cara bahkan dengan cara mencambuk (hukuman fisik).
Allah Swt pada akhir ayat kembali memperingatkan kaum pria untuk tidak menyalahgunakan kedudukannya sebagai kepala rumah tangga dan memikirkan seluruh kekuasaan Tuhan yang berada di atas seluruh kekuasaan."Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."[11] [IQuest]
[1]. Aktsar al-Khair fi al-Nisâ, Man La Yahdhur al-Faqih, jil. 3, hal. 385.
[2]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 332.
[3]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 14, hal. 150.
[4]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 14, hal. 252
[5]. Tahdzib al-Ahkâm, jil. 7, hal. 400.
[6]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 14, hal. 165.
[7]. Fasshâlehâtu. (Qs. Al-Nisa [4]:34)
[8]. Walllâti takhâfuna nusyûzahunna fa'izhunnah. (Qs. Al-Nisa [4]:34)
[9]. Wahjuruhûnna fi al-Madhâji'i. (Qs. Al-Nisa [4]:34)
[10]. Sejenis batang kayu (kecil) yang digunakan untuk sikat gigi. Tafsir Burhan, jil. 1, hal. 367 (sesuai dengan nukilan dari Tafsir Afdhal, jil. 1, hal. 523)
[11]. Diadaptasi dari Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 411-416.