Please Wait
12783
Menjelaskan sebaik-baik amalan mustahab merupakan pekerjaan yang sangat sulit dilakukan untuk tidak menyebutnya mustahil. Penyebab hal ini akan kami jelaskan sebagai berikut:
Dalam banyak riwayat disebutkan tentang beragam hal yang dinilai sebagai sebaik-baik amalan:
Intizhar al-faraj (menanti kelapangan berupa kedatangan Imam Zaman Ajf),[1] salat,[2] shalawat kepada Muhammad dan Keluarga Muhammad Saw,[3] memberikan air kepada orang-orang yang dahaga,[4] mencinta Ali As,[5] memasukkan rasa bahagia kepada orang lain,[6] jihad,[7] berterusan (istiqamah) dalam amalan kebaikan,[8] ziarah kuburan Imam Husain As,[9] salat malam,[10] mencintai seseorang karena Allah Swt dan membenci seseorang karena Allah Swt,[11] salat awal waktu,[12] berbuat baik kepada kedua orang tua,[13] memberikan makanan,[14] amalan yang baik adalah amalan yang susah dikerjakan,[15] dan seterusnya merupakan beberapa contoh sebaik-baik amalan.
Di samping itu, kita memiliki beberapa riwayat yang menjelaskan sebaik-baik amalan dengan menambahkan satu ajektif misalnya sebaik-baik amalan pada waktu-waktu tertentu (misalnya pada hari Jumat,[16] bulan suci Ramadhan,[17] malam pertengahan Sya’ban).[18]
Lantas Apakah Sebaik-baik Amalan itu?
Sebagaimana yang Anda perhatikan, beberapa hal diperkenalkan sebagai sebaik-baik amalan. Pertanyaannya bagaimana kita menyimpulkan riwayat-riwayat ini dalam sebuah frame pembahasan logis?
Dua Dalil:
- Perbedaan dalam Kriteria
Seluruh amalan yang diperkenalkan dalam beberapa riwayat sebagai “sebaik-baik amalan” ini dijelaskan dengan kriteria dan pakem yang beragam. Dengan kata lain, tatkala disebutkan, “Sebaik-baik amalan adalah salat malam.” Di sini disebutkan salah satu kriteria. Di lain waktu disebutkan, “Sebaik-baik amalan adalah jihad.” Sebagian kriteria yang menjadi sorotan. Misalnya tatkala masalah jihad di jalan Allah mengemuka maka sebaik-baik amalan adalah jihad di jalan Allah Swt. Tatkala kriteria-kriteria salat malam tersedia maka sebaik-baik amalan adalah salat malam. Nampaknya pada masa awal-awal kedatangan Islam dan pada masa Khalifah Kedua, karena kaum Muslimin tidak mampu membedakan antara kalimat “hayya ‘ala khair al-’amal” (Mari mengerjakan sebaik-baik amalan), dalam adzan dan “jihad” yang juga merupakan amalan terbaik, maka kemudian mereka meninggalkannya dan memberikan justifikasi ilmiah atas keduanya, lalu kalimat “hayya ‘ala khair al-‘amal mereka hapus dari adzan.[19]
Karena itu, perbedaan dalam kriteria-kriteria adalah sebaik-baik dalil untuk mencari sisi benar dan menjustifikasi secara ilmiah riwayat-riwayat seperti ini. Jumlah masalah-masalah seperti ini seperti, “jihad, memiliki kriteria dan pengaruh sosial secara langsung. Sebagian dari kriteria tersebut bermuatan personal, sebagian seperti “penantian Imam Zaman” memiliki dua kriteria, sosial dan personal. Dan sebagian lainnya seperti “mencintai Ali” secara asasi bersumber dari masalah-masalah keyakinan bukan perbuatan! Dalam sebagian riwayat tidak disebutkan obyek khusus atas masalah sebaik-baik amalan dan yang disebutkan adalah, “sebaik-baik amalan adalah yang paling susah dikerjakan.”[20]
- Perbedaan dalam Kondisi
Terkadang kondisi-kondisi dihadapi oleh para mukallaf digunakan untuk menjustifikasi secara ilmiah riwayat-riwayat sepert ini. Perbedaannya dengan bagian pertama adalah bahwa pada bagian pertama kriteria dan pakem-pakem yang ada bersumber dari perbuatan khusus (salat, jihad dan lain sebagainya) yang menyebabkan adanya perbedaan dalam amalan-amalan ini.
Namun pada bagian kedua, adanya sebagian kondisi-kondisi yang berada di luar amalan itu sendiri seperti syarat-syarat khusus mukallaf, kondisi-kondisi waktu tertentu dan lain sebagainya, yang menyebabkan adanya pembenaran ilmiah seluruh amalan ini secara bersamaan. Sebagai contoh sehubungan dengan penantian Imam Zaman Ajf (intizhâr al-faraj); dalam kondisi-kondisi dimana kaum Muslimin berada dalam situasi peperangan pada masa-masa awal kedatangan Islam atau pada masa orang-orang Syiah berada dalam kondisi susah, namun mereka tidak berputus asa dan menanti kelapangan yaitu kemunculan Imam Zaman Ajf merupakan setinggi-tinggi ibadah, karena apabila kaum Muslimin berputus asa maka segala sesuatu yang mereka miliki akan binasa namun dengan adanya penantian akan datangnya kelapangan, semangat harapan dan perjuangan akan hidup dalam diri mereka serta jalan untuk meraih kemenangan dan memenangkan pelbagai kesulitan akan terbuka lebar.
Hal-hal lain yang terkait dengan prinsip universal ini, tentu saja masalah seperti jihad sebaik-baik amalan bagi kaum wanita – dalam kondisi tidak darurat. “Salat malam” sebaik-baik amalan, tentu saja tidak mencakup orang-orang muallaf yang belum belajar tentang salat-salat wajib dan sebagainya.
Kesimpulan
Di antara sekumpulan riwayat ini yang dapat dipahami bahwa sebaik-baik amalan dalam instruksi-instruksi Islam tidak bersifat mutlak. Artinya tidak dapat dikatakan secara mutlak dan pada setiap kondisi, setiap ruang dan waktu, adanya amalan tertentu yang merupakan sebaik-baik dan seunggul-unggul amalan. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa sebagian amalan diperkenalkan sebagai sebaik-baik amalan, memiliki kriteria-kriteria yang berbeda-beda; dengan memperhatikan hal-hal ini, hadis-hadis tersebut disampaikan sesuai dengan kondisi pendengar dan syarat-syarat khususnya. Karena itu hadis-hadis ini tidak dapat bersifat mutlak, namun demikian hal-hal yang telah diperkenalkan sebagai sebaik-baik amalan bagi kita. [iQuest]
[1]. Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 208.
[2]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 4, hal. 70, Muassasah Ali al-Bait, 1408 H.
[3]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 5, hal. 119.
[4]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 5, hal. 331.
[5]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 5, hal. 331.
[6]. Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 499, Muassasah Ali al-Bait, 1409 H.
[7]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 9, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1365 S.
[8]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 1, hal. 131, Muassasah Ali al-Bait.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 499.
[10]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 6, hal. 337.
[11]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 12, hal. 220.
[12]. Mustadrak al-Wasâil, jil. 3, hal. 98.
[13]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 75, hal. 85, Muassasah Wafa, Beirut, 1404 H.
[14]. Wasâil al-Syiah, jil. 24, hal. 427.
[15]. Bihâr al-Anwâr, jil. 67, hal. 191.
[16]. Muhammad bin al-Hasan Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 7, hal. 399, Muassasah Ali al-Bait, 1409 H.
[17]. Wasâil al-Syiah, jil. 10, hal. 313.
[18]. Muhammad bin al-Hasan Syaikh Thusi, Mishbâh al-Mujtahid, hal. 829, Muassasah Fiqh al-Syiah, Beirut, 1411 H.
[19]. Abdul Husain Syarafuddin, Ijtihâd dar Muqâbil Nash, Terjemahan Persia oleh Ali Dawwani, Fashl Duwwum, Bakhsy Bist Charum (Bid’at Umar dar Adzan wa Iqamah), Daftar Intisyarat-e Islami, Qum.
[20]. Bihâr al-Anwâr, jil. 67, hal. 191.